Patut disyukuri bahwa upaya pengentasan kemiskinan global yang belakangan dicetuskan PBB berjalan sesuai harapan, angka kemiskinan turun drastis dari 42 persen (1990) menjadi 20 persen (2010). Tapi penurunan ini amat kontradiktif karena jumlah yang kekurangan gizi malah meningkat.
Ketahanan Pangan Indonesia
Seperti halnya semua negara di dunia, Indonesia juga mengalami peningkatan masyarakat middle class yang mengkonsumsi pangan lebih banyak, hal ini menimbukan masalah pada ketahanan pangan negara kita yang memang seringkali mengalami krisis, jika terjadi krisis pangan maka masyarakat lower class dengan daya beli rendahlah yang akan merasakan dampak langsungnya. Sudah sepatutnya kita mewaspadai masalah ketahanan pangan, seperti kata Presiden SBY, "harus tetap peduli terhadap ketahanan pangan sekalipun telah berhasil swasembada sejumlah kebutuhan pangan unggulan". Sedikitnya ada tiga hal yang harus kita waspadai terkait masalah ketahanan pangan, yang pertama adalah ketergantungan kita pada dunia internasional, kestabilan harga komoditas pangan saat ini dipengaruhi oleh pasar global.
Yang kedua adalah Iklim dan curah hujan yang tak menentu, anomali cuaca yang terjadi saat ini sangat menyulitkan petani, para penyedia pangan. Di wilayah Sulawesi Selatan saja para petani merugi akibat ketidak mampuan memprediksi cuaca, di Bulukumba, petani rumput laut bermasalah dengan turunnya kadar garam di laut, daerah penghasil jagung di Gowa, Takalar dan Jeneponto beralih menanam padi karena tanaman jagung mereka mati, kabar gembira bagi ketersediaan beras namun malapetaka untuk target produksi jagung Sulsel tahun ini sebesar 1,5 juta ton. Di Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap dan kabupaten lainnya, hujan tak menentu menurunkan kualitas produksi padi, sawah terendam gabah menghitam, tak ada sinar matahari yang cukup untuk mengeringkan padi, petani merugi.
Kewaspadaan ketiga yang harus kita miliki adalah sistem birokrasi yang bertele-tele dari pemerintah dan budaya korupsi. Korupsi memang merusak semua persendian bangsa. Tidak jarang harga komoditas melambung tinggi sebagai dampak dari ketidak hati-hatian pemerintah menentukan tarif energi, listrik dan bahan bakar. Rencana pemerintah menaikkan TDL dan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri justru menjadi peluang oknum-oknum pada mata rantai perdagangan untuk berspekulasi dalam rangka memperoleh keuntungan yang lebih besar. Politisasi dan pencitraan pemerintah ini justru merupakan celah bagi oknum tak bertanggung jawab untuk menaikkan harga komoditas pangan, padahal baru rencana. Jika benar gaji dinaikkan pun, hanya akan berdampak bagi sekitar 5 juta rakyat Indonesia. Selebihnya makin sulit memenuhi kebutuhan pangan.
Yang harus kita lakukan
Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen yang kuat pada ketahanan pangan tersurat dalam berbagai dokumen negara. UUD 1945 (Pasal 27 Ayat 2, Pasal 33Ayat 3 dan Pasal 34) secara implisit memberikan jaminan pada setiap penduduk Indonesia berhak atas kecukupan pangan yang menyehatkan. Secara teoritis upaya menguatkan ketahanan pangan disampaikan dalam Konfrensi Ketahanan Pangan tahun 1979 sebagai berikut "Pada sub-sistim produksi, kebijakan yang ditempuh meliputi: intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan diversifikasi guna terwujudnya swasembada pangan. Pada subsitem pengadaan dan distribusi, kebijakan yang ditempuh meliputi stabilisasi cadangan dan harga nasional. Pada subsitem konsumsi pangan, kebijakan yang ditempuh antara lain pengaturan dan pengawasan keamanan pangan dan pola makan sehat. Khusus di Indonesia, strategi penguatan ketahanan pangan dititik beratkan pada upaya mencapai swasembada. Upaya itu mengandung tiga misi, pertama menyediakan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, kedua menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, terakhir mewujudkan tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan masyarakat (UU No.7 Tahun 1996)
Secara sederhana, yang harus kita lakukan adalah memutus ketergantungan dan sifat ikut-ikutan dengan penentuan harga komoditas oleh pihak internasional, mengantisipasi anomali cuaca dengan penganekaragaman tanaman. Juga tak kalah pentingnya menghilangkan budaya birokrasi yang tak mementingkan rakyat.
Akhirnya, ada baiknya kita membuka mata kita lebar-lebar untuk melihat ke sekeliling, adakah tetangga atau kerabat kita yang membutuhkan makanan, karena tak akan tercapai gerakan "feeding one billion hungry", tanpa dimulai dengan satu langkah kecil.