Saya pernah menyaksikan secara langsung pelaksanaan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh, tepatnya di Kabupaten Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat. Menyaksikan pelaksanaan hukum cambuk secara langsung ternyata berbeda dengan melihat tayangan hukuman tersebut di TV atau membaca dari media cetak. Banyak sisi lain dari pelaksanaan hukum cambuk tersebut yang sebenarnya mencerminkan realitas yang terjadi di masyarakat dan bisa jadi merupakan wajah masyarakat kita sendiri.
Selesai sholat Jum’at, ketika matahari tengah panas-panasnya, ribuan orang mulai berduyun-duyun datang ke depan Masjid Agung Nagan Raya. Di halaman masjid telah berdiri sebuah panggung yang penuh hiasan, layaknya sebuah panggung untuk pertunjukan hiburan. Di samping panggung, terdapat sebuah tenda yang menaungi deretan kursi empuk berukir, di mana beberapa pejabat lokal, baik dari pemda maupun pejabat penegak hukum serta para ulama duduk dengan jumawa menyaksikan rakyat dan umatnya sambil menikmati makanan dan minuman kecil yang terhidang. Tidak ketinggalan, dari sound system yang sudah disiapkan oleh panitia pelaksana hukuman cambuk mengalun musik-musik yang bernuansakan Islami.
Ketika waktunya tiba, sebuah mobil tahanan masuk ke halaman masjid. Segera saja massa berdesak-desakan mengerumuni mobil berwarna hijau tua, ingin tahu lebih dekat wajah-wajah sang terhukum yang hanya bisa tertunduk saat keluar dari mobil tahanan. Lalu dimulailah prosesi pelaksanaan hukuman. Seorang petugas membacakan susunan acara pelaksanaan hukuman, diantaranya pembukaan, pembacaan Al Quran, tidak lupa juga sambutan-sambutan dari para pejabat lokal. Dalam sambutannya, seorang pejabat lokal mengatakan bahwa acara hari tersebut adalah bukti keseriusan pemda untuk menerapkan syariat Islam. Bahwa hukuman ini hendaknya menjadi hukuman yang pertama dan yang terakhir. Bahwa syariat Islam adalah keharusan untuk menghilangkan penyakit masyarakat seperti judi, minuman keras dan zina dan sebagai upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara Kaffah (total, menyeluruh).
Satu persatu para tahanan yang berpakaian putih-putih dibawa naik ke atas panggung sambil tertunduk lesu dan pasrah. Seorang aparat hukum setempat menerima 4 buah rotan (sesuai dengan jumlah terhukum) dari seorang pejabat lokal, dan dengan bangga mengacung-acungkan cambuk itu ke udara seperti mengacung-acungkan piala kemenangan sebuah kejuaraan. Lalu dimulailah acara “suci” itu. Dua orang algojo dengan muka tertutup bersiap dengan mengenggam sebuah cambuk, atau lebih tepat tongkat rotan sepanjang lebih kurang 1 meter. Satu-persatu para terhukum menerima cambukan di punggungnya, masing-masing sebanyak tujuh kali. Setiap kali mereka selesai menerima cambukan, para terhukum dibawa turun dari panggung, bersalaman dengan bapak-bapak pejabat, menerima bingkisan, lalu kemudian di bawa masuk kembali ke mobil tahanan. Begitu terhukum terakhir selesai dicambuk dan dibawa ke mobil tahanan, secepat itu juga kerumuman massa bubar. Orang-orang berdesak-desakan, raungan kendaraan bermotor, wajah-wajah yang beragam ekspresi. Mirip dengan situasi saat selesainya pertunjukan konser musik atau sepakbola. Lalu, panggung dan halaman masjid pun sepi kembali.
Pada saat itulah fikiran saya bergejolak. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba meluap dalam otak. Saya ingin mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, atau tidak tepat, atau apapun yang menurut saya tidak pada tempatnya. Sebagai muslim, memang saya tidak terlalu faham secara detail mengenai dalil-dalil Fiqh yang berkaitan dengan hukum cambuk, rajam atau potong tangan. Saya hanya menulis dalam konteks sosial berdasarkan apa yang saya lihat dan nyata.
Pertama, setting tempat pelaksanaan hukuman di mana para pejabat dengan santai melihat pelaksanaan hukuman tersebut, di bawah tenda yang teduh, duduk di kursi empuk, dengan makanan dan minuman terhidang di meja, kontras dengan massa yang harus berdesak-desakan dalam terik matahari sambil sesekali di halau oleh petugas karena dianggap tidak tertib. Para pejabat tersebut seakan-akan adalah pihak yang mempunyai otoritas penuh dengan segala macam aturan, membuat aturan, atau bahkan menentukan siapa-siapa saja yang pantas dihukum. Mereka seakan-akan adalah the untouchable, kebal dan bahkan mungkin suci dari segala tindak maksiat. Masih terlihat jelas kentalnya budaya feodalisme, di mana pejabat adalah gusti, raja, pihak yang mempunyai kekuasaan penuh dan berhak mendapat perlakuan istimewa bahkan dalam menonton sebuah pelaksanaan hukuman, sementara rakyat adalah kawula, abdi, bawahan yang harus rela berpanas-panas. Sebuah proses diskriminasi antara penguasa dengan rakyatnya, yang ironisnya terjadi pada pelaksanaan sebuah “ritus” yang bertujuan untuk menegakkan agama Islam yang tidak mengenal pembedaan status antara pemimpin dan rakyat.