Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku pun Melihat dan Geram.

3 Agustus 2012   07:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 262 1
“Aduh, tolong jangan hari ini ya Pak, saya mohon, ini baru saja datang mau berdagang.” ujar Kang Sa’i pedagang siomay itu merujuk pada puluhan petugas Satpam baru yang menghampirinya pagi itu.

***

Awal Januari 2010 sekitar pukul Setengah delapan pagi. Suasana kampus pagi itu cukup sepi, tak heran karena masih dalam masa libur semester. Tetapi aku memang tak pernah memikirkannya, libur atau tidak sama saja bagiku, setiap harinya aku akan terus beraktifitas ditengah-tengah kampus negeri favorit di Provinsi ini.

Bahkan tak terfikirkan olehku sejak kapan aku mulai ada disini, yang jelas aku sangat dan harus  menikmatinya.

“Huh, kenapa pagi ini hawanya panas ya, padahal baru jam setengah delapan pagi”  Ujarku dalam hati sambil memulai aktifitas pagiku di Kampus ini.

Seperti biasanya, Kang Sa’i datang paling awal, menempatkan gerobak siomaynya di dekat bangku taman nomor dua sebelah kanan dan langsung menyapu sekitaran lahan berdagangnya tanpa menyapaku. Akupun lebih memilih diam dan hanya mengamatinya sambil tersenyum kecil.

”Wah, banyak betul daun kering hari ini, huh.” keluh Kang Sa’i yang masih sibuk menyapu.

”Udah jam sembilan a’? ” Tanyanya dengan dialek kental khas Sunda pada pedagang kaki lima lain yang juga mengais receh ditempat ini.

”Ia, udah, kenapa emangnya ? janjian ya? Hehe.” Jawab pedagang itu sekenanya.

Namanya Sodri, Ia biasa disapa kyay oleh mahasiswa pelanggannya. Kyay Sodri bersama istrinya hanya punya gerobak kecil dan berdagang rokok, minuman serta snack, sudah 13 tahun ia berdagang di sini.

Tempat ini memang kerap disebut jantung kampus ini, bahkan kampus ini sering di identikkan dengan keberadaan tempat ini, ya, entah sudah berapa lama. Dan aku merasa nyaman dengan citra itu, karena tempat ini dan aku adalah hal yang tak terpisahkan samasekali.

Ada istilah paling unik yang sering aku dengar dari ribuan mahasiswa yang silih berganti meluangkan waktu santainya di tempat ini. Dilemmatical place, haha..

Sepanjang hidupku di sini, aku tak pernah bisa mengenyam pendidikan, tapi tak berarti aku tak memiliki pengetahuan, Aku percaya, bahwa alam raya inilah sekolah ku dan semua orang disekitarku adalah ibu guru, yang senantiasa memberiku pengetahuan, meski mereka tak pernah menyadari itu.

Aku fahami istilah unik itu setelah banyak orang yang mendiskusikannya di tempat ini. Aku tak cukup pandai untuk merangkumnya menjadi sebuah definisi yang logis seperti mahasiswa-mahasiswa itu sering ucapkan, tapi aku faham, setidaknya tempat ini senantiasa menjadi tempat spesial bagi setiap orang yang mengetahuinya, layaknya pelangi, tempat ini memiliki paduan warna yang mengesankan.

Ada semangat, ada canda tawa, ada tangis, ada yang berdegup grogi, ada si pemurung, ada maling, ada rengekkan pengemis kecil, ada si pemalu yang hanya jalan menunduk, ada kesan nyaman, ada cinta, dan tak sedikit yang punya kesan angker atau menyeramkan.

***

Pagi itu aku sempatkan menyapa saudaraku, yang juga beraktifitas di area yang sama setiap detiknya, kamrena kami tak pernah akan beranjak kecuali mereka yang memindahkannya.

”Yay, pulang yay, bawa aja dagangannya semua sekarang !”

”Pokoknya maaflah ya, kita gak mau main kasar, gotong semua dagangan kalian sekarang juga !” Suara –suara lantang itu tiba-tiba memecah pagiku yang sepi.

Puluhan pria tegap berseragam biru dan memegang pentungan itu sumber suaranya, mereka adalah personil Satuan Pengamanan baru yang direkrut untuk meningkatkan keamanan kampus beberapa waktu yang lalu.

”Maaf ya Bapak-Bapak, kami pihak Rektorat kan sudah kasih peringatan dari jauh hari, Ini kampus tempat kuliah, bukan pasar !” tegas Pria berdasi yang datang menyusul.

”Mau gimana lagi Pak, kami cuma numpang cari makan, lagian disini kami pedagang resmi yang punya surat izin, kami juga bayar salar tiap hari kok.” Timpal Kyay Sodri merajuk.

”Maaf, hari ini juga tolong bawa jauh-jauh dagangan kalian, kalu ndak saya suruh Satpam ini angkut dan kami sita.” Jawab Pria berdasi itu memanas.

***

”Benar-benar "panas" rupanya hari ini.” Ucapku dalam hati.

Sayang aku hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan sesuatu apapun.

Dari pucuk teratas ini semakin jelas aku dapat melihat, sekitar 20an personil Satpam berpatroli menyebar ke titik-titik pedagang berjualan, sekitar enam personil sedang melahap nasi bungkus di Halte itu, mungkin mereka kelelahan berteriak.

Selang waktu kemudian, rombongan kuli lengkap dengan martilnya didatangkan dan mulai merobohkan kios-kios kecil dekat Halte itu.

***

Kejadian ini masih berlanjut di hari esoknya. Seperti biasa, pagi ini aku sudah siap beraktifitas, tanpa Kang Sa’i dan pedagang lain tentunya.

Namun seperti biasanya, tempat ini tetap menjadi pilihan melepas penat bagi mereka. Sekumpulan mahasiswa duduk dan larut dalam celoteh seorang diantaranya. Akupun tertarik untuk terlibat. Sayup –sayup kudengar,,

“Emang gila, kenapa coba? Mereka fikir mahasiswa merasa nyaman nongkrong di sini tanpa jajan.” Ucap seorang mahasiswi manis membuka wacana.

“Kemarin aku di kampus, kaget juga lihat ada penggusuran, tapi alasannya biar gak kotor gitu, kan keliatan jorok kalo kampus kita rame pedagang liar, apa lagi pengemis anak-anak yang suka maksa kalo minta, ih.” Saut rekannya.

“Udah lah, gak penting-penting amat, kalo gak enak disini kita pindah di kantin biar bisa makan.” Timpal kawa lainnya memoderasi wacana.

“Gak gitu lah, aku ni makin heran dengan kebijakan kampus, kita sudah cukup penat dengan ritme akademik yang padat, kita butuh kenyamanan, kita butuh refreshing yang alami tapi terjangkau, seperti tempat ini misalkan. Liat nih baru sehari gak ada PKL, kita jadi males nongkrong disini, jadi kotor pula.” Sanggah mahasiswi manis tadi.

“Hmm, semestinya gak perlu diusir, apa gunanya kemarin personil Satpam ditambah kalo Cuma jadi tukang gusur, kalo hematku sih Pihak Rektorat harusnya lebih akomodatif dan solutif soal ini.” Tambahnya.

“Maksudmu?” tanya rekannya yang lain kebingungan.

Hhhwwssssssssss,,,,,,,,,,,

Hembusan angin menyulitkanku terlibat lebih jauh dalam celoteh mereka.

***

Matahari sudah jauh bergeser dari yang sebelumnya tepat berada di atasku.

Sudah Sebulan lebih dari kejadian itu, tapi aku masih tetap beraktifitas di tempat ini, entah sampai kapan.

Hujan rintik mengguyur ku sejak pukul dua siang tadi, Aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Biasanya suasana interaksi manusia di sekitarku saat hujan rintik seperti sekarang akan menambah indah pelangi yang muncul saat reda nanti.

Sebuah pondokan di dekatku mulai diramaikan oleh mereka yang sengaja berteduh.

Suara-suara celoteh manusia sore ini mengingatkanku pada kejadian pagi itu.

Aku, bagi sebagian orang yang menyadari peranan eksistensi makhluk hidup di bumi ini,  kita adalah sama, sebagaimana kalian, aku pun hidup dan bisa melihat, bisa merasakan,  bisa mendengar, dan bisa berbuat.

Aku sendiri lebih bersepakat dengan analogi yang pernah diutarakan seorang pengunjung. Layaknya sebuah tubuh, aku adalah jantung, yang memiliki peran vital menjaga keseimbangan hidup tubuh ini, saudara dekatku di umpamakan sebagai organ hati, yang memiliki peran sama vitalnya dalam tubuh ini. Kami berdua merupakan ”simbol kehidupan” kampus ini.

Mengingat celoteh kritis dari seorang mahasiswi manis beberapa waktu lalu saat menanggapi kejadian penggusuran itu.

Aku dengan kemampuan alam yang sederhana pun mampu menangkap maksud perkataanya, Senada dengan celotehnya, Aku fikir Pihak Rektorat yang katanya berperan vital mengatur keseluruhan sistem di Kampus ini, harusnya lebih mampu mengeluarkan kebijakan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan objektif. Tidak perlu mereka menambah rusak citra Satpam dengan tindakan kasar penggusuran dan pengusiran pedagang, Tak bijak pula rasanya bila Rektorat yang dihuni kaum intelektual papan atas selalu mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan kebutuhan massa.

Mengaitkan pada info yang aku dengar, Kampus ini telah menerapkan sistem pengaturan keuangan yang mandiri toh, mungkin lebih baik bila kepentingan pedagang ini di akomodir dan di buatkan wadah resmi dibawah naungan Rektorat tanpa perlu mengusir dan dampaknya justru hanya keluh kesah yang muncul.

Melihat lingkungan sekitarku beraktifitas yang dulu ramai, kini menjadi agak sepi dan tampak tak terawat, hal ini mengingatkanku pada jasa Kang Sa’i yang senantiasa menyapu dan membersihkan sampah sebelum dan sesudah berdagang setiap harinya.

Namun Sayang, aku hanya bisa melihat, dan aku  geramdibuatnya  !
__________

Kotak Labirin Bandar Lampung, Akhir Juni Tahun 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun