ZIS untuk program MBG
Program makan Bergizi Gratis yang dilaksanakan oleh pemerintahan presiden Prabowo-Gibran merupakan wujud kepedulian dan perhatian serius pemerintah terhadap pembangunan sumber daya manusia. Secara empiris, Program MBG telah diterapkan di banyak negara maju, seperti jepang sejak 150 tahun silam.
Amerika dan India yang merupakan negara dengan populasi terbesar dunia sejak lama telah menyiapkan kualitas SDM masyarakatnya dengan intervensi gizi sejak dini. Hasilnya, saat ini ketiga negara tersebut memimpin dalam sektor pembangunan SDM global dengan output kemajuan teknologi dan informasi yang luar biasa.
Secara saintifik, intervensi gizi sejak dini terutama pada usia golden age hingga remaja memiliki dampak yang berarti pada proses tumbuh kembang anak. Gizi yang seimbang dan cukup pada usia pertumbuhan berperan besar pada pembentukan massa otak anak.
Pada prinsipnya, Program MBG memiliki tujuan mulia tidak hanya untuk menekan angka prevalensi stunting, tapi juga meningkatkan kualitas SDM generasi penerus bangsa. Artinya MBG bukan sekedar menjadi agenda pemenuhan janji politik presiden Prabowo, tapi lebih merupakan upaya pemerintah menjalankan amanah konstitusi. Yakni perintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di saat yang sama, data angka kemiskinan di Indonesia tahun 2024 menurut BPS terdapat 11,34 persen angka kemiskinan di desa dan sekitar 6 persen di wilayah perkotaan. Fakta kemiskinan merupakan faktor paling menghalangi tinggi angka prevalensi stunting dan rendahnya IQ anak Indonesia.
Oleh karena itu, bagi kami kehadiran program MBG menjadi jawaban atas kebutuhan paling dasar dalam proses pengembangan SDM Indonesia. Di tengah fenomena masih tingginya angka kemiskinan dan prevalensi stunting.
Di sisi lain, Keterbatasan anggaran pemerintah menyebabkan program MBG tidak bisa dilaksanakan secara serentak. Tentunya Hal ini berpeluang menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat yang anaknya belum kebagian jatah. Pemerintah bahkan menargetkan MBG baru akan dilaksanakan secara serentak hingga akhir tahun. Presiden Prabowo pun gelisah.
Kaitannya MBG-ZIS
Syariat Islam memberikan perhatian khusus dan serius pada upaya pengentasan kemiskinan dan kefakiran yang berujung pada kelaparan dan kekafiran. Banyak ayat dan kisah inspiratif Rasulullah Muhammad SAW yang terkait dengan berzakat berinfaq dan bersodaqoh kepada fakir miskin, bahkan kepada mereka yang non Islam.
Umat Islam tentu pernah mendengar kisah Nabi dengan wanita Yahudi tua yang buta. Bagaimana Rasulullah dengan sabarnya memberi dan menyuapkan makanan dengan lemah lembut kepada wanita Yahudi buta yang justru seringkali mencaci maki beliau.
Pada kisah yang lain, diceritakan ada seorang wanita "pelacur" Bani Israil yang dijanjikan surga oleh Allah SWT hanya karena menyempatkan diri untuk memberikan minum kepada seekor anjing di tengah teriknya gurun pasir.
Apa makna dari kisah ini? Bahwa sejatinya ZIS merupakan ajaran universal yang disyariatkan oleh Islam agar memotivasi umatnya dengan motivasi ibadah dan hanya mengharapkan ridho Allah SWT. Dari dua kisah dia Atas dapat juga kita katakan bahwa syari'at zakat infaq dan sedekah merupakan instrumen dakwah bagi umat Islam kepada umat manusia di mana pun.
Sehingga, tidak tepat jika banyak dari kita yang secara sempit meng-kanalisasi program MBG ini sebagai program presiden Prabowo semata. Program MBG adalah bagian dari agenda kemanusiaan yang seharusnya bersifat inklusif dan partisipatif.
Sementara itu, ZIS menjadi syari'at yang mengajarkan dan bahkan mewajibkan umat Islam untuk mendistribusikan modal dan harta. Agar umat Islam peduli dengan keadaan saudaranya, terutama bagi para pemimpin. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz adalah contoh pemimpin beda generasi yang berhasil memanfaatkan ZIS untuk pengentasan kemiskinan yang identik kelaparan melalui lembaga Baitul mal.
Secara syari'at, Zakat, infaq dan sedekah memiliki sifat dan ciri yang berbeda. Nilai Zakat cenderung terbatas sesuai haul atau takaran tertentu maupun penerima (mustahiq). Sementara infaq dan shodaqoh sifatnya lebih sukarela, fleksibel dan cenderung tak terbatas baik nilai maupun target penerimanya sesuai akad pemberi infaq dan sedekahnya.
Dalam hal ini, bisa diketahui bahwa nilai Zakat Aan selalu lebih kecil daripada angka penerimaan infaq dan sedekah. Infaq dan sedekah berpeluang menjadi sumber pembiayaan yang potensial dalam proses pengentasan Kemiskinan dan prevalensi stunting.
Lantas apakah pemerintah dibolehkan untuk memanfaatkan potensi ZIS sebagai sumber pembiayaan program MBG? Jawabannya atas pertanyaan ini tentu bisa beragam tergantung perspektif tertentu. Pada level tertentu bisa menjadi kontroversi dan perdebatan masyarakat. Bahkan ada menyebutnya asal bunyi (asbun) dan menyebabkan social noice.
Namun, Pada level yang berbeda dan bisa dikatakan rasional dan objektif adalah pandangan para ulama (MUI) dan lembaga zakat itu sendiri (BAZNAS). Meskipun Pandangan kedua institute agama dan ZIS tersebut tidak bisa menjadi kebenaran tunggal, tapi kedua institusi ini adalah stakeholder yang paling patut dijadikan rujukan masyarakat khususnya umat Islam.
Pernyataan dan tanggapan ketua BAZNAS dan sekjen MUI terhadap usulan penggunaan ZIS untuk pembiayaan program MBG cukup bisa dimengerti. Bahwa dana ZIS bisa digunakan untuk MBG dengan syarat klasterisasi kelompok anak miskin. Jawaban keduanya cukup untuk memahamkan dan menenangkan kegaduhan di tengah umat Islam. Kecuali jika terdapat egoisme dan kepentingan politik tertentu yang melatari kerasnya penolakan atas usulan ketua DPD RI Sultan B Najamuddin itu.