Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Pembelajaran sosial emosional sebagai dasar pendidikan karakter anak usia dini

21 Januari 2025   14:35 Diperbarui: 21 Januari 2025   14:57 23 0

Proses pembelajaran anak tidak tergantung pada aspek inteligensi atau kemampuan kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti aspek perkembangan emosi dan sosial. Aspek emosi dan sosial ini sangat berpengaruh terhadap prilaku anak kepada dirinya, orang lain dan lingkungannya. Pada anak usia dini aspek sosial emosi ini dapat dikembangkan melalui pembelajaran sosial emosional. Dimana pembelajaran sosial emosional adalah proses mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional sebagai modal anak dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar. Pembelajaran sosial emosional ini dapat dijadikan sebagai awal dan dasar penanaman pendidikan karakter kepada anak usia dini. Ada empat kompetensi kunci pengembangan dalam aspek sosial emosional anak; self-awareness, self-management, social awareness, responsible decision making, dan relationship management. Keempat kompetensi ini penting dikembangkan sejak usia dini untuk membangun dan menanamkan keterampilan sosial anak. Karena dengan mengembangkan keempat aspek sosial emosional anak tersebut akan berimplikasi pada tertanamnya sifat-sifat baik/ karakter-karakter unggul pada diri anak dalam dunia sosial. Metode-metode seperti bermain, modeling, story telling, drama dan lainnya tepat digunakan untuk mengembangkan keempat keterampilan tersebut.
Kata kunci: PAUD, pendidikan karakter, pembelajaran sosial emosional

Children's learning process does not depend only on the aspect of intelligence or cognitive abilities, but also influenced by other aspects such as emotional and social aspects of development. The emotional and social aspects have big influence on the child behavior toward himself, others and the environment. In early childhood social emotional aspects can be developed through social emotional learning. Social emotional learning is the process of developingskills,attitudes,andvalues necessarytoacquiresocialandemotionalcompetence as a capital of children in interacting with himself, others and the environment. Emotional social learning can serve as the beginning and foundation in plantings character education to early childhood. There are four key competencies in social emotional development of children; self-awareness, self-management, social awareness, responsible decision making, and relationship management. These four competencies are important to be developed since early age to build and instill social skills of children. By developing the four social and emotional aspects of children, the good nature or excellent characters will be internalized within the children. Methods to be used in developing the four characters can befollow: playing, modelling, story telling, drama,etc.
Anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa. Merekalah yang kelak akan membangun bangsa dan negara ini menjadi bangsa dan negara yang maju dan bisa berkompetisi di kancah internasional. Oleh sebab itu pendidikan anak usia dini merupakan investasi bangsa yang sangat penting dan berharga bagi pendidikan di Indonesia selanjutnya.
Namun, pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih dirasa kurang mampu membentuk karakter unggul generasi bangsa. Berbagai fenomena sosial yang berkembang dapat kita saksikan setiap saat dan menjadi persoalan signifikan yang menghambat pembangunan dan cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan bangsa kita. Fenomena tersebut seperti: tingginya tingkat kriminalitas, meningkatnya dekandensi moral, masalah etika, sopan santun dan ketidakjujuran pelajar, berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, dan guru, masih tingginya kasus tindakan kekerasan, semakin lunturnya sikap toleransi antar sesama manusia, tingginya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme dan penegakan hukum yang sepertinya masih jauh dari harapan nilai keadilan, serta berbagai kasus lainnya yang mengarah pada terjadinya dekadensi moral bangsa. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Kejadian tersebut memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis moral, etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan.
Di samping itu, bangsa Indonesia yang merupakan negara berkembang tidak terlepas dari masuknya budaya asing terutama di era globalisasi dan pasar bebas. Hal ini akan menjadikan bangsa Indonesia rentan akan dampak terhadap masuknya budaya asing yang bertentangan dengan moral dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini tentunya akan memicu tergerusnya budaya dan nilai luhur bangsa serta serta terdegradasinya nilai-nilai moral anak bangsa.
Berdasarkan kenyataan tersebut, pendidikan karakter memang sangat perlu dimulai sejak usia dini untuk membentengi para generasi penerus bangsa dari pengaruh-pengaruh negatif yang bertentangan dengan moral dan nilai-nilai keagamaan. Bangsa Indonesia harus memiliki karakter mulia sesuai norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pembelajaran sosial emosional bagi anak usia dini sangat penting dalam menanamkan karakter mulia, karena masa usia dini adalah masa keemasan atau golden age. Selama masa keemasan anak cepat dan mudah menerima stimulus-stimulus dari alam sekitarnya dan melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memahami dan menyikapi lingkungannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pendidikan anak usia dini (prasekolah) adalah pendidikan bagi anak usia 0-6 tahun. Sedangkan menurut para pakar pendidikan anak usia dini termasuk NAEYC, anak usia dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-8 tahun. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Menjadi peduli bagi anak-anak, mereka harus mampu melihat dan melampau diri mereka sendiri dan menghargai perhatian orang lain; mereka harus percaya bahwa perawatan, pengasuhan, dan perhatian tentang mereka menjadi bagian dari sebuah budaya yang selalu ada. Tantangan mengembangkan pengetahuan, tanggung jawab, dan pengasuhan anak-anak telah diakui oleh hampir semua orang. Hanya sedikit menyadari, bahwa setiap elemen dari tantangan ini dapat ditingkatkan dengan perhatian yang bijaksana, berkelanjutan, dan sistematis melalui pembelajaran sosial emosional (Novick, Kress, & Elias,2002).
Pembelajaran sosial emosional merupakan salah satu pendekatan dalam mengembangkan ranah emosi anak. Kompetensi-kompetensi sosial emosional anak diorganisasikan dalam tugas- tugas perkembangan yang positif. Pengembangan kompetensi tersebut akan dicapai melalui eksplorasi dan interaksi anak dengan orang tua, pendidik, teman, atau lingkungan. Dengan demikian diharapkan anak memiliki karakter unggul yang bisa diterima sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu tulisa
ini mencoba mengkaji metode pembelajaran sosial emosional yang dapat mengembangkan kompetensi-kompetensi sosial emosional anak serta strategi yang dapat diimplementasikan oleh pendidik dalam proses pembelajaran yang berimplikasi pada tertanamnya karakter unggul bagi anak usia dini.
KAJIAN LITERATUR DAN PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter
Secara harfiah karakter bermakna "kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama dan reduplikasi" (Hornby dan Parnwell, 1972:49). Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menurut Ryan & Bohlin (1999), karakter merupakan suatu pola perilaku seseorang. Orang yang berkarakter baik memiliki pemahaman tentang kebaikan, menyukai kebaikan, dan mengerjakan kebaikan tersebut.
Orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Menurut Kertajaya (2010:3) Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan "mesin" yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu. Sejalan dengan pengertian tersebut, Kamisa (1997:281) berpendapat berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Karakter akan memungkinkan individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, karena karakter memberikan konsistensi, integritas, dan energi. Orang yang berkarakter kuat, akan mamiliki momentum untuk mencapai tujuan. Begitu sebaliknya, mereka yang karakternya mudah goyah, akan lebih lambat untuk bergerak dan kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain.
Menurut Zulhan (2010:2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman- temannya dalam arti positif (pemimpin); (3)
achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.
Menurut Ramli (2001), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriterianya adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Sejalan dengan pendapat Ramli, Retnowati (2010:5), menegaskan bahwa pendidikan karakter mempunyai misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Karakter lebih menekankan pada aplikasi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari- hari dan tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi pendidikan karakter menanamkan kebiasan (habitution) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Sedangkan kata etika dan moral mempunyai makna yang serupa yaitu sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Namun penerapannya etika lebih pada tataran teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, dan moral lebih pada tataran praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan seseorang.
bukan sekedar mengajarkan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai baik dan bisa melakukannya (domain perilaku). Dengan demikian pendidikan karakter harus ditanamkan melalui cara-cara yang rasional, logis, dan demokratis.
Elkind & Sweet (2004) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya terencana untuk membantu peserta didik untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu nyaman dalam hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, bagaimana cara guru bersikap dan berbagai hal terkait lainnya.
Pendapat diatas sejalan dengan pendapat Suwandi yang dikutip oleh Wahid (dalam Nurchaili, 2010:239) mengatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter lebih melalui pendekatan modeling dan keteladanan yang dilakukan oleh guru.Orang tua memberikan contoh perilaku yang positif kepada anak- anaknya, guru memberi tauladan yang baik kepada peserta didiknya. Orang tua dan pendidik harus menjadi modeling yang baik bagi anak- anak. Karena anak adalah imitator yang jujur dan tulus dalam meniru prilaku yang dia lihat.
Masalah keteladanan ternyata jauh sebelumnya telah diaplikasikan oleh Nabi Muhammad dalam menempa dan membina manusia menuju manusia yang berakhlakul karimah (berkarakter unggul). Beliau menjadi modeling yang mencerminkan karakter unggul dalam setiap prilaku beliau baik bagi orang seagama maupun agama lain. Dalam hal ini, Allah menegaskan bahwa "Sungguh pada pribadi Nabi Muhammad terdapat teladan yang baik (uswatun hasanah)". Ada empat karakter
yang dimiliki oleh para nabi, yaitu (1) siddik: selalu berkata yang benar; (2) amanat: dapat dipercaya, (3) tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4) fathonah cerdas. Salah satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah sifat amanat (dapat dipercaya). Oleh karenanya, masyarakat Arab memberikan gelar al amin (dapat dipercaya) jauh sebelum beliau menjadi nabi. Beliau tidak pernah berbohong kepada siapapun.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada anak yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial ataupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga menjadi insan kamil.
B. Pembelajaran Sosial Emosional
Seorang anak dapat belajar dengan sebaik- baiknya apabila kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman dan nyaman secara psikoligis. Para ahli perkembangan yang menganut paham kematangan sebagai dasar pertumbuhan berpendapat bahwa pertumbuhan, perkembangan, dan pembelajaran merupakan buah dari hukum kematangan internal. Ini menunjukkan bahwa anak akan bisa belajar apabila cukup waktu untuk berkembang. Namun behaviorist berpendapat berbeda, menurut mereka pertumbuhan dan pembelajaran adalah hal eksternal bagi anak dan dikendalikan oleh lingkungan. Dengan memengaruhi secara langsung, berbagai stimulus dan respons yang berasal dari lingkungan, anak itu akan belajar. Dengan menata lingkungan yang penuh dengan stimulus yang serasi dengan tiap perkembangan anak maka anak dengan nyaman akan belajar tentang lingkungan sekitarnya. Lain halnya dengan para ahli psikologi constructivist, mereka berpendapat bahwa baik faktor biologis maupun faktor lingkungan sama-sama memengaruhi perkembangan anak secara timbal balik (Seefeld & Wasik, 2008:33-34).
Kompetensi sosial dan emosional adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengekspresikan aspek-aspek sosial dan emosional kehidupan seseorang, dengan demikian seorang anak mampu meraih keberhasilan, melaksanakan tugas sehari-hari
230
Jurnal Teknodik Vol. XV, Nomor 2, Desember 2011
 

seperti belajar, membentuk hubungan/ berinterkasi, memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, dan beradaptasi dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks. Ini mencakup kesadaran diri, kontrol impulsif, bekerja kooperatif, dan peduli tentang diri sendiri dan orang lain.
Menurut Elias dkk (1997:2) Pembelajaran sosial dan emosional adalah "the process through which children and adults develop the skills, attitudes, and values necessary to acquire social and emotional competence". Proses dimana anak-anak dan orang dewasa mengembangkan keterampilan-keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional. Norris juga mengatakan pembelajaran sosial emosional adalah pendekatan pembelajaran yang mengajarkan regulasi diri, monitoring diri dan keterampilan sosial dalam berbagai setting/ lingkungan. Zins dkk (2001) mengatakan Pembelajaran sosial dan emosional adalah proses dimana anak-anak meningkatkan kemampuan mereka untuk mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tugas-tugas sosial yang penting.
Mereka belajar untuk mengenali dan mengelola emosi mereka; membangun hubungan yang sehat; menetapkan tujuan yang positif; memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial; membuat keputusan yang bertanggung jawab, dan memecahkan masalah. Mereka diajarkan untuk menggunakan berbagai keterampilan kognitif dan interpersonal untuk mencapai secara etis tujuan yang relevan dan perkembangan sosial. Selanjutnya, mendukung diciptakan lingkungan untuk mendorong pengembangan dan penerapan keterampilan ini untuk beberapa pengaturan dan situasi. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran sosial emosional dapat meminimalisir prilaku-prilaku negatif dan menanamkan perilaku-perilaku positif sehingga terbentuknya karakter unggul pada anak.
Sejalan dengan definisi di atas Jean Gross berpendapat pembelajaran sosial emosional adalah proses pembelajaran yang dilalui oleh anak untuk mendapatkan pengetahuan, sikap, dan skill untuk mengenal dan mengatur emosi, menyusun dan mencapai tujuan positif, mempertunjukkan kepedulian dan perhatian pada orang lain, menciptakan dan memelihara hubungan yang baik, membuat keputusan yang
dipertanggung jawabkan, dan mampu menangani situasi interpersonal secara efektif.
Dari uraian di atas dapat disumpulkan bahwa pembelajaran sosial emosional dan pendidikan karakter adalah pendekatan komplementer untuk memperkuat kemampuan seseorang dalam memahami, mengelola, dan mengekspresikan aspek-aspek sosial dan emosional kehidupan dan untuk mengorganisir tindakan dengan cara yang positif, dengan cara tepat untuk mencapai tujuan. pembelajaran sosial emosional dan pendidikan karakter mendukung kemampuan anak untuk berhasil mengelola tugas kehidupan sehari-hari seperti belajar, membentuk hubungan, memecahkan masalah sehari-hari, dan beradaptasi dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks.
C. Kompetensi Sosial Emosional Anak
Goleman (dalam Elias, 1997) menjelaskan kecerdasan emosional terdiri dari lima bidang, yaitu 1) self-awareness; mengenal perasaan (kesadaran) karena berada dalam situasi kehidupan nyata; 2) managing emotions; mengatur emosi dengan perasaan yang kuat sehingga tidak kewalahan dan terbawa oleh emosi, 3) self-motivation; motivasi diri yang berorientasi pada tujuan dan mampu menyalurkan emosi ke arah hasil yang diinginkan, 4) empathy and perspective-taking; berempati dan mengenali emosi dan memahami sudut pandang orang lain, 5) social skills, kemampuan menjaga hubungan di lingkungan sosial.
Kelima area intelejensi sosial tersebut dijadikan sebagai kompetensi kunci yang dapat dikembangkan, dipraktikkan dan dikuatkan dalam pembelajaran sosial emosional (Elias, 1997). Karena dengan mengembangkan kelima kompetensi tersebut akan melahirkan berbagai sifat-sifat positif dan keterampilan-keterampilan sosial lainnya. Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan karakter-karakter unggul yang dibutuhkan anak pada setiap sisi kehidupannya untuk bisa hidup aman dan nyaman dengan orang lain.
1. Self-AwarenesS/Emotional Expressiveness
Kesadaran diri, manajemen diri
ekspresi emosional, terutama pengakuan dan penyampaian pesan dengan positif, adalah pusat untuk pembelajaran sosial emosional. Emosi harus dinyatakan sesuai dengan tujuan seseorang, sesuai dengan konteks sosial, tujuan diri dan orang lain harus dikoordinasikan. Artinya, kesadaran diri meliputi komponen pembelajaran sosial dan emosional termasuk mengalami dan mengekspresikan emosi yang mana bermanfaat untuk interaksi setiap saat dan hubungan sosial dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, Ana yang disukai teman mainnya karena sikapnya yang menyenangkan dan membahagiakan. Ekspresi emosi yang dia tampakkan kepada teman-temannya itu adalah wujud dari kesadaran diri. Yang paling penting, pengalaman dan ekspresi emosi seorang anak pada setiap interaksinya dengan lingkungan. Terlepas dari apakah anak lain melanjutkan perilaku atau tingkah laku selanjutnya sebagai balasan dari ekspresinya.
Oleh karena itu, menurut Elias informasi- informasi dari teman main dan anak dewasa dapat membentuk perilaku anak itu sendiri. Contohnya adalah kebahagiaan -- jika seorang anak mengalami kebahagiaan saat bermain dengan temannya, maka dia akan mengekspresikan kebahagiaan itu kepada temannya yang lain atau kepada orang tuanya yang sedang menemaninya bermain. Pengalaman suka cita memberinya informasi penting yang mempengaruhi perilaku selanjutnya. Selain itu, emosi penting karena ia menyediakan informasi sosial kepada orang lain, dan mempengaruhi perilaku orang lain.
Membiarkan anak untuk berinteraksi dengan anak lain memiliki pengaruh yang sangat tinggi dalam membangun kesadaran diri anak. Dengan banyak pengalaman dalam mengekspresikan dan melihat ekspresi dan tanggapan anak lain akan lambat laun membuat anak sadar bahwa seseorang dapat merasakan perasaan tertentu "di dalam dirinya" tetapi menunjukkan sikap yang berbeda. Secara khusus, mereka belajar bahwa ekspresi perasaan yang berbeda dapat dikontrol, sedangkan emosi sosial lebih tepat untuk ditunjukkan sehingga tidak ada
masalah antar pribadi dan anak lain. Pada tahap prasekolah hal seperti ini belum bisa dilakukan oleh anak. Tapi penting bagi anak untuk mendapatkan pengalaman- pengalaman yang membawanya ke tahap itu.
2. Self-Management
Emosi negatif atau positif membutuhkan regulasi, ketika emosi mengancam untuk mengalahkan atau perlu diperkuat. Menurut Lewis dkk dalam CASEL, pada masa prasekolah, kemampuan kognitif dan pengontrolan perhatian dan emosional mereka mulai meningkat. Anak-anak menjadi lebih mandiri dalam regulasi emosi selama masa prasekolah. Dalam konteks ini, Perhatian anak prasekolah adalah terpaku pada keberhasilan dengan teman-teman mereka. Tidak seperti orang dewasa, bagaimanapun, interaksi dengan anak-anak lain penting sekalipun tidak terampil bernegosiasi, atau tidak mampu menawarkan aktivitas dalam regulasi emosi. Pada saat yang sama, biaya sosial disregulasi emosional tinggi dengan pendidik, teman sebaya atau teman main lainnya. Karena bermain dengan teman sebaya penuh dengan konflik, ini fokus perkembangan dalam tuntutan regulasi emosi, memulai, memelihara, negosiasi dan interaksi dalam dunia bermain, dan mendapatkan penerimaan. Orang tua dan pendidik harus memiliki ketekunan dan kesabaran dalam membimbing anak untuk bisa mengatur diri supaya bisa diterima dan disukai oleh teman lainnya.
3. Social Awareness
Kesadaran sosial akan menjadikan anak mampu memiliki empati terhadap orang lain, dan tekun dalam mengatasi berbagai cobaan dalam kehidupan sehari-hari, mengenal dan menghargai perbedaan dan persamaan individu dan orang banyak, dan mengenal bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat adalah sumber segalanya.
4. Responsible Decision Making
Karena pemikiran dan emosi bekerja sama dalam hidup, adalah penting untuk mengembangkan keterampilan setiap anak dalam berpikir tentang interaksi antarpribadi,
Jurnal Teknodik Vol. XV, Nomor 2, Desember 2011
 

melampaui pengalaman emosional, pengetahuan, regulasi, dan ekspresi. Anak- anak harus belajar untuk menganalisis situasi sosial, menetapkan tujuan sosial, dan menentukan cara yang efektif untuk menyelesaikan perbedaan yang muncul antara mereka dan teman-teman mereka.
Ketika ada perbedaan pendapat atau masalah, apa yang dapat dilakukan (generation of alternative solutions)? Apa solusi efektif yang dapat mengurai masalah (consequential thinking)? Anak-anak prasekolah sudah mulai belajar keterampilan berpikir, yang mendukung interaksi sosial mereka yang semakin kompleks. Setiap orang yang terlibat dalam interaksi yang bagaimanapun juga dan siapapun, perlu memahami bagaimana mengembangkan kemampuan anak membuat keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan dan membuat interaksi terjalin bagi semua anak disekitarnya. Anak-anak selalu berusaha untuk memahami diri mereka sendiri dan perilaku orang lain. Dalam hal ini, emosi berperan besar menyampaikan informasi antarpribadi yang dapat menuntun interaksi sehingga mencapai pemahaman diri dan orang lain.
5. Relationship Management
Keterampilan mengatur hubungan merupakan komponen penting juga dalam pengembangan sosial emosional anak. Ini termasuk, misalnya, membuat tawaran positif pada diri sendiri untuk bermain dengan orang lain, memulai dan mempertahankan percakapan selama bermain bersama, mendengarkan aktif, bekerja sama, berbagi, bergiliran, negosiasi, dan berkata "tidak" atau mencari bantuan bila diperlukan. Anak dapat menggunakan banyak keterampilan tertentu seperti dalam pelayanan bergaul dengan teman-teman sepermainannya.
Variasi dalam aspek-aspek keterampilan sosial anak diperoleh anak-anak dari pengalaman individu dalam keluarga dan kelas prasekolah. Oleh sebab itu orang dewasa memiliki peran penting dalam kehidupan setiap anak untuk mengembangkan kemampuan mengatur diri.
D. Prinsip Penanaman karakter pada Pembelajaran sosial emosional Menurut Stein dkk (2000:5-6) dalam
menanamkan karakter kepada anak kita harus melibatkan orang tua dan komunitas-komunitas lain yang menjadi stakholder untuk mendukung prinsip-prinsip penanaman karakter sehingga komunitas sekolah menjadi aman, penuh kedisiplinan, dan tempat belajar dan bekerja yang tenang dan ramah. Lebih lanjut Stein dkk menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan- tujuan yang dimaksud di atas, ada 4 (empat) prinsip pokok yang harus dilaksanakan dalam pembelajaran dan sekolah. Keempat prinsip itu disingkat dengan kata "rice" (respect, impulse control, compassion, equity). Keempat prinsip ini tepat untuk dipraktekkan dalam pembelajaran sosial emosional anak untuk menanamkan pendidikan karakter pada pendidikan anak usia dini.
Respect: menampakkan penghormatan pada diri sendiri dan orang lain. Menjauhkan diri dari mengganggu diri sendiri apalagi orang lain serta bertentangan dengan batasan-batasan dan norma-norma tertentu. Kata yang digunakan, aksi/ prilaku yang dipilih menunjukkan tentang diri sendiri. Serta cara memperlakukan orang lain, binatang, dan objek lainnya menunjukkan respek terhadap diri sendiri.
Impulse control: melakukan sesuatu yang benar dengan alasan yang benar pula. melaksanakan segala bentuk aktivitas dengan imajinasi. Yakin bahwa ada dua jalan; di dalam atau di luar.
Compassion: berusaha menemukan sesuatu dalam kelaziman dengan orang lain, sekalipun orang lain terlihat berbeda. Hal seperti ini akan mengembangkan sifat empati dan mengingatkan bahwa setiap orang berhak mendapat kehormatan dan kepedulian.
Equity: membiarkan setiap orang untuk mencapai apa yang diinginkan guna kesuksesan. Sadar bahwa setiap manusia memiliki perbedaan dan persamaan untuk saling melengkapi dalam menggapai kesuksesan. Perlakukan orang dengan sebuah keadilan dan kewajaran.
E. Metode Pembelajaran sosial emosional dalam membangun karakter Anak.
1. Bermain
Bermain sesuatu yang sangat berarti bagi perkembangan anak. Menurut Mildre Parten
(dalam Stassen Berger dan Turner & Helms dalam Tedjasaputra, 2001:21) bahwa kegiatan bermain merupakan sarana sosialisasi. Dengan pengalaman bermain akan nampak peningkatan kadar interaksi sosial anak, mulai dari kegiatan bermain sendiri sampai bermain bersama. Bila anak bermain bersama-sama dengan temannya ia akan memperoleh pemahaman akan bersama, berbagi, menunggu, bergantian, sabar, dan lainnya. Situasi ini akan merangsang perkembangan emosi dan sosialnya. Anak dapat memahami konsep bersama-sama, karena dalam bermain bersama memerlukan bantuan orang lain. Ada saatnya anak harus menunggu giliran sehingga ia akan belajar bersabar. Pengalaman bermain sangat penting di dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Anak-anak dapat memainkan berbagai peran dan perilaku serta mendapatkan umpan balik tentang kecocokan dari perilaku dalam bermain (Sujiono, 2009:71). Dalam bermain anak dapat berperan sebagai tokoh antagonis atau protagonis dan menemukan tanggapan seperti apa perilaku yang mereka timbulkan dalam situasi yang tidak dikondisikan.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan bermain seorang guru atau orang tua berperan sebagai, observer, elaborator, modeler, evaluator, dan planner (Brewer, 2007:156).
a. Observer; Dalam observasi, guru atau orang tua harus memantau interaksi anak dengan anak-anak yang lain dan interaksi anak dengan alat-alat permaianan. Mereka harus memperhatikan berapa lama anak bertahan dalam satu episode permainan, dan mereka harus melihat berapa anak yang yang mengalami kesulitan atau masalah dalam bermain atau yang ikut dalam permainan dengan group (bermain bersama).
b. Elaborator; Sebagai elaborator, guru atau orang tua harus ikut dalam permainan dan menanyakan berbagai pertanyaan yang membimbing anak untuk berpikir melalui peran mereka dalam konsep permainan mereka. Menurut seefeldt dan Barbara (2008:122) komunikasi yang baik
menjadi landasan untuk membangun percaya diri dan percaya orang lain antara keluarga, sekolah dan masyarakat.
c. Modeler; Guru atau orang tua yang menghargai kegiatan bermain anak sering kali menjadi model perilaku yang sesuai dalam situasi permainan. Misalnya, guru duduk di area permainan balok anak dan ikut merapatkan balok-balok yang diinginkan oleh anak-anak, atau dalam permainan drama, guru atau orang tua ikut memainkan satu peran sehingga permaianan berlangsung. Ketika anak memunculkan karakter-karakter yang tidak baik, guru atau orang tua harus menanyakan kepada anak dan menjelaskan dengan penuh kasih sayang. Sehingga karakter yang tertanam selama interaksi anak dengan anak lain dan objek permainan adalah karakter-karakter yang baik.
d. Evaluator; Sebagai evaluator dalam permainan, guru atau orang tua harus hati-hati mengobservasi dan mendiagnosis untuk menentukan sejauh mana perbedaan pengalaman permainan memenuhi kepuasan individu anak dan karakter-karakter apa yang terbentuk selama anak berpartisipasi sebagai pemain.
e. Planner; Guru atau orang tua harus menjadi seorang perancang. Planing permainan melibatkan semua pembelajaran yang merupakan hasil dari observasi, elaborasi, dan evaluasi. Guru atau orang tua harus merencanakan pengalaman baru yang akan mendorong dan mempertahankan ketertarikan anak. Lingkungan yang menyediakan rasa kesetabilan, ketenteraman, dan kemungkinan-kemungkinan (predictability) akan memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar bagaimana mengontrol diri (Gestwicki, 2007:146). Guru atau orang tua harus menyediakan lingkungan yang aman dan penuh tantangan akan menjadikan anak tertarik. Pengaturan pusat perhatian anak guna membimbing berbagai aktivitas anak sangat diperlukan pada setiap area permainan, material-material
Jurnal Teknodik Vol. XV, Nomor 2, Desember 2011

permaianan, dan jumlah anak dalam satu sudut permainan misalnya. Ini dimaksudkan memupuk kebiasaan- kebiasaan pada diri anak.
Dalam dunia bermain anak akan belajar berbagai hak milik, mempertahankan hubungan yang sudah terjalin, menghargai cara anak lain, menggunakan mainan secara bergilir, melakukan kegiatan bersama, berusaha mencari cara pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi dalam permainan, belajar mengikuti sebuah aturan. Ia juga belajar bagaimana berkomunikasi dengan sopan dan diterima oleh teman lain sehingga hubungan dapat terbina dan dapat saling bertukar informasi dan pengetahuan.
Dengan bermain anak dapat mempelajari budaya setempat. Misalnya bermain tradisional banyak yang mengandung nilai- nilai budaya yang berlaku pada masyarakat. Dengan demikian, maka anak akan belajar tentang nilai, moral dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat diterima di masyarakat.
Bermain bersama akan menumbuhkan sifat seperti self management, self awwarenes, dan social awarenes. Anak belajar menilai dirinya sendiri tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Hal ini akan menumbuhkan konsep diri yang positif, rasa percaya diri, harga diri, karena anak merasa memiliki kompetensi (Tedjasaputra, 2001:410). Untuk mendukung pembangunan karakter-karakter ini, seorang guru atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi dalam area permainannya. Jangan pernah membentak atau tidak menghargai permainan anak. Tujuan bermain anak adalah proses bukan hasil. Selesai bermain semua anak akan membereskan semua alat permainannya, menaruh pada tempatnya. Ini akan memupuk rasa tanggung jawab pada anak. Dengan demikian dengan penuh percaya diri, anak akan belajar bagaimana bersikap dan bertingkah laku agar dapat bekerja sama dengan teman-temannya, bersikap jujur, sabar, kesatria, murah hati, tulus dan ikhlas, percaya diri, berhati-hati, bertanggung jawab, bekerja keras, pengendalian diri, menghargai orang lain dan
sebagainya.
Untuk mendukung pembelajaran sosial
emosional anak melalui bermain ada 2 sikap penting yang harus ditunjukkan oleh seorang pendidik atau orang tua, yaitu Supportive attitude dan Supportive roles.
Supportive attitude; Guru yang memahami peranan bermain dalam pembelajaran, perkembangan dan penanaman karakter unggul anak, selalu mendekati anak ketika bermain dengan sikap penuh penghargaan, respek (respect), dan penuh apresiasi (appreciation). Pasilitas permainan anak penting disiapkan dengan perhatian yang serius demi perkembangan keterampila-keterampilan sosial sehingga tertanamnya karakter unggul (akhlakul karimah). Mendukung permainan anak merupakan pekerjaan penting. Para praktisi pendidikan dan pengasuh anak usia dini menganggap bahwa permainan sebagai bagian dari pengasuhan dan kepedulian dalam tugas mereka dan lebih penting dari itu adalah rasa penghormatan, penghargaan, dan kepedulian sebagai pendidik atau pengasuh. Pendidik yang membatasi anak untuk bermain dengan anak-anak lain, menunjukkan bahwa dia adalah pendidik yang tidak mengerti tentang esensi dan manfaat bermain bagi perkembangan anak. Pandangan tentang bermain akan berpengaruh besar terhadap tugas dan profesi profesional sebagai pengasuh maupun pendidik.
Supportive roles; Memberikan tepuk tangan atau senyum manis penuh kasih sayang ketika anak mampu melakukan satu macam permainan merupakan kebanggaan tersendiri bagi anak. Rasa percaya diri anak akan makin tumbuh dan meningkat. Mereka akan menghabiskan waktu yang lebih lama dalam bermain karena mendapat hadiah dari pengasuh atau pendidik. Penguatan yang demikian menurut ahli behaviorist sangat mempengaruhi perilaku anak. Menurut Feeny dkk (2006: 181) apa yang dilakukan pendidik dan pengasuh sebelum dan selama anak bermain akan mempengaruhi kualitas dan pencapaian anak dalam proses bermain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun