Mohon tunggu...
KOMENTAR
Film

Kupu-kupu Kertas, Kisah Cinta yang Berbalut Pergolakan Politik Tahun 1965

30 September 2024   14:42 Diperbarui: 30 September 2024   14:52 15 0
Film Kupu-Kupu Kertas karya sutradara Emil Heraldi mengangkat kisah tentang cinta yang terhalang oleh perbedaan ideologi. Cerita ini berpusat pada sepasang kekasih, Ihsan dan Ning, yang harus menghadapi kenyataan pahit karena mereka berasal dari dua latar belakang yang bertentangan, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ihsan tumbuh besar di lingkungan masyarakat yang mayoritasnya adalah pendukung NU, sedangkan Ning berasal dari keluarga yang mendukung PKI. Film ini berlatar pada peristiwa sejarah nyata yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1965, di mana terjadi konflik serius antara kedua kelompok tersebut. Ketegangan politik yang terjadi antara NU dan PKI pada masa itu menjadi latar utama cerita yang mempengaruhi kehidupan dan keputusan tokoh-tokohnya.

Film ini menampilkan sejumlah aktor dan aktris terkenal Indonesia, seperti Amanda Manopo yang berperan sebagai Ning, dan Chicco Kurniawan sebagai Ihsan. Beberapa pemeran pendukung lainnya termasuk Samo Rafael, Reza Oktovian, Iwa K., Fajar Nugra, Ayu Laksmi, dan Seroja Hafiedz. Lokasi syuting film ini berada di berbagai tempat di Banyuwangi, Jawa Timur, termasuk Hutan Djawatan, Kawasan Gunung Ijen, dan Hutan Suko di Desa Gombengsari, yang menambah kekayaan visual film.

Alur cerita utama film ini berfokus pada kisah cinta antara Ihsan dan Ning. Ihsan, yang tumbuh di keluarga NU, jatuh cinta kepada Ning yang berasal dari keluarga pendukung PKI. Meskipun mereka saling mencintai, perbedaan ideologi yang mendalam antara kedua keluarga mereka menjadi hambatan besar. Konflik antara NU dan PKI bukan hanya sebatas perbedaan pendapat, tetapi juga mencerminkan perseteruan politik yang brutal pada masa itu, yang akhirnya membuat hubungan keduanya menjadi semakin rumit.

Selain menggambarkan kisah cinta antara Ihsan dan Ning, film ini juga memotret sejarah pemberontakan PKI di Banyuwangi pada tahun 1965. Dalam film, pemberontakan tersebut digambarkan dimulai dengan penculikan para jenderal hingga pembantaian sadis terhadap pemuda Ansor, sebuah kelompok yang terkait dengan NU. Peristiwa ini menjadi latar belakang penting yang memengaruhi jalan cerita film, terutama dalam menggambarkan dampak konflik politik terhadap kehidupan pribadi tokoh-tokohnya.

Pada awalnya, Ihsan tidak terlalu peduli dengan perseteruan politik yang terjadi di sekitarnya. Namun, situasi mulai berubah ketika kakaknya, Rasjid (diperankan oleh Samo Rafael), tewas akibat konflik tersebut. Kematian Rasjid membuat Ihsan mulai merasakan dilema besar tentang bagaimana ia harus bertindak. Ia terjebak di antara kesetiaan terhadap keluarga dan keyakinannya, serta cintanya kepada Ning.

Di sisi lain, Ning juga menghadapi dilema tersendiri. Ia bukan hanya terperangkap dalam konflik antara keluarganya yang mendukung PKI dan cinta yang ia miliki untuk Ihsan, tetapi juga menghadapi situasi yang semakin rumit dengan kehadiran Busok (diperankan oleh Reza Oktovian). Busok, yang merupakan tangan kanan ayah Ning, memiliki perasaan terhadap Ning, dan hal ini menambah tekanan emosional yang dihadapi oleh Ning.

Film Kupu-Kupu Kertas berhasil menggabungkan elemen-elemen drama cinta dan konflik politik dengan sangat baik. Emil Heraldi sebagai sutradara mampu menyajikan kisah cinta yang rumit di tengah pergolakan sosial dan politik yang terjadi pada tahun 1965. Perpaduan antara cerita fiksi dengan peristiwa sejarah nyata membuat film ini tidak hanya menarik dari segi hiburan, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang salah satu periode paling kelam dalam sejarah Indonesia.

Visual film yang didukung oleh latar alam Banyuwangi yang indah, menambah kekuatan naratif film ini. Dengan latar belakang alam yang indah, seperti Hutan Djawatan dan Gunung Ijen, film ini memberikan kontras yang menarik antara keindahan alam dan kekejaman konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Sementara itu, akting para pemeran utama, seperti Chicco Kurniawan dan Amanda Manopo, berhasil menghidupkan emosi dan dilema yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun