Nasionalisme Indonesia di Papua sudah mulai tumbuh sebelum berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, karena beberapa daerah di Papua saat itu, telah menggunakan bahasa Melayu yang dibawa oleh penyebar agama Kristen ke Papua.
Hal itu diungkapkan oleh sejarawan dan dosen Universitas Cenderawasih (Uncen), Dr. Bernarda Meteray, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Pemantapan Nasionalisme Indonesia di Papua” yang digelar di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, pada Selasa 24 September 2013.
Bernarda menambahkan, Nasionalisme Indonesia di Papua semakin menguat seiring dengan banyaknya para tokoh Indonesia yang diasingkan oleh Belanda ke beberapa daerah di Papua, seperti Soegoro Atmoprasodjo (diasingkan ke Serui, 1945), dr. J.A. Gerungan (diasingkan ke Abepura, 1946), dr. Sam Ratulangi (diasingkan ke Serui, 1946) dan Petro Jandi (diasingkan ke Biak, 1948).
Tokoh-tokoh Indonesia itu, lanjut Bernarda, mulai menanamkan nasionalisme Indonesia di tengah-tengah rakyat Papua untuk melawan Belanda, hingga berdiri beberapa partai politik, seperti Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak dan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) di Serui.
Namun menurut Bernarda, proses pembangunan Nasionalisme Indonesia di Papua mulai melemah pada tahun 1962 yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kurangnya pendidikan formal, masih adanya tekanan politik dan keamanan dari kolonial Belanda, serta kurangnya regenerasi kepemimpinan sehingga ketika tokoh-tokoh itu kembali ke daerahnya masing-masing, proses penanaman Nasionalisme Indonesia di Papua hanya dilakukan oleh orang Papua yang belum terlalu kuat pemahamannya.