Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bagaimana Rasanya Terbang?

2 Maret 2014   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 51 1
Kemana perginya bundar matahari setelah ditelan bumi?

Desir angin petang membuat ingatku tentangmu semakin membangkang. Senja itu kamu bertanya tentang bundar matahari yang membuatmu risau, pertanyaan yang lebih mirip pernyataan batinku. Kami bertengger di sisa ranting yang bertahan diatas bukit perkotaan yang kian sesak akan persaingan kebahagiaan.

Keesokkan harinya, aku menunggumu di sisa ranting biasanya, hingga bundar matahari kembali ditelan bumi, hingga cengkraman kakiku melemah pada ranting yang minta ampun untuk ditinggalkan, kamu tidak pernah terlihat, lagi. Aku tetap menunggumu, esok, esok, esok, sesok, sesok, hingga terperosok dalam ruang waktu yang tak tahu diri terus berjalan.

Aku ingat kalimatmu dulu, kamu bilang lebih suka berkicau daripada terbang, lantas bolehkah sayapmu kugunakan? kau tertawa… “Aku tak mau kamu tahu rasanya terbang, itu menyesatkan” jawabmu.

Detik berkembang biak dengan baik, hingga bertahun-tahun bumi masih suka menelan-memuntahkan bundar matahari kita. Ranting tua itu sudah mati, tidakkah kamu tahu? Aku masih bisa bertengger dipohon tua kita, pohon tua yang menjelma menjadi kursi tempat manusia menghangatkan hati mereka. Aku rendah ditaman yang suka kita tertawai, taman yang isinya manusia yang mencairkan isi kepalanya, isi kepala yang menyeruakkan nama-nama yang itu-itu saja. Beberapa dari mereka suka melirik tajam ke arahku, sambil mendongak-dongakkan hatinya, menyunggingkan senyum sambil merasa tersinggung oleh kepak sayapku.

Kabar sesama burung memang lebih cepat dari kabar di televisi manusia, aku dengar kini kamu sudah mampu melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kata-katamu. Sementara aku disini, bertengger ditempat sepi yang ramai akan kenangan, Angin menerbangkannya satu persatu. Senyum dan dirimu yang dulu.

Bagaimana rasanya terbang ?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun