Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tuan Pembual

22 Agustus 2012   00:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28 121 1
KAMILAH rakyat yang tersekat, terjerat, melarat,
selalu dalam sekarat, dan selalu saja terbuai-buai
dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai
Tuan-Tuan Pembual. Ketika bermula musim semai
menyemai bual, amatlah lantang kobar-kobar bualmu,
wahai Tuan-Tuan. Sungguh sangar dan angker bualmu
itu. Terpukaulah kami. Berdeguplah dada kami,
menggelegak berbuncah-buncah harap akan cerahnya
hari esok. Begitu cocok dan selalu cocok bualmu
mematuk dan menyosor-nyosor lingkar melingkar
selingkar derita kami, menjelang sore itu di tanah
lapang ujung kampung kami.

“Karena anda-anda dan saudara-saudari semua adalah
saudara-saudara saya tercinta, saya tak ingin
membiarkan angkara murka melindas tak habis-habis
awal hidup hingga akhir hidupmu, wahai saudaraku!
Saya bersumpah akan berjuang demi mengentaskan
segala derita yang terpelihara dengan sangat
sempurna bermasa-masa, turun-temurun. Sungguh
derita itu jangan lagi kita manjakan. Mari
bersama-sama kita bekerjasama dengan saya punya
rencana. Anda-anda tak perlu ragu, karena janji
saya pasti saya tunaikan jika saudara-saudari
mempercayai saya. Percayailah saya! Ingatlah janji
saya, tak pernah ada lagi peminta-minta di
simpang-simpang jalan, karena mereka akan kita
berikan modal usaha apa saja sesuai maunya mereka.
Lapangan kerja terhampar luas, seluas samudera di
laut lepas. Harga bahan pokok tak akan naik
semena-mena, minyak tanah tak perlu antri, listrik
tak perlu bayar, pembangunan fisik dan mental
spiritual menjadi prioritas pertama dan utama.
Koruptor dan pemakan uang rakyat akan kita pancung
atau kita gantung, sehingga ia jera, sehingga tak
ada lagi ketimpangan yang merugikan rakyat. Tak
ada lagi kebodohan, karena pendidikan akan bebas
dari segala biaya. Tak ada lagi biaya kesehatan,
karena semua akan digratiskan. Free! Free
semuanya! Free hidup! Free mati!” Tuan Pembual itu
terengah-engah kehabisan nafas.

Sore bersaput debu menjadi saksi atas segala bual
yang terpercik di sehampar tanah lapang yang
hampir tandus dari kenangan rerimbunan rumput. Ya,
hampir tandus, sehampirtandusnya keyakinan dan
kepercayaan kami akan ampuhnya bual-bualmu, wahai
Tuan Pembual. Sekedar menghargai niat baikmu untuk
memperjuangkan nasib kami, maka kami memaksakan
diri untuk sejenak mendengarkan bual-bualmu.
Karena engkau telah membual bahwa kami adalah
saudaramu, maka apa susahnya jika kami juga ala
kadarnya menganggapmu saudara. Alangkah licik dan
mirisnya jika kita bersepakat untuk saling
bual-membual!

“Untuk itu wahai saudaraku, bulatkan tekad,
tetapkan niat agar mempercayakan nasib hidup mati
saudara-saudara kepada saya, karena makmur, adil,
sejahtera pasti segera jadi milik kita. Dukunglah
rencana-rencana saya. Pilihlah saya! Pilihlah
saya!”

Seekor kelelawar tua terbang rendah melintas tanah
lapang. Kepak sayapnya lemah. Ia berputar-putar
tujuh kali di atas kepala Tuan Pembual. Setelah
itu, kelelawar tua itu jatuh, menimpuk kepala
botak Tuan Pembual. Seketika itu juga kelelawar
tua itu mati. Tuan Pembual tersentak. Ia meraba
kepalanya. Ada darah melekat di jari tangannya. Ia
tercekat. Seketika ia pucat. Ia merasakan sial. Ia
tersadar, ia telah terlalu banyak membual.

Sore hampir selesai. Kami rakyat yang suka
dibual-bual berbisik-bisik sesama kami. Tak jelas
apa yang kami bisikkan. Karena kami enggan
bersuara, maka bisik membisik biarlah menjadi
jatah kami. Karena bual kami tak sehebat bualnya
Tuan Pembual, maka biarlah kami membual hal-hal
yang remeh, seumpama akankan Obama terpilih
menjadi presiden Amerika, makna apakah gempa 3,8
skala Richter pada jam 08.05 di hari 20 puasa,
salah apakah kampung kami kini jarang hujan,
khusyuk mana minum kopi atau shalat tarawih, harga
timun murah sekali, harga emas naik lagi, harga
hidup semakin susah lagi, harga mati tak ada
tawar-tawar lagi!

Tuan Pembual menghilang entah kemana. Kami tak
sempat mempedulikannya lagi. Kami sibuk
mempedulikan diri kami, anak istri kami, saudara
sekampung kami. Peduli kami hanya dari kami untuk
sesama kami sendiri!

Banda Aceh, 20 September 2008

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun