Bu Tum, panggilan untuk perempuan itu, bukanlah penyuka daging ruminansia, apalagi jika harus mengolah sendiri. Kecuali daging ayam, dia lebih memilih membeli yang siap santap. Pun ketika keluarganya sendiri yang berkurban.
Dari tahun ke tahun, keluarga Bu Tum memilih untuk berkurban bersama sebuah lembaga sosial. Lembaga itu bertanggung jawab untuk mengadakan dan menyembelih hewan kurban. Distribusi daging biasanya dikonsentrasikan untuk daerah-daerah "minus". Para shohibulqurban cukup menerima laporannya.
Tahun ini, Bu Tum juga berkurban dengan cara seperti itu. Namun, dia tetap tidak ingin melewatkan berkah yang bisa saja Allah sertakan pada daging-daging kurban yang sampai ke rumahnya.
Kemarin siang, begitu genap 3 kantong daging diterima, dia segera mengolahnya menjadi semur. Hanya olahan ini yang pas dengan selera keluarganya. Lebih ringan aroma dagingnya.
Aktivitas membuat semur sebetulnya cukup simpel dan cepat. Namun, aktivitas ikutannya membuat Bu Tum harus lebih lama berada di dapur. Mengolah daging mungkin mengasyikkan bagi orang lain, tetapi tidak baginya.
Begitu bumbu dan daging menyatu di atas wajan, dia pun cepat-cepat membersihkan dapur. Lebih lama dari biasanya karena semua perkakas yang bersentuhan dengan daging atau terkena uapnya dicuci. Tak boleh ada prengus yang tertinggal.
Dapur kembali bersih dan rapi. Tak ada aroma daging tersisa, kecuali wangi semur yang baru matang. Sayangnya, Bu Tum lupa. Uap prengus juga menempel pada bajunya. Namun, alih-alih berganti baju, dia malah rebahan sambil memejamkan mata. Capai.
Perempuan penyuka tempe ini tertidur hingga menjelang Zuhur. Terlihat lucu sekali. Hidungnya sesekali mengendus aroma prengus yang menyisakan sensasi puyeng di kepalanya itu.
Perempuan yang beberapa bulan lagi berusia setengah abad itu lupa. Tahun ini, penyembelihan hewan kurban melalui lembaga sosial yang diikutinya dilakukan di dalam kota saja. Lepas siang, ketika aroma dapur mulai normal kembali, seseorang datang menguluk salam. Mengantarkan seplastik daging kurban yang menjadi jatah keluarganya. Allahu Rabbi. Bagi Bu Tum, itu tetap terlalu banyak!
Euforia daging kurban di dapur ibu beranak tiga itu masih berlanjut. Sore hari, ketika dia sedang bersantai dengan bukunya, seseorang datang menyapa.
"Sedang santai, Bu Tum?"
"Embek, Bu," lanjut si tamu sambil menyerahkan sebungkus daging kambing.
Masyaallah! Mau dimasak apa lagi ini? batin Bu Tum usai mengucap terima kasih.
Kita tidak tidak pernah tahu daging mana yang berbuah berkah, batinnya lagi sambil membuka freezer.
Semalam Bu Tum tidur cukup nyenyak. Untuk sementara, dia terbebas dari aktivitas perdagingan.
Barulah lepas Subuh, "Bu, aku berangkat pagi," pamit suami Bu Tum. Aroma segar tercium dari secangkir kopi yang dibawanya.
"Sekarang?"
"Sebentar lagi, setelah ngopi."
"Terus? Dagingnya?" Bu Tum merespon spontan. Ingatannya melayang ke daging kurban kiriman yang belum sempat disentuh.
"Wis to, dibagi-bagi."
"Aku yang ngiris-iris gitu?" Bu Tum memastikan sambil melangkah ke area dapur. Diambilnya daging kiriman, panci, talenan, dan plastik pembungkus baru.
"Yo wislah," dengkusnya, "harus bisa didistribusikan pagi ini. Jika tidak, aku bisa mabuk daging nanti."
Aktivitas perdagingan hari kedua pun telah dimulai. Sambil menahan bau, Bu Tum membagi daging menjadi tiga bagian 3 bagian, lalu menyisakan sedikit saja untuk keluarganya.
Setelah itu, dia melanjutkan dengan merebus sedikit daging yang sengaja disisakan, menunggunya dingin empuk dan dingin, dia memotongnya kecil-kecil, memasukkan ke dalam wadah kedap udara, lalu menyimpannya di freezer. Stok buat kapan-kapan. Nggak pakai bau-bau prengus lagi
Dia kemudian mencuci semua peralatan masak seperti kemarin. Diendusnya satu per satu untuk memastikan tidak ada bau daging yang tertinggal. Setelah semua tertata di tempat masing-masinv, dia mengelap area kompor dan dinding di atasnya. Bersih.
Sayangnya, dia lagi-lagi melupakan satu hal, berganti baju. Sensasi prengus dan capai membuatnya ingin rehat sejenak. Alhasil, hidungnya masih saja mencium bau daging ke mana pun dia melangkah. Itulah alasan secangkir kopi berada di dekat tempatnya rebahan.
Pemalang, 19 Juni 2024