Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book Pilihan

Politik Identitas (1): Menimbang Dua Kerangka Analisa

23 Maret 2023   14:50 Diperbarui: 23 Maret 2023   15:06 277 4
Deklarasi Anies Baswedan, belum cukup setahun lalu, sebagai calon Presiden RI oleh partai Nasdem memang mendadak dan mengejutkan. Rupanya banyak yang tidak siap. Utamanya di kalangan internal partai, beberapa kader penting menyatakan diri mundur dari partainya sebagai bentuk ketidaksetujuan. Alasannya kemudian menjadi isu yang santer dan membesar, yaitu Anies adalah "bapak politik identitas".

Anies disebut sebagai tokoh politik identitas, dalam hal ini Islam, lantaran dia dilihat dekat dengan tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok Islam radikal. Kelompok yang kehadirannya diyakini mengancam demokrasi, yang jika diberi kekuasaan akan cenderung mencederai hak-hak kaum minoritas yang berbeda.

Benarkah Anies Baswedan adalah bapak politik identitas dan hadir berdiri untuk memperjuangkan kelompok Islam radikal atau intoleran? Terlebih dahulu mari kita periksa pola pikir Anies tentang kelompok-kelompok radikal itu. Ketimbang hanya melihat track record perjalanannya selama masa muda yang dominan di dunia aktivisme dan kepresenteran, juga ketika turun ke gelanggang politik tidak jarang dekat dengan kelompok intoleran. Memeriksa pola pikir hampir sama dengan memeriksa keyakinan. Sebab pikiran seringkali adalah ungkapan keyakinan.

Tanpa harus bersusah payah mencari ke sumber lain, apalagi dalam bentuk buku yang narasinya panjang-panjang lagi tebal-tebal itu, pandangan Anies terhadap kelompok-kelompok itu bisa kita identifikasi misalnya dalam buku yang ditulis oleh Barbara Victor berjudul "Army of Roses" terjemahan (bahasa Indonesia) penerbit Mizan itu. Buku itu merupakan laporan jurnalistik bergaya cerita tentang wanita-wanita Palestina pelaku bom bunuh diri, dalam perlawanannya terhadap militer Israel.

Anies yang akan kita periksa pikirannya ini, dalam memberi pengantar buku itu rupanya juga memeriksa isi pikiran Barbara Victor si penulis buku. Ia menemukan sebuah kerangka yakni "kerangka rasional" yang digunakan oleh Barbara Victor dalam menyusun bukunya itu. Itu juga ia bedakan dengan satu kerangka lain yang ia sebut "kerangka kultural".

Lalu kata kunci yang dimainkan di pengantar itu adalah "teror". Bisa dipahami mengapa kata itu digunakan, sebab pelaku kekerasan seringkali disebut teroris apalagi jika itu dari umat Islam. Sekalipun kekerasan itu dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri, negara, atau dalam rangka menyelamatkan hidup. Masalahnya, Barat--termasuk Amerika dan Israel--sudah terlanjur meyakini bahwa sumber ajaran Islam mengandung seruan untuk melakukan tindak kekerasan.

Dengan demikian, jika umat Islam menggunakan jalan kekerasan dalam mencapai tujuan, itu wajar, karena di dalam kitab sucinya terdapat ajaran melakukan tindakan itu. Asumsi ini jika digunakan dalam analisa ilmiah, oleh Anies Baswedan disebut sebagai kerangka kultural. Yaitu nilai menghasilkan tindakan.

Tindakan teror merupakan sikap kultural pelaku teror, asal muasal dorongan untuk melakukan tindakan ini berasal dari doktrin agama. Atau bisa juga disebut sebagai akibat dari interpretasi secara sempit terhadap ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci, sehingga menjadi keyakinan, dan keyakinan itu menimbulkan tindakan.

Akibat dari kerangka kultural ini, pelaku teror (teroris) selamanya dianggap pelaku, dan sasaran teror selalu dilihat sebagai korban. Maka wajar jika setiap ada kejadian tindakan terorisme, pihak yang terkena serangan selamanya adalah korban, dan teroris adalah pelakunya. Meskipun pada akhirnya nanti sasaran teror berhasil diselamatkan dan pelaku teror berhasil dilumpuhkan bahkan sampai ditembak mati.

Hal ini masih menyisakan pertanyaan di kepala Anies, mengapa pelaku teror menggunakan tindakan teror dalam berinteraksi dengan sasaran teror? Ini tidak mungkin hanya dilatari oleh nilai saja. Sebab sasaran teror adalah pihak tertentu. Lagipula tindakan teror tidak digunakan terhadap yang bukan sasran teror.

Jawabannya adalah terdapat faktor eksternal, yaitu interaksi antara pelaku teror dan sasaran teror yang menurut Anies terjadi secara kalkulatif. Di sini, siapa yang disebut korban belum tentu adalah sasaran teror. Bisa jadi pelaku teror adalah korban perilaku diskriminatif dari sasaran teror.

Lihatlah apa yang ditonjolkan oleh Barbara Victor dalam bukunya itu, alih-alih wanita-wanita pejuang syahid Palestina melakukan tindakan bom bunuh diri demi membela agamanya, yang mereka lakukan sebenarnya justru demi membela tanah air. Sedang nilai-nilai Islam hanyalah sebuah spirit yang membangkitkan semangat perjuangan mereka. Motif ini sebatas tersirat kalau saja Barbara ikut-ikutan menggunakan kerangka kultural dalam analisanya.

Data yang dikutip Anies--yang juga ditampilkan dalam bentuk tabel di pengantar buku itu--dari Robert Pape tentang jumlah serangan perempuan bunuh diri lintas kelompok (1980 - 2003), menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Palestina menempati urutan kelima dari enam kelompok. Jumlah pelakunya pun hanya 6 atau sebesar 5%, dibandingkan dengan yang berada di peringkat pertama yaitu perempuan dari kelompok Kurdistan sebanyak 10 atau 71%,  atau wanita Chechnya sebanyak 14 atau 60%, dan Macan Tamil sebanyak 23 atau 20%.

Meski dengan angka yang relatif rendah, mengapa perempuan-perempuan Palestina dilabeli sebagai teroris? Sebab pertama, karena perhatian dunia terkonsentrasi penuh pada kasus konflik Israel-Palestina. Kedua, pengaruh kerangka kultural tadi, yang digunakan sebagai pisau analisa tunggal, bahkan di pelbagai kesempatan yang semisal, yaitu ketika membicarakan kelompok yang sudah distereotipe sebagai radikalis.

Namun penggunaan kerangka rasional bukannya tanpa risiko. Konsekuensi terbesarnya, menurut Anies, adalah jatuh dalam batas tipis antara (1) dianggap sebagai analis yang rasional dalam melihat masalah, dan (2) dituduh sebagai simpatisan kelompok intoleran. Sebab yang terakhir disebutkan menyediakan ruang bagi penganalisa untuk berempati pada pelaku teror, di mana penganalisa berupaya mencari penyebab tindakan pendahuluan sasaran teror sehingga si pelaku teror merasa harus melancarkan tindakannya.

Anies sangat memahami dua kerangka ini (sebab dia yang mengajukannya secara ilmiah). Kira-kira hal seperti inilah yang terjadi pada diri Anies, akibat dominannya pandangan yang berbasis pada kerangka kultural, membuat kita mengalami keterjebakan dalam stereotipe tertentu, serta cenderung mengabaikan kemungkinan sebaliknya, bahwa mungkin saja kelompok Islam progresif ketika melakukan protes adalah wajar, karena adanya pendahuluan dari pihak yang berhadapan.

Bahayanya, kelompok-kelompok intoleran, fundamentalis, teroris, kerap dipersamakan dengan kelompok Islam progresif namun tidak memiliki niat untuk melakukan tindak kekerasan. Stereotipe kelompok-kelompok Islam progresif seringkali berdasarkan kesamaan ciri-ciri fisik, jargon, serta persamaan persepsi tentang perlunya kehidupan yang Islami.

Kalaupun Anies bisa mendekat dan berkomunikasi dengan kelompok-kelompok Islam yang progresif itu (bukan yang berideologi jihadis), itu karena Anies menguasai kedua kerangka yang sudah dipetakannya tadi. Bisa kita bilang, hal itu adalah bagian dari kemampuan Anies dalam membaca, mempelajari, serta menjalin komunikasi dengan kelompok yang berbeda.

Di samping itu, Anies juga sangat dekat dan piawai dalam menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh yang memiliki komitmen berdemokrasi yang tinggi. Penampilan dan pandangan-pandangan Anies juga tidak mencerminkan bahwa dia adalah representasi kelompok intoleran, atau menggunakan identitas muslim sebagai jalan untuk mencapai cita-cita politiknya.

Justru hal inilah yang dibutuhkan dari seorang pemimpin, mampu berdiri di atas semua golongan. Bukannya membagi-bagi masyarakat ke dalam dua kategori, antara yang pancasilais dan anti-pancasila; antara kawan dan musuh. Lalu masyarakat kemudian tersugesti, segregasi sosial semakin tercipta. Demikianlah jika diri sudah diidentifikasi sebagai pancasilais, maka yang berseberangan pendapatnya akan dituduh sebagai anti-pancasila.

Negara tidak boleh melakukan pemetaan sesederhana itu, termasuk membiarkan oknum-oknum pendengung (buzzer) yang berupaya demikian. Apalagi gara-gara pemetaan seperti itu membuat negara bersikap diskriminatif, jelas hal ini mengancam keutuhan persatuan bangsa. Sebaliknya, negara mesti mengayomi rakyatnya, bukannya memusuhi yang berbeda. Sikap pemimpin negara yang sangat menentukan dalam hal ini.

Lagipula musuh negara bukan warganya. Musuh negara adalah kekuatan asing yang mencoba mengobrak-abrik kesatuan bangsa.

***

Judul: Army of Roses: Kisah Nyata Para Perempuan Palestina Pelaku Bom Syahid
Penulis: Barbara Victor
Alih bahasa: Anna Farida
Pengantar: Anies Baswedan
Penerbit: Mizan
Tahun: Cet I, 2005
Tebal: 404 halaman
ISBN: 979-433-391-3

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun