Sepeninggalan keramah-tamahan ia menjadi sosok yang lebih pendiam, diam-diam menyerap seluruh keburukkan dunia yang menurutnya bisa ditukar dengan keramah-tamahan yang pernah ia miliki. ia selalu terduduk dipojok pagi yang kesepian, yang menolak disebut kesepian dengan kesendiriannya, yang menolak terjamah dengan keramahan yang orang-orang sebut, basa basi cinta.
Aku mendekatinya perlahan, membuka pasang telinga untuk mendengarnya sekedar menghembuskan nafas, melebarkan kelopak mata untuk melihat naik turun bahunya yang diam-diam merindukan perlindungan, mengendus selekat-lekatnya aroma tubuh yang semakin lama semakin aku kenali. Tanpa hati-hati aku mengeluarkan suaraku, suara yang lebih mirip cicit anak tikus yang induknya mati terlindas ban karet yang besarnya berpuluh-puluh kali dari badan mungil anak tikus itu. Bahumu berhenti naik turun, perlahan hembusan nafasmu kian lambat kian pasti menghilang, lalu kau menoleh. Dengan sepasang mata penuh marah, penuh nanar, mata yang lebih mirip dengan kata kesedihan. Aku tersenyum dengan rahang yang ragu-ragu untuk melebar. Kembali ku keluarkan cicit tikus yang lebih besar..
“Apa kabar ?”
“Untuk apa kamu kesini?”
“Untuk bertanya, apa kabarmu?”
“aku tak suka kamu berbasa-basi”
“kamu selalu begitu, lalu bagaimana kalau kau bertanya bagaimana kabarku?”
“aku tidak tertarik, pergi!”
Nafasnya kembali naik turun, hembusan nafasnya kian lama kian mirip dengus babi hutan yang melihat serigala, seringai giginya membuat kata-kata yang diucapkan semakin menusuk palung hati. Namun, begitulah dia… Aku terbiasa, terbiasa dengannya yang seperti itu. Aku bersikukuh mengajaknya bercakap-cakap.
“Aku dengar kamu sedang bahagia, bagaimana bisa aku melewatkan itu, berbagilah padaku…”
“Ya.. setan-setan itu yang mengatakannya padamu? Sabda apa yang mereka berikan hingga membawamu kemari?”
“mereka bilang, kamu sudah berubah, menjadi lebih…..” kugantungkan kalimatku, ia menyelipkan poni di telinganya yang meruncing, tanda ia tak suka dengan pemilihan kata-kata yang akan aku ucapkan, seolah tau apa yang akan aku ucapkan.
“brengsek! pergi!”
“aku minta maaf, aku membawakanmu kopi, kata temanku ini kopi dari pedalaman kalimantan, tidak dijual dimanapun”
Nafasnya semakin cepat, seolah sesuatu akan meledak dari tubuhnya, bola matanya memerah, gigi giginya memanjang, seperti tikus yang tidak dapat menemukan sesuatu untuk dikunyah, Nyaliku menciut, Aku mundur satu langkah, meletakkan kopi di meja rotan yang sudah doyong,.
“seduhkan untukku”
Yes! Aku tersenyum, dengan langkah gemetar menuju dapur, membuatkan secangkir kopi yang mungkin ia suka. Dengan cangkir kopi ditangan aku kembali kehadapannya, nafasnya masih naik turun, giginya sudah kembali ia sembunyikan didalam bibir tipis yang menghitam karna panas kertas tembakau.
“bagaimana rasanya?”
“kau berharap aku mengatakan apa?” katanya tanpa menoleh ke arahku.
“lalu…. bagaimana …. r.a.s.a.n.y.a ?”
“sudah aku katakan padamu, basa basi cinta itu memuakkan, katakan pada setan-setan itu, berhentilah menjadi setan yang menyebalkan! tahu apa mereka tentang bahagia? ingin rasanya aku menyentuh tengkuk-tengkuk mereka dengan taringku, agar mereka tersadar dari basa-basi cinta memuakkan, ingin rasanya aku mengatakan pada mereka bahwa paras secantik apapun mereka tetap setan! setan yang haus akan penderitaan orang lain, setan yang selalu nyinyir dengan basa-basi cinta yang mungkin lebih memuakkan dari yang mereka miliki! kamu mengerti sekarang?”
Aku tersenyum, mengangguk-angguk mirip pajangan anjing di dashboard-dashboard mobil dilampu merah.
“Lalu … berhentilah menghangatkan cinta basimu itu, maukah kamu?”
“Pergi! Pergi! Pergi!”
Aku diam, menatap mata merahnya lekat-lekat. Mengangguk. Dan pergi meninggalkan cermin tua diujung kamar belakang. Menanggalkannya untuk sepersekian waktu lagi…