Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Simpati jadi Komoditi

13 Agustus 2014   06:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:41 9 0
Beberapa waktu yang lalu, seorang anak di tengah hiruk pikuk kota jakarta, tepatnya di bundaran HI membawa selebaran di dadanya bertuliskan "Donor Ginjal". Saat itu, saya sangat SIMPATI dengan keadaan orang ini. Hingga akhirnya semua orang di penjuru Indonesia mengetahui kabar berita ini, tak terkecuali para dermawan yang tersentuh hatinya memberikan bantuan untuk alasan ia ingin mendonorkan ginjalnya. Setelah beberapa bulan berlalu saya kembali mendengar kisah yang serupa dengan kisah si A, sebut saja si B, seorang perempuan belia cantik jelita berkebangsaan Brazil nekat memperjual belikan "tubuhnya" untuk biaya berobat orang tuanya. Yah, saya tentunya teringat dengan kisah dalam negeri tentang si A tadi. Hal ini kelihatan sangat memprihatinkan tapi saya memandang ini dengan cara yang berbeda atau setidaknya mencoba untuk berbeda pendapat dengan ANDA!

Mencoba menarik benang dari masalah yang ada, saya menemukan fenomena SIMPATI ini. setiap hari, saya hampir tidak pernah lepas dari "PENGEMIS". entah itu di persimpangan jalan, di emperan toko dan bahkan ketika saya sedang di rumah. Pengemis selalu datang menghampiri. "kasi nggak ya?", pertanyaan ini yang selalu muncul dalam hati. Di sisi lain saya sangat ingin bersedekah dan di lain pihak saya menaruh curiga jika mereka hanyalah kumpulan para pencari fulus dengan gaya seperti itu. yah, saya bisa menyebutnya sebagai Profesi Baru dalam mengumpulkan uang.

Semakin hari, semakin banyak hal yang ganjil. terlebih lagi pemberitaan yang kadang membuat kita kesal dan sekaligus SIMPATI. yah, serba salah jadinya berhadapan dengan sifat dasar manusia ini, ketika SIMPATI jadi KOMODITI.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun