Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Reformasi Birokrasi di Indonesia dalam Perspektif Perilaku

27 Juli 2012   07:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:44 9700 0


A.Titik Berangkat Masalah


Masalah yang terjadi didunia birokrasi bukanlah hal yang baru bahkan tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara negara maju, bahkan Amerika, Jepang dan Cina juga mengalami hal yang sama terkait dengan persoalan birokrasi tetapi yang perlu dilihat adalah bagaimana dari berbagai negara yang mengalami persoalan ini telah menunjukkan hasil maksimal dari kebrhasilan reformasi birokrasi yang dikerjakan dinegara masing-masing. Persoalan birokrasi sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk diselesaikan karena keterkait dengan aspek politik, hukum ekonomi dan sosial. Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini banyak kita temui persoalan perilaku aparatur yang kurang baik, sebut saja kasus Mafia Hukum, Mafia Peradilan dan masih banyak lagi kasus-kasus mafia yang belum terpecahkan. Persoalan ini tambah menarik tatkala diberbagai bidang mulai memfokuskan pembicaraannya tentang birokrasi. Mungkin masih segar ingatan kita saat para tokoh lintas agama mengeluarkan sebuah rekomendasi atas apa yang dikerjakan pemerintahan saat ini. Hasil pertemuan tokoh lintas agama tersebut kemudian berunjung pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut menghasilkan 18 poin yang pada salah satu poin menyebutkan terkait kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga presiden Susilo Bambang Yudoyono menggelar pertemuan dengan para tokoh lintas agama tersebut[1]. Dalam prespektif keilmuan Administrasi Publik terlihat jelas dari rekomendasi yang diberikan oleh para tokoh lintas agama akan adanya kesenjangan antara perilaku birokrasi di negara ini yang masih jauh dengan kinerja yang diharapkan.



Persolan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua fatktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kempemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk tap kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya. Persoalannya ini serupa dengan apa yang di sampaikan oleh Warsito terkait dengan sepuluh persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya sebegai berikut :


1.Prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit


2.Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas


3.Kurang responsif dan akomodatif terhadap tuntutan masyarakat


4.Kurang informatif dan kurang konsisten dalam kebijakan dan prosedur pelayanan


5.Terbatasnya fasilitas, sarana, prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan tehnologi informasi dan komunikasi dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan


6.Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya


7.Masih banyak dijumpai praktik pengutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN


8.Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan  pembangunan.


9.Struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang mengabaikan prinsip-prinsip good governance.


10.Struktur organisasi pemerintah yang belum mengindahkan azas “Hemat Struktur Kaya Fungsi”.[2]


Persoalan ini kemudian kiranya bagi penulis menjadi alasan penting kenapa reformasi birokrasi dilaksanakan. Alasan ini pula yang kiranya digunakan untuk meletakkan akar reformasi di tahun 1998 di bangsa ini tetapi kiranya perjalanan reformasi khususnya untuk birokrasi masih belum terasa, bahkan ada yang mengatakan berjalan ditempat jika dibandingkan dengan reformasi politik. Senada dengan pernyataan tersebut pandangan Miftah Thoha terkait pelaksanaan reformasi di bangsa ini yang lebih mengedepandakan reformasi politik dari pada reformasi birokrasi dimana pandangan beliau bahwa Selama 10 tahun terakhir ini kita merasakan kemajuan reformasi di bidang politik dan ekonomi, Di bidang politik demokrasi semakin berkembang baik, kebebasan berpolitik dan perbedaan pendapat dijamin sangat baik. Akan tetapi kehidupan birokrasi menunjukkan kurva terbalik, hal ini bisa dilihat dari dua indikator Indek Prsepsi Korupsi dan Indek kemudahan pelayanan usaha[3].


Namun bagaimanapun pandangan tentang birokrasi, dalam prakteknya di dunia empirik, image negatif terhdap birokrasi cenderung lebih berkembang, sehingga istilah birokrasi menjadi suatu stigma terhadap perilaku administrasi pemerintahan yang berbelit-belit. Bahkan dari permasalahan inilah bermunculan berbagai upaya-upaya konseptual untuk melakukan perbaikan citra birokrasi melalui gerakan reformasi birokrasi bahkan berangkat dari berbagai persoalan diatas yang mendasari penulis untuk tertarik mengulas bagaimana pelaksanaan reformasi birokrasi dalam prespektif perilaku birokrasi di Indonesia.  Dengan maksud memberikan sebuah masukan konseptual guna perbaikan citra birokrasi kedepannya.


B.Reformasi Birokrasi dan Tuntutan


Di indonesia reformasi birokrasi merupakan bagian dai tuntutan reformasi secara total yang meliputi aspek politik, ekonomi, hukum dan sosial. Reformasi birokrasi sendiri menurut Khan (1981) dalam bukunya Warsito Utomo mendefinisikan reformasi sebagai suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Selain itu ditambahkan pula oleh Quah (1976) bahwa reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.[4]


Dari kedua defenisi yang penulis kutip diatas tergambar jelas bagaimana reformasi birokrasi itu sendiri sebenarnya menekankan tentang perubahan perilaku atau kebiasaan-kebiasaan lama dari aparatur pemerintahan. Selain itu reformasi birokrasi juga memberikan perubahan perilaku kepada para aparatur pemerintahan itu sendiri.


Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari reformasi administrasi negara. Hal ini bila dilihat dari pemahaman bahwa birokrasi merupakan salah satu unsur administrasi negara yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan berupa pelayanan publik, sehubungan dengan hal tersebut maka sebenarnya reformasi administrasi negara termasuk didalamnya reformasi birokrasi pemerintahan. Reformasi birokrasi itu sendiri bukanlah merupakan hal baru di Indonesia karena sudah terjadi ketika adanya peralihan kekuasaan dari era orde lama ke orde baru. Tetapi yang perlu ditekankan dalam penulisan ini adalah semangat reformasi yang bersumbu pada reformasi 1998 yang mencoba memberikan perbaikan terhadap sistem pemerintahan sebelumnya yang telah berkuasa hampir 32 tahun lebih. Bahkan dimasa kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengidap virus Parkinson dan Proliferasi dimana dibuat dengan tujuan agar memperkuat kekuasaan yang sedang berlangsung.[5]


Dalam usaha untuk merespon tuntutan masyarakat terhadap perlunya reformasi birokrasi di Indonesia, beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam sistem birokrasi di Indonesia tidak bisa diabaikan, salah satu diantanya adalah dihapuskannya satu warna kepatuhan birokrasi terhadap satu partai tertentu. Bahkan sekarang kita dapat mendengar istilah netralitas birokrasi dalam partisipasi politik. Ini merupakan sebuah dampak dari pelaksanaan birokrasi itu sendiri. Tetapi pada kenyataannya perubahan yang dilakukan dapat dikatakan kurang atau bahkan tidak berpengaruh terhadap image negatif birokrasi itu sendiri terutama jika dikaitkan dengan masalah budaya kerja birokrasi yang cenderung korup (KKN). Bahkan disalah satu media cetak Nasional (kompas) mengatakan bahwa dari 33 gubernur 17 diantaranya tersangkut perkara sehingga harus dinonaktifkan dari jabatannya.[6]


Dari data diatas menunjukkan bahwa dengan adanya konsep desentralisasi yang merupakan bagian dari agenda reformasi itu sendiri juga belum memberikan hasil memuaskan dari sisi reformasi birokrasi di daerah. Bahkan terkesan memberikan peluang untuk menjadi raja-raja kecil di daerah-daerah pemekaran. Selain itu alasan utama dimekarkannya daerah salah satu sebabnya yaitu mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat tetapi pada kenyataannya masyarakat kurang merasakan pelayanan tersebut masih saja dengan pola-pola lama yang berbelit-belit.


C.Perilaku Birokrat dan Permasalahannya


Orientasi reformasi yang lebih mengarah pada perubahan dalam birokrasi ini bukanlah hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan, melainkan karena adanya beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu birokrasi pada umumnya. Permasalahan yang terjadi dallam perilaku birokrasim sering kali menjadi dasar permasalahan yang muncul dikalangan birokrasi. Masalah perilaku ini juga tidak sebatas dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri tetapi juga karena adanya pengaruh eksternal yaitu adanya intervensi dari partai politik terhadap aparat biroktasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Miftah Thoha bahwa terkait netralitas aparatur birokrasi tidak sepenuhnya terjadi karena adanya intervensi dari partai politik[7].


Persoalan mendasar yang terjadi sehingga terjadi perilaku menyimpan oleh aparatur birokrasi bukan pada pertentangan tujuan melainkan masalah pengetahuan yang tidak sempurnah. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa organisai administratif adalah sistem-sistem perilaku kerjasama anggota-anggota organisasi diharapkan menyesuaikan perilaku mereka dengan mengingat tujuan-tujuan tertentu yang dianggkat sebagai tujuan-tujuan organisasional.[8] Maka tinggallahmasalah mengkoordinasikan perilaku mereka. serta memberikan informasi kepada semua aparaturnya terkait pengetahuan tentang perilaku yang dijadikan keputusan. Kemudian ditambah oleh Miftah Thoha terkait perilaku organisasi adalah sebagai fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya[9]. Karena dalam pemahamannya setiap individu memiliki perbedaan perilaku yang disesuaikan dengan lingkungan organisasinya masing-masing bahkan kemungkinan individu membawa karakteristik tersebut manakala ia akan memasuki suatu lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya.


Bahkan persoalan empirik terkait perilaku aparatur birokrasi di Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki, dari sekian data KKN, Prosedur dan Mekanisme Kerja yang berbelit-belit, kaya struktur tetapi miskin fungsi kesemuanya merupakan persoalan perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, permasalahan-permmasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Tetapi pada tataran atau kondisi lainnya bisa pula terjadi secara bersamaan. Dan pada masa desentralisasi ini pun persoalan tersebut semakin terfragmentasikan kedalam satu kondisi dimana terliha dari kepemimpinannya. Mungkin tidak semua dari persoalan kepemimpinan ini memberikan dampak negatif tetapi setidaknya kita dapat berkaca pada pola kepemimpinan di kabupaten Jembrana dan Sragen yang memiliki kepala daerah yang memiliki political will (keinginan Politik untuk merubah wajah birokrasi dari sini terlihat bahwa bagaimana suatu kepemimpinan merupakan cerminan dari perilaku aparatur birokrasi dibawahnya.


D.Upaya Mengatasi Permasalahan perilaku Birokrasi


dari berbagai permasalah tentang pelaksanaan reformasi birokrasi terutama yang dilihat dari sisi perilaku aparaturnya merupakan sebuah permasalahan yang kompleks terlebih lagi merupakan kumpulan dari berbagai permasalahan yang kumpulkan untuk dijadikan satu kata artinya bahwa berbagai persoalan didalam organisasi birokrasi dapat di satukan menjadi persoalan perilaku yang mengakibatkan berdampak pada KKN dan lain sebagainya.


Pada umumnya disepakati bahwa birokrasi harus direformasi, tapi bagaimana cara mereformasinya merupakan pertanyaan yang belum terjawab karena berbagai macam pandangan yang pada akhirnya belum memiliki satu kesepakatan yang bulat untuk dijalankan. Namun bagi penulis bahwa yang terpenting saat ini adalah adanya keinginan atau kemauan dari pimpinan nasional, karena ini merupakan modal utama yang peerlu didukung oleh konsep yang jelas dan konkrit.


Jika meminjam bahasanya Yeremias bahwa membangun manusia birokrasi merupaka aspek pertama yang harus dibenahi adalah kualitas kepemimpinan birokrasi. Aspek ini harus dibenahi melalui leadership development.[10] Bahkan beliau juga menambahkan bahwa pemimpin birokrasi dan manajer disemua tingkatan birokrasi harus membangun dan memelihara trust dari masyarakat. Bahkan dalam kehidupan bernegara trust memang sangat dibutuhkan untuk membangun solidaritas. Bahkan telah terbukti bahwa trust terhadap pemimpin sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi.


Aspek-aspek yang perlu diubah memang terbilang kompleks tetapi kompleks tetapi yang menjadi perhatian penulis disini terkait dua hal penting yaitu pertama memberikan dorongan yang kuat bila perlu dalam bentuk dorongan politik terhadap leadership delvelopment dalam memperbaiki perilaku aparatur tersebut. Asumsi ini berasalan dari keberhasilan beberapa daerah otonomi (provinsi, kabupaten/kota) dalam mengelola manajemen birokrasinya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gorontalo, Jembrana, Sragen maupun Solok. Kesemuanya ini berawal dari politikal will pemimpin daerahnya. Jika semangat ini kita angkat pada level yang lebih tinggi dan kita berikan dorong sepenuhnya maka pada asumsinya berhasilan yang serupa akan kita raih. Dan yang kedua yaitu melakukan penyatuan sistem kordinasi terkait manajemen aparatur pemerintah (PNS). Tiga lembaga tersebut yaitu Menpan, LAN dan BKN. Alasan terkait dengan kordinasi ketiga lembaga tersebut dikarenakan dari ketiga lembaga ini memiliki objek yang sama yaitu aparatur pemerintah, sehingga dinilai penting untuk mengatur korrdinasi diantara ketiga lembaga tersebut.


Daftar Pustaka


Keban, Yeremias T     Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu edisi kedua Gava Media Yogyakarta 2008


Utomo, Warsito          Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik. Cet. II 2007 Pustaka Pelajar dan Program Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta hal 59


Thoha,  Miftah            Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Cet keempat. Kencara Prenada Media Jakarta 2010


Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers Jakarta 2009 hal 33


Birokrasi Pemerintaha Indonesia di Era Reformasi. Cet kedua Kencara Prenada Media Group Jakarta 2009


Simon, Herbert  A.      Administrative Behavior (Perilaku Administrasi) Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Cet kelima.  Bumi Aksara, Jakarta 2007 hal 131.


Sumber lain :  Media dan Bahan Kuliah


Kompas Edisi 18, 19 Januari 2011


Kompas Edisi 18 Januari 2011 (Satu Tersangka Setiap Pekan)


Utomo, Warsito Bahan Kuliah Globalisasi dan Otonomi Daerah.


Thoha, Miftah Bahan Presentase pada Stadium General  di Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara UGM




[1].      Untuk hasil Pertemuan Presiden dengan Tokoh Lintas Agama Baca Kompas Edisi 18, 19 Januari 2011




[2].      Prof. Warsito Utomo Bahan Kuliah Globalisasi dan Otonomi Daerah.




[3].      Prof. Miftah Thoha, Bahan Presentase pada Stadium General  di Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara UGM




[4].      Prof. Warsito Utomo, Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik. Cet. II 2007 Pustaka Pelajar dan Program Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta hal 59




[5].      Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintaha Indonesia di Era Reformasi. Cet kedua Kencara Prenada media Group Jakarta 2009




[6].      Kompas Edisi 18 Januari 2011 (Satu Tersangka Setiap Pekan)




[7].      Prof. Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Cet keempat. Kencara Prenada media Group Jakarta 2010




[8].      Herbert  A. Simon Administrative Behavior (Perilaku Administrasi) Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Cet kelima.  Bumi Aksara, Jakarta 2007 hal 131.




[9].      Prof. Miftah Thoha Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers Jakarta 2009 hal 33




[10].    Yeremias T Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu edisi kedua Gava Media Yogyakarta 2008

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun