A. Titik Berangkat Masalah
Dalam kenyataan sekarang ini Indonesia di landa sebuah krisis, tetapi krisis ini bukan dilahirkan dari perhitungan keuangan ataupun pengaruh dari naik turunnya nilai rupiah terhadap dollar tetapi krisis yang penulis maksudkan disini adalah sebuah fenomena krisis yang di hadapi oleh pemerintah yang diakibatkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, gejala ini telah berlangsung lama, menurut penulis gejala ini terlihat setelah Indonesia di landa krisis ekonomy tahun 1998 yang dikarenakan pengaruh dari perekonomian global.
Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era "reformasi" (pascakepemimpinan Soeharto), negara ini tetap belum mampu meredam ambisi pribadi para pengelolanya. Salah satu kunci penting untuk mewujudkan itu adalah melalui reformasi birokrasi yang sayangnya tak terlalu mendapatkan perhatian pada awal era reformasi. Saat itu upaya pembenahan melulu difokuskan pada proses demokrasi dan tidak pada bagaimana agar demokrasi itu menciptakan suatu pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru sebaliknya.
Dan kondisi Pasca reformasi 1998 masyarakat mulai memberikan wajah geram terhadap pemerintah akan apa yang dilakukan selama ini mengingat pada kepemimpinan sebelumnya masyarakat tidak bebas melakukan aktivitas sosial dan kebebasan mengakses informasi sangatlah sulit sehingga apapun yang dilakukan oleh pemerintah dalam artian kejahatan birokrasi tidak di ketahui oleh masyarakat, barulah setelah birokrasi kebebasan pers dan kebebasa berserikat serta penegakan HAM mulai di tingkatkan.
Selain pengekangan terhadap masyarakat diatas terlihat juga akan budaya birokrasi yang di tunjukkan dalam pelayanannya sangatlah tidak memuat sebuah prinsip bahwa pemerintah dilahirkan untuk mengakomodir kepentingan rakyat tetapi dilahirkan untuk mengakomodir kepentingan pribadi dan kelompok para elit birokrasi. Budaya ini terlihat dari diskriminasi dalam pelayanan, serta tebang pilih di mata hukum, serta kebiasaan yang membuat telinga kita panas sangat melihat dan menonton televisi yaitu bagaimana para birokrat menggunakan kekuasaannya untuk mencopet (korupsi) uang rakyat demi kepentingannya dan kelompok. Selain yang digambarkan sebelumnya, ada juga budaya lamban dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, karena cukup prosedural serta dan ini stempel yang selalu diberikan kepada birokrasi.
Krisis ketidakpercayaan masyarakat yang dialami oleh pemerintah ini juga diakibatkan karena fenomena KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang semakin meraksasa di lingkungan birokrasi, dan peristiwa ini tidak berhenti sampai pada rezim orden baru kemarin pada kepemimpin sampai sekarang ini.. Peristiwa tersebut tidak terlepas dari kesadaran dan etika birokrat itu sendiri dan ditambah lagi para birokrat kita semakin lemah melakukan akuntabilitas padahal menurut Starling dalam bukunya Wahyudi Komorotomo mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesetiaan untuk menjawab pertanyaan publik.[1]
Selain itu Jika pada zaman orde baru mesin birokrasi nyata-nyata menjadi pendukung pemerintah dan Golkar, pada era reformasi tradisi itu masih berlangsung dalam formula yang sedikit berbeda. Jika seorang kader Partai A menduduki jabatan menteri, misalnya, bisa diperkirakan semua posisi penting di departemennya akan diisi kader-kader dari parpol bersangkutan. Dengan demikian, kita beranjak pada penyakit kronis lainnya yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik tak pelak lagi telah melahirkan sistem yang saling melemahkan.
Di satu sisi, partai politik tidak memiliki sistem kaderisasi yang baik sehingga kandidat yang di calonkan parpol bukanlah hasil gemblengan yang berdasarkan sistem prestasi (merit system). Di sisi lain, pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, misalnya, sarat dengan politik uang. Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk "mengembalikan bayaran" kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut. Dana pengembalian itu paling mungkin diambil dari anggaran yang tersedia. Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak taat atau tidak loyal kepada partai politik dan kandidat terpilih. Jelaslah, reformasi bakal mustahil diwujudkan apabila aktor berikut mesinnya terperangkap dalam sebuah lingkaran sistem yang korup.
Langkah awal untuk memulai pembenahan adalah dengan memutus kooptasi parpol atas birokrasi dan menarik garis tegas diantara keduanya. Selama kepentingan-kepentingan institusional bias diintervensi oleh kepentingan partai politik, birokrasi tak akan pernah menjadi profesional. Langkah berikutnya adalah membangun profesionalisme dan memordenisasi administrasi pemerintahan sehingga tercipta struktur manajemen efektif. Itu berarti perlu pengkajian kembali
sistem kepegawaian yang menyeluruh, termasuk proses perekrutan. Proses perekrutan yang berlangsung tertutup, dimana terbuka peluang "jual-beli" kursi pegawai negeri sipil, harus dihentikan.
Jika menggunakan pendapat Starling sebagai dasar penilaian terhadap fenomena ini berarti jelas bahwa para birokrat kita tidak lagi setia terhadap masyarakat. Ketidaksetiaan ini muncul karena para birokrat menganggap bahwa jabatan tersebut tidak sebagai amanah dan tanggung jawab tetapi sebagai kesempatan memperbaiki hidup. Paradigma inilah yang membuat aktivitas korupsi semakin menjamur dalam praktek birokrasi.
Bagi penulis, karena masyarakat telah merasa sakit akibat di perselingkuhan birokrat dengan kepentingan pribadi dan kelompok mereka olehnya pemerintah seharusnya melakukan pembuktian untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Apa saja yang harus dilakukan? Mungkin banyak yang harus dilakukan seperti penegakkan hukum peningkatan ekonomi yang berunjung kesejahteraan dan juga menyangkut pendidikan, kesemuanya dapat terlaksana jika birokrat kita dapat merubah atau menggantikan budaya yang selama ini dengan budaya yang lebih baik berbicara soal budaya ini akan tergantung dari bagaimana etika birokrat, sehingga mampu memberikan pertanggung jawaban kepada masyarakat.
Penulis sangat mengagumi beberapa pemimpin daerah yang ditampilkan dalam acaranya Andi Noya akan keberhasilan kepemimpinan di Indonesia salah satunya adalah kepemimpinannya Bupati Gorontalo dimana dalam kepemimpinannya beliau membongkar pagar dan Pos Satpam dengan tujuan apa agar masyarakat dapat dengan mudah untuk bertemu dan menyampaikan apa keinginan dan keluhan secara langsung, selain itu kebijakan beliau yang inovatif yaitu governance mobile atau pemerintah berjalan yaitu pemerintah yang langsung turun ke kecamatan dan desa-desa di setiap akhir pekannya.[2]
Yang dilakukan oleh Bupati Gorontalo diatas juga sama dengan apa yang dilakukan oleh Bupati-Bupati yang ditampilkan pada acara tersebut hanya saja mereka memiliki kekhususannya sendiri-sendiri. Tetapi yang penulis tangkap adalah bahwa mereka melakukan sebuah tindakan pengembalian kepercayaan masyarakat dengan memperbaiki budaya dan etika serta akuntabilitas birokrasi.
Olehnya itu maksud penulisan paper ini dengan tema Budaya, Etika dan Akuntabilitas birokrasi sebuah upaya pengembalian kepercayaan masyarakat adalah melihat kembali Budaya, etika dan Akuntabilitas birokrasi yang selama selalu melekat streotip yang tidak baik dan juga hilangnya kepercayaan dari masyarakat dan upaya untuk mengabalikan kepercayaan tersebut.
B. Budaya Birokrasi (Pengahapusan Klaim Masyarakat)
Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa budaya birokrasi yang selama ini di dengar adalah budaya lamban, prosedural, KKN, dan selalu mementingkan kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang harus dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan sesuatu yang penting dimana budaya sangat mempengaruhi akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan posisi, posisi yang penulis maksudkan bukan sebagai jabatan teknis atau fungsionalis, tetapi posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat memainkan kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana memanfaatkan kewenangan itu bukan untuk kepentingan pribadi dan juga kelompok tetapi tiadk lain hanyalah untuk kepentingan masyarakat.
Mungkin disini penulis tidak lagi mendefenisikan budaya secara kompleks tetapi secara tidak langsung penulis berkeinginan menghapus budaya selama ini yang didefenisikan oleh para birokrat, bahkan Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri menggambarkan tentang bagaimana budaya birokrat yang kurang memperhaan faktor lingkungan birokrasi pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap perubahan lingkungan karena, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentu organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat passif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.[3]
Di era sekarang ini para birokrat hanyalah sekedar sebagai sebuah organisasi yang akan menjalankan kebijakan dari politisi sehingga bekerjanya birokrat dapatlah ditentukan dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh para politisi. Sebagaimana yang ditulis oleh Bapak Wasito Utomo bahwa buruknya pelayanan birokrasi adalah disebabkan oleh faktor-faktor yang kait-mengait bukan disebabkan oleh faktor tunggal. Maka masalahnya menjadi kompleks, pemecahannya pun dan pula akar penyebabnya masing-masing harus di ketahui dan dianalisis secara tepat. Secara teoritik, konsepsional sering dikatakan, bahwa tidaklah mudah untuk mengubah atau mereform birokrasi atau birokrat. Hal ini disebabkan oleh karenapara birokrasi atau birokrat terikat oleh Political authority; diorganisir secara hirarkhis dan birokratis, serta memiliki monopoli. Hal-hal tersebutlah sering menciptakan apa yang dinamai budaya birokrasi.[4]
Dari apa yang di jabarkan mengenai budaya birokrasi selama ini olehnya karena birokrasi menginginkan untuk menghapus strotip budaya yang kurang bagus, maka dari itu birokrasi seharusnya melakukan beberapa hal di antaranya :
Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.
Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi.
Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu.
C. Etika Birokrasi (Antara Perorangan dan Organisasi)
Sebelujauh menjelaskan bagaimana etika yang menurut penulis selama ini dipahami oleh birokrat adalah paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Bagi penulis bahwa pemerintah serta birokrat memang membutuhkan etika dalam hal untuk membentuk kewibawaan dalam hal menjalankan tugas dan kewenangan mereka. Tetapi yang digambarkan pada orde sedeblumnya bukannya kewibawaan yang menjadikan pemerintah disegani tetapi kewibawaan ini malah memunculkan ketakutan dalam masyarakat itu sendiri. Ketakutan ini muncul karena pemerintah menggunakan etika sebagai sesuatu yang tidak bias dilanggar meskipun kepentingan rakyat terabaikan, mungkin diskresi juga menjadi sesuatu yang patut dibicarakan tetapi diskresi disini digunakanhanya sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhannya sehingga ini semakin mempersulit untuk melayani masyarakat.
Terdapat beberapa tipe kepemimpinan yang pernah ada di Indonesia dan inin mungkin memberikan perjalanan sejarah akan bagaimana kewibawaan birokrasi kita di bangun dari bagaimana seorang kepemimpinan itu mewujudkan wajahnya pada masyarakat, penulis misalkan dalam kepemimpinan soekarno yang waktu menitik beratkan kepemerintahannya pada penguatan politik dan keamanan mengingat masa beliau memiliki peran penting perkembangan Indonesia saat ini, kewibawaan beliau dijadikan sebagai bagian dalam birokrasi sehingga kita mengingat bahwa beliau sempat membentuk 100 mentri untuk menjalankan pemerintahan yang beliau pimpin.
Pada masa kepemimpinan Soeharto mungkin tidak banyak yang akan penulis jelaskan karena kita sendiri memiliki catatan kecil akan kepemimpinan beliau, jelas terlihat dari-beberapa literatur bahwa tipe kemimpinan beliau lebihi dikenal dengan sebutan rezim diktator. Sehingga birokrasi pada waktu ini menjadi sangat kaku terlihat dari hirarki yang berlebihan dan masyarakat menjadi sasaran pemangsaan tipek kepemimpinan tersebut.
Dan bahkan sampai pada kepemimpinan SBY sekarang ini dengan tipe yang flamboyan ditambah lagi dengan kondisi bangsa yang berbeda dari dua kepemimpinan sebelumnya dimana lebih terbuka dan kebebasan terjaga tetapi masih saja menghadapi masalah yang sama yaitu birokrasi yang tidak baik. Sehingga masalah etika birokrasi menjadi pembahasan penting saat ini.
Sekarang ini yang menjadi perhatian dalam birokrasi adalah demokrasi dan efektifitas karena dalam birokrasi sendiri sering di dahulukan prinsip efektifitas,tetapi meninggalkan demokrasi karena hirarkis sehingga partisipasi bawahan sangatlah kecil olehnya penulis mengutip tulisannya Bapak Pratikno dalam pidato Pengukuhan guru besarnya bahwa demokrasi dan efektifitas seharusnya ditanyakan secara bersamaan. Bukan dipertanyakan secara bergantian. Pendapat ini diperkuat dengan pandangan Gordon White (1998) dimana mencoba untuk menjebatani keduanya. Demokratisasi perlu dilakukan, tetapi pada saat yang sama harus mampu untuk membangun pemerintahan yang efektif.[5]
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban (obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu dibentuk.
Dalam masalah etika itu sendiri tergantung dari sisi budaya dan kebudayaan yang terdapat dalam suatu lingkungan dimana budaya sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan etika tersebut. Yang menjadi sulit adalah bagaimana etika birokrasi ini mengikuti kebiasaan yang dilakukan birokrasi yaitu mengikuti keinginan politik ini yang sulit karena etika secara organisasi tidak lagi menemui esensinya karena parameter yang ditetapkan dan keputusan-keputusan yang diambil akan bernuansa politik.
Etika ini juga di pengaruhi oleh adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan Birokrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM Birokrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
Ditambah lagi birokrasi kita hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak Negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja negara-negara berkembang berupaya menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem politiknya. Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya. Dalam keadaan demikian, birokrasi secara politis berperan lebih besar dibandingkan dengan di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju. Peran politik yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi.
Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi adalah pe kerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental.
Dikarenakan dalam pembahasan ini menyangkut mengartikan keembali kewibawaan para birokrat olehnya itu penulis menekankan pada bagiaman etika ini menjadi batasan yang selama ini kewibawaan birokrasi dibangun dengan menggunakan etika perorangan maka dalam pembahasan ini penulis lebih melihat etika secara organisasi dimana di bangun dari sistim yang kita gunakan dan juga dari bagaimana tipe kepemimpinan yang digunakan oleh pemimpin saat ini.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. [6]
Beliau juga menambahkan bahwa Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi.
D. Akuntabilitas Birokrasi (Jangan Menunggu Masyarakat Bertanya)
Sebagaimana yang diuraikan dalam etika birokrasi diatas bahwa saat ini birokrasi kita terlalu dekat dengan politik sehingga seringkali mngabaikan proses pertanggung jawaban (Acountability) kepada masyarakat. Dalam sistem pemerintah yang dipamahami penulis adalah bahwa pertannggung jawaban lembaga eksekutif akan dilakukan di depan lembaga legislatif yang notabene adalah perwakilah masyarakat sehingga ini menjadi sebuah pertanggung jawaban politik karena di lembaga ini kepentingan politik-lah yang menjadi terdepan, terkadang para anggota legislatif juga salah mendefenisikan kehadirannya pada lembaga ini karena dia adalah perwakilan rakyat bukan perwakilan parpol sehingga kepentingan yang harus diniatkan adalah kepentingan rakyat tetapi permasalahan ini saling bertabrakan jika partai memiliki kepentingan yang dititipkan pada perwakilannya sehingga anggotanya di legislatif menjadi delematis untuk memutuskan kepentingan mana yang didahului.
Bagi penulis bahwa akuntabilitas merupakan ukuran atau sarana pembuktian kepada masyarakat tentang aktivitas birokrasi atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan harapan masyarakat atau belum, selain itu akuntabilas juga nantinya bisa melihat bahwa pelayanan yang di lakukan sudah mengakomodir kebutuhan rakyat secara kolektif atau belum.
Yang menjadi fokus penulis dalam pembahasan ini adalah bagaimana birokrat melakukan akuntabilitas kebawah dalam artian akuntabilitas kepada masyarakat dimana terkait dengan konsep partisipasi, bahwa aktifitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan dengan proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat yang paling bawah.
Kalau membicara tentang sejauh mana birokrasi kita melakukan pertanggung jawaban mungkin banyak jawaban yang telah disiapkan tetapi saat kita melirik pada kualitas dari akuntabilitas tersebut kita akan nampak beberapa hal didalamnya, sebelum jauh tentang kualitas tersebut terlebih dahulu penulis meminjam pandangannya Denhardt (1998 : 18) mengatakan bahwa pada umumnya literaur mengenai akuntabilitas di satu pihak menyebutkan tentang pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggung jawaban tersebut.[7]
Yang selama ini dilaksanakan pertanggungjawaban adalah sebagaimana yang telah dituangkan dalam aturan-aturan sehingga kekakuan dalam pertanggungjawaban selalu terlihat, selain itu lemahnya kontroling dari lembaga legislatif sehingga menyebabkan sebuah akuntabilitas tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Lemahnya akuntabilitas ini juga dikarenakan karena lemahnya pengawasan, dari lembaga legislatif sehingga pemerintah merasa seenaknya melakukan kepentingannya, lemahnya peranan legislatif diakibatkan pertempuran kepentingan politik di dalamnya sehingga parpol yang berkualisi dengan eksekutif merasa pantas untuk mempertahan apa yang dilakukan oleh eksekutif tersebut.
Yang diperlukan sekarang ini adalah reorientasi pejabat publik agar benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Tidak lupa juga prinsip Checks and balances juga harus diperkuat pada lembaga-lembaga pemerintahan. Terlepas dari itu elemen-elemen civil society dalam masyarakat juga semakin keras menyampaikan aspirasi masyakarat, jika sekarang ini malah terbalik kejadiannya dimana banyak sekali komponen masyarakat yang menyuarakan aspirasinya tetapi sifat apatis dari pemerintah masih saja tetap ada ditambah lagi semakin dimintai pertanggung jawaban malah di ada sebagian pemimpin yang mengira itu sebagai sebuah tindakan inpacment padahal inilah kondisi demokrasi sebenarnya. Jadi sebaiknya pemerintah berpikir tentang akuntabilitas ini agar kedepannya tidak lagi menunggu masyarakat bertanya tetapi tunjukkan dan pertanggungjawaban itu dilaksanakkan sebelum masyarakat bertanya.
DAFTAR PUSTAKA
Efendy, Sofyan Dalam tulisannya Tentang Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 september 2005
Komorotomo, Wahyudi Akuntabilitas Birokrasi Publik Sekte Pada Masa Transisi. Cet ke-II pustaka pekajar yogyakarta 2008 hal : 4
Kartasasmita,Giananjar Dalam Tulisannya Tentang Etika Birokrasi Dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Dalam Menghadapi Era Globalisasi Di Sampaikan Dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-41 Fisipol UGM Yogyakarta 19 September 1996
Pratikno, Rekonsilidasi Reformasi Indonesia Kontribusi Studi Politik Dan Pemerintahan Dalam Menopang Demokrasi Dan Pemerintahan Efektif di sampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Tanggal 21 Desember 2009
Utomo, Warsito Administrasi Publik Baru Indonesia Perubahan Paradigma dari Administrasi ke Administrasi Publik, Cet ke II Pustaka Pelajar Yogyakarta 2007 hal 206
Sumber lain
Metro tv pada acara kick andy pukul 22.30 wib Tanggal 21 Januari 2010
*. Tullisan ini dimaksudkan sebagai prasyarat tugas akhir semester pada mata kuliah teori administrasi dan governance. Yogyakarta 28 januari 2010
[1]. Wahyudi komorotomo, akuntabilitas birokrasi publik sekte pada masa transisi. Cet ke-ii pustaka pekajar yogyakarta 2008 hal : 4
[2]. Metro tv pada acara kick andy pukul 22.30 wib Tanggal 21 Januari 2010
[3]. Sofyan Efendy dalam tulisannya Tentang Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 september 2005
[4] Warsito Utomo Administrasi Publik Baru Indonesia Perubahan Paradigma dari Administrasi ke Administrasi Publik, Cet ke II Pustaka Pelajar Yogyakarta 2007 hal 206
Dan dalam hal ini tidaklah demikian mudah untuk mengubah, merform, birokrasi atau birokrat yang telah membudaya tersebut. Beliau menekankan bahwa perubahan, change, reform adalah suatu inevetable (mau tidak mau memang harus terjadi dan harus dihadapi),
[5]. Dr. Pratikno, Rekonsilidasi Reformasi Indonesia Kontribusi Studi Politik Dan Pemerintahan Dalam Menopang Demokrasi Dan Pemerintahan Efektif di sampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Tanggal 21 Desember 2009
[6]. Giananjar Kartasasmita Dalam Tulisannya Tentang Etika Birokrasi Dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Dalam Menghadapi Era Globalisasi Di Sampaikan Dalam Orasi Ilmiah Dies Nataliske-41 Fisipol UGM Yogyakarta 19 September 1996
[7]. Ibid Komoroto hal
KEMBALI KE ARTIKEL