Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

20 Januari 2020, 30 Ribu Buruh akan Datangi DPR RI untuk Menolak Omnibus Law dan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

8 Januari 2020   07:30 Diperbarui: 9 Januari 2020   10:51 1310 4
Sebut saja, namanya Dina. Pekerja sebuah hotel di Jakarta, yang setiap bulan mendapat upah sebesar Rp 4.267.349. Sesuai dengan UMP DKI.

Secara normal, dia bekerja 40 jam seminggu. Sehari 8 jam. Meskipun tidak masuk bekerja karena tanggal merah hari besar nasional atau keagamaan, cuti haid, sakit, bahkan ketika sedang "tidak ada pekerjaan", upah yang diterimanya tidak pernah kurang dari UMP.

Wacana pemberlakuan upah per jam membuat hatinya resah. Jika upah per jam diberlakukan, dengan UMP DKI saat ini; maka upah per jamnya adalah sebesar Rp 17.780 [4,26 juta dibagi 30 (hari), hasilnya dibagi 8 (jam)].

Sebagai housekeeping yang tugasnya bersih-bersih dan merapikan ruangan, bisa saja perusahaan hanya mempekerjakannya 2 jam sehari. Itu artinya, dalam seminggu Dina hanya perlu bekerja selama 10 jam. Jika sebulan ada empat minggu, berarti totalnya 40 jam.

Dikalikan upah per jam 17.780, maka sebulan dia hanya akan mendapatkan upah sebesar 711 ribu. Layakkah seorang buruh bekerja di Jakarta hanya mendapatkan upah sebesar 711 ribu?

Secara teori, setelah bekerja 2 jam di hotel, Dina bisa bekerja di tempat lain. Tetapi masalahnya, mau bekerja dimana?  Lapangan pekerjaan sangat terbatas. Sementara pencari kerja setiap saat membludak. Gadis manis ini akan kesulitan mencari pekerjaan tambahan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun