Pemilihan Presiden tahun ini mungkin akan menjadi yang paling meriah dan Kontroversial sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia. Bagaimana tidak? Persaingan para politisi di tahun politik ini terlihat sangat masiv dan bahkan terkesan menghalalkan segala cara demi meraih suara sebanyak-banyaknya. Kemeriahan Pilpres tahun ini bermakna buruk dan mencoreng budaya damai dan jujur di negara kitta. Dimulai dari masa kampanye, masa tenang bahkan pasca Pengutipan suara di TPS, aroma persaingan belum jua berakhir. Masyarakat yang sudah terlanjur terbelah menjadi dua kubupun ikut-ikutan bersaing mempromosikan Calon Presiden yang dikehendaki memimpin Republik Indonesia selama lima tahun ke depan. Kampanye negative hingga berbagai fitnahpun menghiasi langkah kedua Calon Presiden selama masa kampanye. Bahkan pasca Pilprespun, kontroversi semakin berlanjut dengan terpecahnya media-media yang beritanya berpihak akan seorang Capres. Tak hanya media, Lembaga Survey yang melakukan hitung cepatpun secara mengejutkan menyajikan hasil yang berbeda. Kisah Pilpres semakin Kontroversial dan terkesan mainan saat kedua Capres mengklaim kemenangan versi hitung Cepat. Rakyat biasa yang sudah semangat memberikan suara pada 9 Juli lalupun akhirnya kebingungan. Belum terjawab kebingungannya, masyarakat awam kembali harus mendapatkan berbagai berita kecurangan-kecurangan yang menyelundupkan dan menyalahgunakan suara mereka. Jika kecurangan yang menang, akan sia-siakah suara rakyat yang disebut-sebut sebagai sang pemegang kedaulatan tertinggi itu nanti?
Usai pemungutan suara pada 9 Juli lalu, memang fenomena perang baru menguak. Kejanggalan hasil Quick Count yang berbeda-beda menciptakan perang lembaga survey. Mayoritas lembaga survey seperti LSI, Cyrus, SMRC, LItbang Kompas dan yang lainnya menayangkan hasil yang persis sama dengan kemenangan Jokowi terhadap Prabowo. Sebaliknya, JSI,Puskaptis dan LSN menjadi alasan kuat Prabowo untuk menyusul Jokowi dalam rangka klaim kemenangan. Pasalnya ketiga Lembaga survey ini menunjukkan hasil yang berseberangan. Inilah yang semakin mendukung betapa kontroversinya Pilpres kali ini.
Untuk menepis pandangan masyarakat yang kebingungan terhadap hasil Quick Count, kemudian Perhimpunan Survei dan Opini Publik (PERSEPSI)pun mengadakan audit terhadap lembaga survey ini. Hal ini memang patut dilakukan untuk menyeleksi lembaga survey mana yang tidak layak dan menyebar kebohongan public agar seterusnya ditutup saja. Pada (15/7), Persepsi akhirnya melakukan audit terhadap CSIS-CYRUS, LSI, SMRC, Indikator Politik yang mana lembaga survey ini memenangkan Jokowi sebagai presiden versi hitung cepat.
Dan dari hasil audit, lembaga survey ini dikatakan aman dan sesuai aturan dengan sampling yang bagus. Seperti yang disebutkan Hamdi Muluk, Ketua Dewan Etik Persepsi di Kompas.com
"Lembaga itu oke. Ada CSIS-Cyrus, LSI, SMRC, dan Indikator enggak ada masalah. Secara audit sudah clear,"
Lalu bagaimana dengan lembaga survey yang menayangkan kemenangan Prabowo sebagai Presiden versi hitung cepat? Ternyata Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) menolak untuk diaudit oleh Persepsi. Sebagai lembaga survey di bawah keanggotaan Persepsi, seharusnya Puskaptis mengikuti aturan tersebut dengan menyetujui audit. Namun entah mengapa, Puskaptis malah menolak dan bahkan direktur eksekutifnya emosional dalam menjawab pertanyaan konfirmasi dari wartawan. Seperti yang tertulis di Kompas.com: Begini cara Husein menanggapinya:
“Oh iya nanti dulu ya, saya lagi makan dulu ini. Saya sudah dua hari enggak makan, gara-gara kamu ini," jawab Husein, Selasa (15/7/2014)
Sementara itu, Merdeka.com merilis jawaban menghindar Husein:
"Saya lagi tidak enak badan, besok saja," jawab Yazid saat dihubungi merdeka.com”
Atas penolakan ini, Hamdi Mulukpun menyebut akan menjatuhkan sanksi dengan cara mengeluarkan Puskaptis dari Keanggotaan Persepsi. Seperti dikutip dari Merdeka.com
"Berarti tidak ada niat, berarti tidak ada sikap ilmiah yang baik. Padahal dalam ilmiah, kejujuran, transparansi, sikap ilmiah mau menghargai usaha-usaha untuk klarifikai itu penting. Sanksinya yah kita keluarkan dari Persepi,"
Sebagai lembaga survey yang menyatakan bahwa hasil yang dirilisnya dapat dipertanggungjawabkan harusnya Puskaptis tidak perlu menolak audit yang diminta oleh Persepsi. Toh, kalau memang benar untuk apa takut audit? Dengan penolakannya, maka akan memunculkan opini baru di benak masyarakat yang tengah dibingungkan oleh lembaga survey ini. Sebagai bentuk metodologi Ilmiah memang sepatutnya Lembaga survey ini harus transparan dan mempublikasikan metode-metode yang dilakukan dalam hitung cepat. Selain itu, dengan berani menayangkan hasil telaah atau surveinya di media nasional bukankah seharusnya Puskaptis harus bertanggungjawab juga dengan apa yang disampaikan. Karena ini bukan hanya masalah data saja, ini sudah terlanjur membangun opini public yang pro dan kontra. Jadi ini telah menyangkut integritas bangsa.
Masyarakat memang tidak boleh sepenuhnya percaya akan hasil Quick Count. Namun tak dapat dipungkiri, selama beberapa kali Pemilu lembaga-lembaga ini mampu menunjukkan hasil yang sama persis dengan Real Count. Di samping itu, Quick Count sudah merupakan satu bentuk kemajuan di negara ini sebagai perwujudan transparansi dan kejujuran data yang diolah KPU. Walau hanya bayangan, Quick Count terbukti relevan sejauh ini. Terlepas dari siapa yng dimenangkan oleh Lembaga Survei, kita tak boleh lupa akan kredibilitas Lembaga survey. Dan jangan munafik, lembaga survey ini sangat membantu masyarakat dalam menjawab rasa penasaran akan hasil Pemilu.
Kita semua mungkin tahu Pepatah yang mengatakan, Berani karena benar dan Takut karena Salah. Jadi harus Gentlemen, kalau kata anak muda sekarang! Lalu apakah Puskaptis ini memang menyajikan data yang salah, sehingga takut diaudit? Kita tunggu saja 22 Juli nanti. Sementara itu, Persepsi akan merilis hasil auditnya sore hari ini, Rabu (16/7). Selamat menunggu. Salam damai dan selamat pagi bahagia untuk kita semua.
Berita terkait:
Dewan Etik: Menolak diaudit, Puskaptis dikeluarkan dari Persepi