Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Merakit Kendaraan Menuju Mi’raj

27 Maret 2015   09:29 Diperbarui: 13 April 2016   19:47 80 2

Jika Rasul Saw menjalani Isra Mi’raj, maka Muslim jelata seperti saya mendapat jatah shalat 5 waktu untuk meresapi keajaiban ‘berhadapan’ dengan Allah Swt. Perjalanan dari mulai mendengar adzan, berwudhu, dan menjalani prosesi kasat mata dari mulai takbiratul ihram sampai mengucap salam merupakan Isra dalam keseharian hidup. Pengembaraan hati dan pikiran di antara takbiratul ihram sampai salam itulah Mi’raj bagi segenap umat Rasul Saw sampai akhir jaman nanti dengan khusyu’ sebagai representasi Sidratul Muntaha dimana dengan kesadaran masih terjaga kita bisa merasakan keberadaanNya, menjalin dialog sebagai makhluk pada Khalik-nya, bahkan curhat habis-habisan semua persoalan dalam kasih sayangNya yang sempurna.

Sebagaimana Rasul Saw memerlukan tunggangan khusus buraq untuk melakukan Isra Mi’raj, kita pun perlu ‘kendaraan’ untuk bisa mencapai khusyu’ dalam shalat. Imam Al-Ghazali dalam kitab Asrar Ash-Shalah wa Muhimmatuha memberi semacam panduan bagi kita untuk ‘merakit’ kendaraan istimewa agar bisa menjalin ‘komunikasi’ efektif dengan Sang Maha Pengasih dalam shalat sehari-hari. Tentu saja karena kita sebagai makhluk yang jauh dari sempurna dan punya begitu banyak kelemahan memang membutuhkan sarana agar bisa menjalani kehidupan dengan tentram.

Menurut Imam Al-Ghazali, ada enam hal yang diperlukan untuk ‘merakit’ buraq agar tercapai shalat yang khusyu’ , yaitu :

1. Hudhurul-qalb atau kehadiran hati, yaitu kosongnya hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang dikerjakan atau diucapkan seseorang. Penyebab kehadiran hati adalah himmah (perhatian seksama dan tekad kuat untuk mencapai suatu cita-cita yang tinggi) dan dalam shalat itu berarti kesadaran bahwa akhirat adalah lebih utama dan abadi ketimbang remeh-temeh kefanaan dunia, sementara fungsi shalat adalah wasilah (sarana) menuju kepadanya. Pemahaman ini akan menuntun pada kehadiran hati.

2. Tafahhum ialah upaya pemahaman hati secara mendalam tentang makna yang terkandung dalam setiap ucapan dan gerakan shalat. Caranya dengan menghadirkan hati serta memusatkan pikiran dalam shalat sekaligus menolak segala jenis angan-angan / bayangan mengganggu yang melintas di kepala.

3. Ta’zhim, yaitu pengagungan dan penghormatan yang ditimbulkan oleh dua jenis makrifat (pengetahuan khusus) yang meliputi : 

a. Makrifat tentang keagungan dan kebesaran Allah Swt yang merupakan bagian dari pokok-pokok iman. Seseorang yang tidak percaya penuh akan keagunganNya, mustahil mampu berta’zhim padaNya.

b. Makrifat tentang kehinaan dan kerendahan diri (nafsu) bahwa ia adalah budak yang dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya sendiri.

Perpaduan kedua jenis makrifat itulah yang akan melahirkan kepasrahan, kerendah-hatian, dan kekhusyu’an kepada Allah Swt di dalam shalat.

4. Haibah ialah ketakutan pada seseorang yang bersumber dari ta’zhim terhadapNya. Haibah pada Allah muncul karena adanya makrifat tentang besarnya kemampuan (kodrat) Allah, keperkasaanNya, kekuatan kehendakNya, dan ketidak-perdulianNya. Meski Dia meluluh-lantakkan manusia-manusia terdahulu sampai generasi mendatang beserta segenap kekayaan yang ada di Bumi, takkan berkurang sedikitpun kerajaanNya.

5. Raja’ atau pengharapan yang penyebabnya adalah makrifat akan luthf(kelembutan) dan kasih sayang Allah Swt, kedermawananNya, serta keyakinan akan kebenaran firmanNya dalam menjanjikan surga bagi yang melaksanakan shalat.

6. Haya’ atau rasa malu yang bersumber pada perasaan hati saat mengingat berbagai kelalaian dan dosa yang telah dilakukan. Haya’ dapat timbul dengan adanya perasaan kekurang-sempurnaan dalam mengerjakan ibadah serta kesadaran bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan ta’zhim kepada Allah Swt sebagaimana mestinya sesuai dengan keagunganNya.

Berat? Memang perjalanan menggapai khusyu’ bisa dibilang amat berliku dan perlu stamina jiwa yang terpelihara agar diri dapat dibawa terus melangkah kian dekat kepada Pencipta-nya dari waktu ke waktu. Tapi bukankah Allah Swt berfirman,” Bila hambaKu mendekat padaKu satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Bila dia mendekat kepadaKu dengan satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Malah jika ia mendatangiKu berjalan kaki, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” Cepat atau lambat kita akan sampai padaNya selama kita tidak berhenti berusaha untuk itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun