Setiap berada di Yogya, saya selalu mengandalkan angkutan umum untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Selain Trans Jokja yang cukup nyaman itu, angkutan umum andalanku adalah minibus tua jurusan Prambanan-Yogya. Dilihat dari kondisinya, rata-rata armada mobil penumpang trayek ini sudah seharusnya pensiun atau waktunya dikilokan menjadi besi tua. Sebagian besar bodinya nyaris tak berbentuk lagi, dengan bau besi yang menyengat karena berkarat luar dan dalam. Kalau sedang tidak beruntung, saya sering mendapat jok tempat duduk yang kulit pelapisnya terkelupas dan hanya menyisakan busa apek berwarna kehitaman. Tidak ada dashboard di bagian depan. Yang tersisa hanya batang kemudi ditengah gumpalan kabel ruwet yang sudah putus di sana-sini. Suara mesinnya kalah oleh paduan suara gaduh dari kaca-kaca yang saling beradu atau pintu yang mau terlempar dari engselnya.
Di tengah jalanan kota Yogya yang makin disesaki mobil dan motor merk terbaru, angkutan jenis ini mirip kaleng rombeng berjalan. Salah besar kalau ingin sampai tujuan tepat waktu dengan menggunakan mobil penumpang ini. Lebih tepat kalau angkutan ini menjadi tempat untuk menguji kesabaran karena jalannya yang merayap pelan, “mengais sisa-sisa” penumpang yang kini lebih memilih jasa angkutan yang dingin ber-AC atau beralih menggunakan sepeda motor yang lebih cepat dan mudah dikredit. Dari trayek yang biasa aku lalui setiap pagi, sebagian besar penumpangnya adalah ibu-ibu yang hendak berjualan di pasar, buruh pabrik atau toko oleh-oleh di sepanjang jalan Solo-Yogya. Mereka biasanya saling kenal satu sama lain. Dalam hati, aku mengira bahwa mereka disatukan oleh nasib sebagai sesama pengguna jasa angkutan tua tersebut.
Dari segelintir penumpang yang biasa menjadi teman perjalanan, ada seorang nenek renta yang hampir tidak pernah absen duduk terbungkuk di kursi dekat pintu. Selalu di situ. Sementara penumpang lainnya saling berbincang dengan akrab, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut nenek itu. Kepalanya selalu tertunduk dan matanya yang keriput memandangi jalanan aspal. Kadang aku mendapatinya terkantuk-kantuk dengan nikmatnya. Setahuku, ia juga tidak membayar ongkos setiap kali turun di sebuah pasar di sudut kota Yogya. Entah apa yang ia lakukan. Mungkin ia menjadi pengemis karena tidak seperti ibu-ibu lainnya yang turun di pasar dengan membawa karung berisi dagangan, tidak ada barang apapun yang ia bawa selain tongkat penopang tubuhnya yang lemah.
Apapun yang ia kerjakan di pasar itu, si nenek menjadi teman perjalananku dalam mobil angkutan reyot yang terengah-engah menyusuri jalanan Yogya yang semakin macet dan panas…