Dia, bergerak seperti bola salju, terus membesar ketika dia menggelinding. Sampai suatu saat dia membukit lalu kita menerimanya sebagai fenomena alam yang tak terhindarkan, dan hidup bersamanya sepanjang waktu. Setelah gaji kita yang mencekik dipotong pajak, Karcis bioskop yang makin mahal dipungut bea, Asap rokok yang mulai pahit tercemar tingginya tarif cukai, Saudara TKI kita yang menyetor devisa dari luar negeri, Migas & nonmigas dikeruk lalu dijual, Hibah dan Utang luar negeri, maka terkumpul
penerimaan negara sebesar
Rp1.086,4 triliun APBN. Ke mana uang itu diperuntukkan? Busyro Muqoddas menjawab pertanyaan itu dengan sangat baik, Potensi kerugian negara atas kasus korupsi pembayaran pajak sebesar Rp 50 miliar, Pendidikan lebih dari Rp 204,2 miliar, Kesehatan lebih dari Rp113,4 miliar, dan Infrastruktur lebih dari Rp 597,5 miliar. Selain itu, Kehutanan lebih dari Rp 2,3 triliun, Migas lebih dari Rp 40,1 triliun, Keuangan Daerah lebih dari Rp 1,3 triliun, dan Perbankan lebih Rp 1,8 triliun. Pelaku yang sedang ditangani KPK tambah Busyro Muqoddas terdiri dari hakim (1), duta besar (4), kepala lembaga dan kementerian (6), komisioner (7), gubernur (8), wali kota dan bupati (22), lain-lain (26), anggota DPR dan DPRD (43), swasta (44), pejabat eselon I, II, serta III (84). Parahnya lagi yang dikorupsi bukan cuma APBN tapi juga APBD, artinya, uang parkir kita juga disikat. Ini Korupsi berjamaah, maka benar kata Karl Kraus, pengarang dan wartawan Austria abad 19, "Korupsi itu lebih hina daripada Prostitusi, Prostitusi hanya merusak moral pribadi, tapi korupsi merusak moral sebuah bangsa". Tapi judul artikel ini adalah "Korupsi Mempersatukan Indonesia", bagaimana bisa?
Nazaruddin mewakili Partai Politik,
Gayus Tambunan mewakili Perpajakan,
Syarifuddin mewakili hakim,
M. Slamet Hidayat mewakili duta besar,
Syamsul Arifin mewakili Gubernur dan masih banyak lagi yang mewakili hampir semua lembaga di Indonesia. Walaupun berbeda suku, agama, Ras dan kepercayaan, mereka disatukan oleh sebuah kata "korupsi". Tawar menawar kepentingan politik di tingkat pusat hingga daerah membuat elit-elit pemimpin negara ini makin mesra, makin bersahabat dan makin bahu membahu menyembunyikan kejahatan. Nazaruddin pun coba tawar menawar dengan Presiden, "Saya minta sama Pak SBY, jangan ganggu anak istri saya. Saya enggak akan ngomong apa-apa, saya lupa semuanya, saya enggak tau apa-apa," tutur Nazaruddin. Indonesia memang bersatu di bawah Bhineka Tunggal Ika, tapi ketika jalanan makin berlubang, jembatan banyak yang putus, kereta api hanya ada di wilayah barat, kapal feri sudah berkarat, pesawat udara banyak yang bekas, keadilan yang timpang dimana-mana, yang kaya makin sejahtera, yang miskin makin melarat, sepakbola tak sanggup menyatukan kita, agama mulai diperalat. Ketika darat dan laut sepertinya mulai enggan bersatu, jangan khawatir karena Dia, Korupsi, bergerak seperti bola salju, terus membesar ketika dia menggelinding. Sampai suatu saat dia membukit lalu kita menerimanya sebagai fenomena alam yang tak terhindarkan, dan hidup bersamanya sepanjang waktu. Meski harus dimusnahkan, meski memalukan, kita semua telah mencoba dan pada waktunya nanti perlawanan terhadap korupsi di Indonesia akan menemukan cahaya di ujung lorong yang gelap, tapi saat ini,
Korupsi Mempersatukan Indonesia.
KEMBALI KE ARTIKEL