Jakarta memang terlihat lengang selama seminggu terakhir. Moment hari raya Idul Fitri yang dirayakan oleh sebagian besar warga Ibukota dengan mudik/Pulang kampung menjadikan pemandangan baru di Jakarta yang biasanya Padat dan selalu macet, selama seminggu ini berubah menjadi kota yang sepi, terasa lebih luas dan Jalanan di Jakarta terbebas dari kemacetan. Senang rasanya keluar dari rumah untuk sekedar berkeliling Jakarta sepanjang minggu ini, waktu tak terbuang sia-sia di perjalanan karena kemacetan dan tempat-tempat umum terasa lengang dan tak sesak seperti biasanya. Banyaknya jumlah warga Jakarta yang mudik ternyata menjadikan salah satu kota tersibuk di dunia ini sebagai kota yang nyaman dan layak dinikmati. Namun seiring berakhirnya perayaan Idul Fitri yang disusul dengan terjadinya arus mudik, maka Jakarta akan kembali pada kondisi awal sebagai kota yang macet, sesak dan bahkan lebih padat dari keadaan semula.
Transmigrasi sesaat yang terjadi saat warga dari kota mudik ke desa hanya berlangsung beberapa hari saja, khususnya pada moment liburan panjang. Ketika liburan berakhir, maka Urbanisasi besar-besaran akan melanda kota-kotabesar,khususnya Jakarta. Sebagai ibukota negara, Jakarta memang menawarkan sejuta godaan yang menggiurkan untuk masyarakat desa. Selain tata kota yang sangat maju dengan infrastruktur yang serba canggih, Jakarta juga memainkan peranan utama sebagai tempat perputaran perekonomian dan industri yang mana akan memberikan peluang besar untuk pencari kerja yang ingin membangun karir di Kota besar. Tak bisa dipungkiri hampir dari setengah transaksi ekonomi dan peredaran uang terjadi di Jakarta. Ini yang membuat Ibukota menjadi primadona di mata para pencari kerja dari desa. Maka tak heran, para pencari kerja ini rela merantau dan meninggalkan keluarga demi mencari penghidupan yang layak di Kota Betawi. Berbagai jalanpun ditempuh untuk bisa menginjakkan kaki di Jakarta, salah satu moment yang paling banyak dimanfaatkan adalah dengan menumpang kepada sanak family yang tengah mudik agar ikut ke Jakarta ketika lebaran usai. Sehingga sudah menjadi tradisi, warga Jakarta selalu bertambah Puluhan Ribu setelah Hari Raya atau hari liburan lainnya. Atas alasan keluarga, warga Jakarta yang tengah mudikpun tak rela menolak permintaan untuk memboyong familinya di Desa yang otomatis meningkatkan laju Urbanisasi. Hasilnya Jakarta semakin sesak dan padat saja.
Banyaknya Pendatang baru di Jakarta kemudian memunculkan problema baru. Bagi yang memang sudah benar-benar siap mencari kerja dengan modal ijazah lengkap, skill beserta berkas-berkas lainnya tentunya tidak akan mengalami kesulitan yang serius. Namun bagi para perantau yang bermodalkan nekat saja, dalam artian tidak memiliki kemampuan dan berkas yang lengkap ditunjang pendidikan seadanya dan wawasan yang sempit maka kemungkinan besar akan mengalami kesulitan. Sebut saja penipuan, perampokan, atau bahkan yang lebih keji lagi dijadikan ‘bahan jualan’. Ujung-ujungnya mereka ini hanya akan menambah daftar pemulung, pengamen, pengemis dan lain sebagainya di Ibukota. Padahal di Desanya bisa jadi memiliki sawah yang bisa diolah, karena malu untuk kembali tanpa kesuksesan akhirnya bertahan di Ibukota. Bagi mereka ini, Jakarta yang awalanya sangat menarik berubah menjadi Kota yang kejam, bahkan lebih kejam dari Ibu Tiri yang jahat. Kalau sudah begini, siapa yang disalahkan? Apa benar ini seluruhnya kesalahan Pendatang Baru tersebut?
Pendatang baru yang nekat ini memang patut juga disalahkan, karena berani datang ke Jakarta tanpa keahlian atau Ijazah yang bisa dijadikan modal. Tetapi dengan melihat serba kemudahan yang ada di Jakarta serta peluang emasnya untuk memperbaiki nasib lebih cepat daripada di desa, para pendatang yang tak lain adalah warga Indonesia ini tak bisa disalahkan sepenuhnya. Lalu?
Membludaknya para perantau yang dari desa ke Kota sebenarnya dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan dan kemajuan di berbagai wilayah di Indonesia. Contoh kecil saja,perbedaan signifikan UMR dan UMP di berbagai daerah juga memicu terjadinya laju urbanisasi yang sangat cepat. Dengan skill yang sama dan Job Desk yang persis serupa, seorang teknisi di Medan mendapatkan Gaji yang jauh lebih kecil dari teknisi di perusahaan yang sama di Jakarta. Hampir semua perusahaan memilih Kota Jakarta sebagai Head Office yang mana karyawannya di pusat jauh lebih sejahtera daripada di cabang dengan pekerjaan yang sama atau bahkan lebih rumit di daerah. Ini yang menjadi alasan Orang lebih tertarik mengadu nasib di Kota.
Memang penyetaraan masih sangat susah untuk direalisasikan, pemberian remunerasi karyawan yang juga disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang berbeda-beda di tiap daerah setidaknya menjadi alasan kuat bahwa Pemerataan pembangunan masih sangat jauh dari harapan. Akan tetapi terlalu signifikannya perbedaan perekonomian dan kesejahteraan di suatu Kota (Misalnya Jakarta) dengan daerah lain akan membentuk persepsi masyarakat agar menjadikan Kota sebagai tujuan utama. Sehingga wajar saja Jakarta menjadi target nomor satu para perantau untuk mencari kerja. Inilah yang seharusnya menjadi PR pemerintah untuk segera menyelaraskan pemerataan kemajuan di berbagai daerah di Indonesia, tidak mensentralisasi Indonesia hanya di Pulau Jawa saja utamanya Jakarta. Jika tidak, masalah kependudukan di Jakarta yang kian hari semakin membludak saja akan selalu menjadi masalah klise yang tidak ada solusinya. Sehingga suatu saat nanti Populasi di Ibukota tak terbendung lagi. Jika sudah demikian, apa pemerintah baru bertindak tegas? Jangan sampai!
Pesan Kecil untuk yang ingin berniat merantau ke Jakarta, Istilah Ibukota lebih kejam daripada Ibu Tiri itu tepat sekali untuk mereka yang bermodal nekat seperti uraian di atas. Jika memiliki keahlian khusus dan Berkas-berkas yang lengkap, Ibukota tak kurang dari baiknya Ibu Kandung.