Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Baris Yuk

16 Maret 2015   06:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 95 0
Masih ingat peristiwa di Sekolah Dasar dulu? Setiap pagi ibu guru berdiri di depan pintu. Anak-anak berseragam merah putih yang sedang bergerombol dipisah. Laki-laki berbaris di sebelah kanan. Perempuan di sebelah kiri. Tidak ada yang boleh masuk sebelum barisan dibuat rapih. Satu per satu anak maju memperlihatkan kesepuluh jari. Ibu guru memeriksa. Setiap kuku yang tumbuh melewati batas ruas jari harus dipotong.

Barisan itu dibuat setiap hari. Tidak pernah bosan ibu guru merapihkan. Anak-anak pun kadang menurut. Ada waktunya seorang anak berontak. Dengan sabar ibu menenangkan. Baris adalah ritual wajib yang harus dilakukan di sekolah dasar.

Dulu kita tidak pernah tau. Barisan yang dibuat setiap pagi itu untuk apa. Bahkan kita tidak sempat bertanya. Kita terlalu sibuk dengan kuku di ujung jari. Takut kalau sebuah kuku tumbuh kepanjangan.

Ternyata baris itu bukan pelajaran sembarangan. Setelah kita tumbuh dewasa, menjalani hidup yang lebih berwarna, ternyata baris masih ada. Di setiap kesempatan kita dihadapkan dengan momen berbaris. Membeli tiket kereta, kita harus berbaris. Menunggu pintu kereta terbuka, kita pun berbaris. Membeli tiket pertandingan sepak bola, juga berbaris. Mengantri bantuan tunai, pakai baris. Dikalungi medali saat wisuda pun berbaris. Sampai menyalami pengantin di sebuah acara pernikahan harus berbaris.

Sayang pelajaran berbaris dulu baru sekedar ikut perintah guru. Kita berbaris karena takut dimarahi ibu. Kita berbaris agar cepat bisa masuk kelas. Saat ibu guru berpaling, kita serobot posisi teman di depan. Melihat ibu kurang perhatian, kita nyelonong melewati barisan. Kebiasaan itu pun dibawa sampai besar.

Keributan sering terjadi dalam sebuah antrian. Selalu ada biang kerok pembuat kerusuhan. Lihat saja keadaan lalu lintas di setiap jalan. Saat terjadi kemacetan, kebanyakan mobil diam mengantri di belakang, tiba-tiba satu buah mobil nyelonong mencari jalan di pinggiran. Akibatnya pengendara lain ikutan. Yang di depan menjadi tidak sabar. Barisan yang harusnya satu, menjadi dua bahkan tiga. Kemacetan pun bertambah lama.

Cerita kematian dalam barisan sering juga terdengar. Antri menunggu pembagian zakat berujung maut. Saling serobot, seruduk, berujung saling sikut, tendang, dan yang lemah terjatuh. Sudah terjatuh, diabaikan pula. Sudah diabaikan masih juga diinjak-injak. Saat itu empati hilang. Rasa kasihan meluap. Kepedulian hilang. Satu terbayang, mendapatkan bungkusan secepatnya. Hanya tujuan yang tidak seberapa memenuhi kepala, selebihnya dianggap tidak ada.

Padahal kita pernah belajar berbaris. Ibu guru setiap pagi menuntun kita untuk berdiri rapih.

Pelajaran berbaris tidak hanya monopoli sekolah. Di masjid dan mushola pun kita diajari berbaris. Setiap kali sholat akan dilaksanakan, Imam menghadap ke belakang. Dia minta semua jama'ah mengatur barisan. "shafnya dirapatkan, diluruskan, karena itu menjadi bagian dari kesempurnaan sholat berjamaah" demikian imam berujar.

Pelajaran di sekolah sudah didapat. Pelajaran di mushola dan masjid pun diterima. Mengapa masih juga kita kurang rapih dalam hal berbaris?

Sejenak kita tinggalkan fakta menyedihkan tentang kebiasaan berbaris di negara ini. Mari menengok ke tetangga seberang pulau. Tiga hari saya berada di Singapura. Selama itu tidak henti-hentinya saya merasa takjub. Untuk urusan berbaris warga Singapura memiliki nilai A.

Setiap pagi warga Singapura berangkat kerja. Sama seperti kita. Bedanya, mayoritas kita menaiki kendaraan pribadi baik motor atau mobil. Mereka berjalan menelusuri trotoar. Tujuannya adalah halte bus dan statsiun kereta. Di depan pintu mereka berbaris. Tidak ada gerombolan penutup jalan. Saat pintu bus atau kereta terbuka calon penumpang tetap tenang. Dalam barisan menyerupai hurup A yang ujungnya terbuka, mereka mempersilahkan penumpang yang turun. Setelah penumpang turun, satu persatu masuk dengan tenang.

Berkali-kali saya naik taksi. Sopir taksi seperti biasanya adalah para pengejar setoran. Dari enam orang sopir yang pernah mengantarkan saya ke tujuan, tidak satu pun yang kebut-kebutan. Saat lampu merah hendak menyala, sopir perlahan menginjak rem. Suatu yang tidak biasa. Karena pengalaman saya naik taksi di Jakarta, saat melihat lampu kuning, insting pembalap yang keluar. Bukan rem yang diinjak, tapi gas yang ditekan. Menaiki taksi di Singapura tidak beda dengan naik mobil pribadi. Ketenangan, kenyamanan dan keamanan ada di dalamnya.

Di Singapura sulit mendapat masjid. Suara azan tidak pernah saya dengar. Bahkan mencari makanan halal pun harus dengan perjuangan. Mayoritas mereka etnis China. Muslim adalah umat minoritas. Itu berarti kebanyakan warga Singapura tidak pernah diajari membuat barisan sebelum shalat. Mereka tidak pernah tahu bahwa barisan terdepan saat sholat memberi kelebihan bagi orang yang menempatinya. Bagaikan antrian masuk sorga, orang yang berada di shaf pertama memiliki jatah masuk terlebih dahulu. Mereka tidak tahu itu.

Mereka hanya tahu bahwa mengantri adalah kewajiban warga sesuai aturan hukum negara. Mereka tahu bahwa sebagai warga negara yang baik harus mengikuti peraturan. Oleh karena itu mereka melaksanakan peraturan.

Satu lagi catatan menarik. Selama bepergian di Singapura, tidak satu polisi pun yang saya lihat. Apakah saya yang kurang perhatian. Apakah polisinya yang tidak mau kelihatan. Saya tidak tahu persis. Di perempatan jalan, di sepanjang lampu merah, di belokan-belokan tidak nampak seorang polisi pun.

Sebagai penutup catatan ini, saya copy paste kan tulisan yang dishare di group WhatsApp keluarga besar istri.

Guru di Indonesia panik ketika muridnya tidak pandai Matematika, tapi tenang saja saat muridnya tidak bisa antri (saya kira bukan hanya guru, kebanyakan orang tua pun demikian). Sebaliknya seorang guru di negara tetangga pernah berkata, "Kami tidak terlalu jika anak-anak Sekolah Dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai Mengantri". Saat ditanya mengapa, inilah jawabannya.

1. Hanya perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk melatih anak pandai Matematika. Sementara perlu waktu 12 tahun atau lebih untuk melatih anak agar bisa mengantri dengan baik dan benar.

2. Tidak semua anak kelak berprofesi menggunakan ilmu Matematika, kecuali tambah, kali, kurang dan bagi. Sebaliknya semua murid dalam satu kelas pasti akan membutuhkan etika moral dan pelajaran berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka.

Apa pelajaran berharga yang didapat dari mengantri?

1. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, harus datang dari awal. Dan itu perlu persiapan lebih awal.

2. Anak belajar bersabar. Menunggu giliran tiba, terutama jika ia berada di antrian paling belakang.

3. Anak belajar menghormati hak orang lain. Yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Anak tidak merasa dirinya lebih penting, sehingga menyerobot barisan di depan.

4. Anak belajar berdisiplin. Aturan mengantri adalah diam di tempat sebelum dapat giliran.

5. Anak belajar kreatif. Waktu mengantri terkadang lama, itu bisa menjadi kesempatan untuk mencari aktifitas yang bermanfaat. Seperti membaca buku, menulis atau menggambar. Asalkan sesuai dengan keadaan dan tidak mengganggu orang lain.

6. Anak belajar bersosialisasi. Sambil menunggu antrian, bisa menyapa orang yang berada tidak jauh darinya.

7. Anak belajar tabah. Dalam hidup dia selalu mengikuti proses, tidak melegalkan cara-cara kotor untuk mendapatkan tujuan.

Semoga kita bisa kembali belajar berbaris dengan rapih dan teratur. Kemudian mengajarkan cara berbaris yang baik itu kepada anak, murid, atau adik kita. Sehingga akan muncul generasi baru yang mau mengantri. Mau menunggu. Mau menjalani proses. Tidak asal masuk, asal sampai, asal dapat apa yang dimau.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun