Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book Pilihan

Seni Hidup Tanpa Beban; Dari Filsafat yang Dihidupkan Kembali

17 Januari 2023   08:38 Diperbarui: 17 Januari 2023   09:10 771 6
Filosofi teras. Sejak kemunculan buku ini di tahun 2019, saya sebenarnya sudah berniat untuk membacanya. Waktu itu seorang kawan baru saja membeli buku itu. Saya mengintip isinya hanya sebentar, sudah pasti belum bisa dipinjam, orangnya saja belum baca. Saya pun belum membeli buku itu sebab entri bacaan saya ada beberapa yang masih menunggu giliran.

Akhir januari 2022, sewaktu menjadi salah satu pembicara di suatu kegiatan literasi di Kota Palu, seorang teman yang juga pembicara di kegiatan itu membisiki saya sambil telunjuknya menuding "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring, yang ada di meja di  depan kami (sebagai pajangan). Katanya, itu buku bagus dibaca. Saya seketika jadi ingat. Oh iya, saya harus baca buku itu.

Bulan juni tahun ini (2022), barulah saya kesampaian membacanya, tak cukup dua pekan saya selesaikan di sela-sela kesibukan sebagai kepala keluarga, yang kesehariannya menghabiskan waktu lebih banyak dalam bekerja mencari nafkah. Benar saja kata teman saya itu, itu buku bagus dibaca! (Bagus di sini lebih saya artikan ke "menginspirasi" ketimbang "sempurna").

Bagusnya di mana? Pertama, buku itu diawali dari survei khawatir nasional yang dibuat oleh penulisnya sendiri di media sosial. Survei itu menurut penulisnya tidak menjamin kebenaran sesungguhnya yang terjadi di masyarakat. Melainkan hanya untuk mendapatkan suatu gambaran bagaimana filosofi teras akan dijelaskan sesuai kebutuhan.

Buku (seri) filsafat (populer) namun berangkat dari sebuah survei, berarti turut memelihara logika induktif. Artinya, kenyataan dijadikan sebagai basis untuk membangun suatu teori, minimal mementahkan stigma bahwa filsafat selalu bersifat deduktif, selalu berangkat dari sebuah konsep, sedang kenyataan adalah pembuktian kemudian.

Kedua, buku itu tidak mengabaikan pendapat ahli dari disiplin ilmu lain, apalagi ahli yang dimaksud adalah yang muda, berasal dari masa kini, bukan dari generasi orang tua--soalnya persepsi kita sering mengakui bahwa yang ahli hanyalah mereka yang sudah lama atau yang tua-tua, karena banyaknya pengalaman dan pengetahuan. Pada beberapa bab, diselipkan hasil wawancara bersama mereka. Misalnya saja di bagian pertama, wawancara dilakukan bersama dr. Andri, spesialis kesehatan jiwa. Itu dilakukan dalam rangka mencari akar masalah--secara kejiwaan--"kekhawatiran" sebagaimana hasil survei mandiri penulis.

Ketiga, antusiasme dalam membahasakan. Buku itu leluasa memakai kata yang baku dan tidak baku menurut sistematika penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun itu dilakukan tidak secara sembrono. Kata ganti aku-kamu suatu waktu menjadi loe-gue, utamanya pada sesi wawancara. Sedang penempatan kata-kata itu seolah sudah dipikirkan berlarut-larut.

Pemilihan kata-kata yang diusahakan mudah dipahami cukup membantu, bukan hanya dari segi hematnya penggunaan istilah-istilah ilmiah, tetapi juga kata-kata yang dikurung di dalam tanda ([]), juga tanda (--), demi memperjelas maksud penulis.

Keempat, karena mengupayakan bahasa yang mudah dipahami, buku itu berhasil mencerabut kesan angker di kepala pembaca sejak pertama kali mendengar judul. Biasanya, buku-buku filsafat selalu menyediakan titik-titik jenuh sejak dini. Beratnya pembahasan, serta permainan diksi, juga cara membahasakan menjadi faktor utama yang menyebabkan bosannya kita membaca buku-buku filsafat.

Kelima, pengupayaan kalimat juga rupa-rupanya yang membuat Henry Manampiring (penulis) menggunakan istilah "Filosofi Teras" sebagai judulnya. Filosofi teras tidak lain adalah filsafat Stoa (Stoicisme) yang bermula dari Zeno, lalu setelah itu lebih identik dengan Epictetus, Marcus Aurelius, dan Seneca. Para stoic menjalankan kelas filsafatnya di teras di bawah pilar-pilar batu.

Karena bukan dari jurusan filsafat, maka saya termasuk terlambat mengenal istilah ini. Saya pertama kali mendengar Stoicisme dari kuliah umum Romo A. Setyo Wibowo di Komunitas Salihara via youtube, video itu saya saksikan di tahun 2015. Saya waktu itu tidak sepenuhnya mengerti dan cenderung skip, maka informasi mengenai Stoicisme saya peroleh secara tidak lengkap. Nanti setelah membaca Filosofi Teras, barulah saya agak paham, begini rupanya Stoicisme itu.

Filosofi teras menekankan aspek praktis, berbeda dari aliran filsafat lainnya yang cenderung mengutamakan membangun konsep dan sebatas konseptual belaka. Sebuah kutipan menarik yang diambil dari Epictetus:

"Jangan menyebut dirimu sendiri 'seorang filsuf', atau menggembar-gemborkan teori-teori yang kamu pelajari ..., karena domba tidak lagi memuntahkan rumput kepada sang gembala untuk memamerkan banyaknya rumput yang dimakannya; tetapi domba mencerna rumput tersebut di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga, janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah tindakan yang nyata sesudah mencernanya." (Hal. 301)

Umumnya manusia berfilsafat demi memperoleh kebahagiaan. Namun untuk kaum stoa, kebahagiaan diperoleh dengan tindakan langsung. Antara lain adalah hidup selaras dengan alam, membebaskan diri dari emosi negatif, dikotomi (atau trikotomi?) kendali, amor fati (mencintai takdir), STAR (Stop-Think & Assest-Respond), premeditatio malorum (melatih diri membayangkan kemungkinan terburuk demi kesiapan), dan beberapa lagi yang lainnya.

Keenam, buku itu berhasil membuktikan bahwa betapapun suatu aliran filsafat sudah purba (sekitar dua ribuan tahun yang lalu) dan lama mandek, tetapi suatu waktu dapat diaktifkan kembali. Terlebih, jika ia rupanya relevan untuk era sekarang yang apa-apa harus internet; medsos. Ya, kita tahu bahwa medsos bukan sekadar internet saja, tetapi juga mental, sikap kita kala berhadapan dengannya.

Penyebaran hoaks yang marak terjadi tidak lepas dari adanya sikap terburu-buru meneruskan sebelum memahami dengan baik informasi yang ada (meminjam istilah yang jadi judul buku Gus Nadirsyah Hosen: [baiknya] Saring Sebelum Sharing). Hanya karena informasi itu dipandang mewakili perasaan, yang sesungguhnya tidak penting bagi kita tapi malah meneruskan tanpa mendalami, maka masuklah kita dalam mata rantai penyebaran hoaks itu.

Filosofi teras (stoa) datang untuk berupaya mengingatkan, bahwa impresi awal atau fakta yang dialami pada dasarnya adalah netral, kitalah yang memberinya penilaian, apakah itu berkah ataukah kesialan? Fakta adalah sesuatu yang terjadi di luar kendali, maka memusingkannya tak ada gunanya. Sebaliknya, kepusingan merupakan emosi negatif yang bisa dikendalikan. Fakta tidak akan berubah baik kita stres atau tidak, maka stresnyalah yang perlu diatasi.

Ketujuh, buku itu (filosofi teras) mengajarkan kita untuk hidup tanpa beban, dengan tips-tips yang sudah diajukan oleh Henry Manampiring. Menjadi stoic ibarat menjadi batu, atau layaknya pilar-pilar batu di mana kaum stoa membangun sekolah filsafatnya, berdiri kekar di hadapan kenyataan yang pahit.

Kalau bisa, penderitaan justru disyukuri, layaknya Zeno yang bersyukur kapalnya karam. Sebab kalau tidak, ia mungkin tak akan berjumpa dengan cara berpikir stoic seperti itu.

Namun betapapun bagusnya tawaran untuk hidup tanpa beban ala Stoicisme, filosofi teras bukannya tanpa sisi kekurangan. Ada beberapa hal yang mesti diwaspadai dalam filosofi teras yang juga sekaligus merupakan poin kritik untuknya:

Pertama, filosofi teras memang melatih kita untuk tidak memusingkan tanggapan orang lain, sebab tanggapan orang termasuk hal yang tak bisa kita kendalikan. Namun berbahaya jika terbiasa seperti itu, lalu kita yang berada di posisi penanggap dan dalam kesadaran kita bahwa tanggapan kita itu tidak akan membuat orang lain sakit hati, atau mungkin berharap orang lain juga berprinsip stoic (tidak pusing atas tanggapan kita).

Kedua, perasaan juga adalah pengetahuan. Kita merasakan sakit hati, marah, sedih, ataukah gembira, senang, dll., merupakan suatu potensi alamiah. Lalu ada pengetahuan tingkat lanjut, yaitu merasakan perasaan marah, dan bisa membedakannya dengan merasakan perasaan gembira, itu juga mesti dipertajam.

Emosi negatif tidak selamanya harus dipandang sebagai sesuatu yang buruk ketika dialami. Emosi negatif dapat kita ketahui bahaya dan keuntungannya--jika emosi itu terdeteksi dan karenanya kita menjadi mawas diri--hanya jika emosi negatif itu dialami.

Lagipula emosi negatif semisal kekesalan, kesakitan, atau kemarahan, sementara orang justru melampiaskannya bukan ke hadapan publik. Misalnya dilampiaskan ke (menggebuki) pohon pisang, atau yang belum lama ini, El-Rumi melampiaskan kekesalannya dengan mengajak duel secara resmi di ring tinju terhadap orang yang dia anggap menghina ayahnya (Ahmad Dhani), dan di situ El-Rumi bisa puas atas dua hal: kemenangan di ring tinju, dan keberhasilannya dalam mengakhiri emosi negatifnya.

Ketiga, menjadi stoic juga berarti terbiasa menjadi apatis. Apalagi salah satu doktrin utama Stoicisme adalah apatis (a [tidak] phatos [sakit]). Bagaimana jika DPR, pers, ormas, dan masyarakat secara umum sudah tidak pusing atas kondisi negara, rakyat menderita karena kebijakan yang salah? Bagaimana jika negara dibiarkan (misalnya) dikuasai oleh segelintir orang (oligarki)? Niscaya kehidupan politik kita semakin tidak sehat, sebab kontrol kebijakan yang tidak pro-rakyat tidak berjalan dengan baik. Baik koalisi maupun oposisi tidak berfungsi.

Selebihnya, buku filosofi teras karya Henry Manampiring sangat berguna bagi kita. Utamanya bagi kita yang kesehariannya lebih banyak di medsos, di mana emosi bisa diluapkan dengan leluasa. Di sana kita berhadapan dengan ujian kehidupan online berupa mental artis--yang hidupnya selalu merasa disaksikan penonton--kadangkala membuat kita mudah berubah menjadi makhluk egois.

Juga dalam ujian kehidupan offline atau luring: kemacetan, terlambat tiba di tempat kerja, dimarahi bos, ketinggalan kereta, ban bocor ..., semuanya bisa membuat kita stres dan marah-marah tidak jelas. Salah satu obatnya adalah filosofi teras.

Mungkin ada yang menyebut Filosofi Teras hanyalah sebuah buku motivasi. Bisa saja, namun perbedaannya terletak pada cara melihat masalah. Buku-buku motivasi yang lain cenderung melihat masalah sebagai sesuatu yang harus diatasi, dikelola, dikendalikan, supaya hidup bisa bahagia. Filsafat stoa justru memandang hal demikian sebagai upaya lari dari kenyataan.

Filosofi teras berbeda, masalah dipandang sebagai suatu fakta yang tidak dapat dikendalikan. Maka mesti dihadapi, dengan cara pikiran dan perasaan kita--sebagai hal yang dapat kita kendalikan--yang perlu di atasi. Dengan begitu, kita menjadi kuat dan terbiasa memaklumi risiko yang ada. Namun  filosofi teras juga punya premeditatio malorum: membayangkan kemungkinan terburuk dari suatu risiko, supaya antisipasi bisa segera disiapkan demi lebih siap menghadapi masalah.

Menjadi stoic juga berarti berdiri seperti batu di hadapan masalah. Kebahagiaan bagi kaum stoa adalah berhasil menghadapi kerasnya masalah dengan segenap ketegaran yang dipunyainya.

***

Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: 2019
Tebal: xxiv + 320 halaman
ISBN: 978-602-412-518-9

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun