Pemerintah Indonesia hingga saat tulisan ini disusun belum mengeluarkan pernyataan resmi seputar nasib tiga pendaki asal Bandung yang diindikasikan menjadi korban dalam musibah bencana alam gempa berkekuatan 7,8 skala Richter yang mengguncang hebat Nepal pada 25 April 2015 lalu. Kadek Andana (27), yang biasa dipanggil Dika, bersama istrinya Alma Parahita (32) ditemani Jeroen Hehuwat (39) adalah anggota Taruna Hiking Club (THC) yang mencoba menggapai puncak Yala Peak di kawasan Langtang dengan dipandu oleh salah satu operator pendakian setempat.
“Pihak kedutaan besar RI sudah mengunjungi kami dan menyatakan bahwa pemerintah belum bisa membuat kesimpulan apapun selama pemerintah Nepal belum membuat keputusan untuk menyatakan bahwa operasi SAR dinyatakan sudah selesai.” Tutur Lundi Farida, ibunda Kadek Andana, saat ditemui petang (8/5) lalu jelang didirikannya Shalat Ghaib bagi Dika dan Almadi Mesjid Al Lathiif, jl Saninten, Bandung,”Sementara Nepal sendiri menunggu persetujuan internasional agar bisa melakukan hal itu.”
Satu-satunya titik terang yang diperoleh dalam rangkaian operasi SAR yang dilakukan oleh tim dari berbagai negara adalah ditemukannya sebuah dompet berisi SIM milik Alma Parahita oleh Tim SAR Spanyol (7/5) di kawasan desa Langtang yang hancur rata seusai terpaan gempa. Namun sampai sekarang belum diperoleh tanda-tanda fisik keberadaan mereka hingga keluarga besar, terutama orangtua mereka, diliputi kegelisahan untuk menentukan sikap yang terbaik.
“Hati saya masih menyimpan harapan bahwa suatu saat anak saya akan muncul, kembali ke rumah kami.”Tutur Lundi agak emosional,”Jika dia selamat, pasti anak saya akan melakukan sesuatu (mengontak keluarga, -pen.), tapi karena sampai sekarang belum ada kabar atau temuan baru (tentang keberadaan mereka, -pen.), maka sebagai Muslim saya berkonsultasi dengan Pak Nondi tentang bagaimana sebaiknya saya bersikap.”
Nondi yang dimaksud Lundi adalah Rusna Permadi , salah satu pengurus Mesjid Al Lathiif, yang kemudian membawa pertanyaan Lundi pada para ustadz yang tergabung dalam Dewan Asatidz Masjid Al Lathiif dan hasil musyawarah mereka berdasarkan analisa kasus serta kajian dalil adalah berupa rekomendasi bagi Lundi Farida untuk menyelenggarakan Shalat Ghaib bagi Kadek.
Shalat Ghaib adalah shalat pengganti shalat jenazah yang dilakukan apabila ada seorang Muslim (baik keluarga maupun orang lain) meninggal di tempat yang jauh dari lokasi kediaman atau tanah kelahirannya. Atau bisa pula dilakukan oleh keluarga/kerabat yang baru sampai ke tempat duka saat jenazah sudah dikebumikan. Komunitas Muslim setempat bertanggungjawab untuk menunaikan hak bagi saudara seiman mereka yang telah wafat, termasuk menyalati jenazahnya.
Menurut Ustadz Rahmat Baiquni yang memimpin acara,”Shalat Ghaib pernah dilakukan oleh Rasul Saw saat menyalati seorang Muslim asal Najasyi yang meninggal ketika berada di Madinah (merujuk pada hadits Bukhari-Muslim) .” Selanjutnya Rahmat juga menyitir hadits lain yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dan Imam Darul Quthni bahwa Rasul Saw pernah menyalatkan seorang saleh di dekat makamnya.
Sebelum mengimami Shalat Ghaib, Lundi selaku orangtua Dika dan Dewi Parliana selaku orangtua Alma diminta memberikan kesaksian terbuka pada jemaah mesjid yang hadir bahwa mereka memiliki keyakinan hati bahwa kedua anak mereka memang telah meninggal dunia. Tiga hal lain yang melandasi pelaksanaan Shalat Ghaib adalah upaya pencarian sudah dilakukan secara maksimal, adanya kesaksian bahwa lokasi tempat Kadek dan Alma menghilang sudah nyaris rata dengan tanah, dan masa penantian telah lewat 40 hari.
Shalat Ghaib yang didirikan seusai Shalat Isya itu diikuti oleh keluarga, komunitas pecinta alam, komunitas ‘Pemuda Hijrah’ , para simpatisan, dan segenap jemaah Mesjid Al Lathiif berlangsung dengan tenang seirama dengan kepasrahan hati kedua ibu yang telah merelakan kepergian buah hati mereka sepenuhnya dalam perlindungan Sang Khalik. Selamat jalan, Dika dan Alma …