Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Holocaust, Eugenika, dan Obsesi Biadab Kaum Rasialis

18 Oktober 2011   01:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:50 1644 1
Holocaust di era 1970-an adalah sebuah istilah yang merujuk pada pembantaian massal sekitar 6 juta jiwa etnis Yahudi yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman di bawah pemerintahan Fuehrer Adolf Hitler. Di era kepemimpinan Hitler (1934-1945) itulah, keinginan merealisasikan slogan Deutschland uber Alles yang secara umum dapat ditafsirkan sebagai pernyataan keunggulan bangsa Jerman atas bangsa-bangsa lainnya di dunia itu telah melahirkan konsep pemurnian ras Arya (etnis Jerman kulit putih -pen.) dengan memfasilitasi perkawinan internal dan upaya memusnahkan ras-ras lain, khususnya Yahudi, yang dianggap 'tidak unggul'. Selanjutnya sejarah pun mencatat sebuah pembantaian ras besar-besaran yang dilakukan secara sistematis dengan dukungan penuh dari rezim yang berkuasa. Bahkan rangkaian penelitian besar-besaran yang menggunakan manusia sebagai bahan percobaan pun berlangsung atas nama pemurnian gen unggul. Para kelinci percobaan yang sudah tak berguna lagi langsung dikirim ke kamar gas untuk menjemput ajal.

Selesaikah episode pembantaian ras pasca kematian Hitler? Penulis Michael Crichton (2004) menulis dalam lampiran karyanya State Of Fear ,sebuah novel bergenre fiksi namun sarat dengan kajian referensi ilmiah bahkan data penelitian yang nyata, bahwa gagasan mengisi bumi ini hanya dengan manusia-manusia yang secara genetis berkualitas unggul ternyata bukan monopoli diktator legendaris asal Jerman itu saja.

Adalah Francis Galton, ilmuwan terpandang asal Inggris, yang mengemukakan teori bahwa dunia memerlukan semacam kumpulan gen manusia unggulan yang akan menyelamatkan peradaban manusia dari kehancuran. Selanjutnya Galton juga menyatakan kalau tingkat perkembangan ras manusia berkualitas bagus jauh lebih rendah ketimbang manusia yang berkualitas 'buruk' seperti orang asing, imigran, Yahudi, dan segala tipe manusia yang dinilai jelek kondisi fisik maupun kecerdasannya. Teori ini kemudian dikenal dengan sebutan Eugenika.

Tak dinyana hipotesis yang sangat spekulatif itu mendapat sambutan luar biasa hangat terutama dari kalangan warga Amerika yang sok ilmiah,dan mereka yang sama sekali tak tertarik pada sains namun amat risau dengan berdatangannya imigran dari kalangan 'ras rendah' yang mereka nilai sebagai 'hama peradaban yang berasal dari ledakan populasi manusia tolol'. Mereka kuatir 'keunggulan' ras mereka jadi tercemar akibat membanjirnya para imigran itu.

Maka berbagai cara untuk mendeteksi inferioritas genetik pun mulai dikembangkan yang ujung-ujungnya tetap saja memasukkan semua ras ' berwarna' dan orang-orang yang mengalami kekurangan fisik maupun mental sebagai kelompok yang harus dimusnahkan dari muka bumi dengan cara menerapkan sterilisasi atau mengisolasi mereka ke lembaga-lembaga tertentu agar perkembang-biakan bisa ditekan. Naudzubillah.

Mirisnya teori gila itu perlahan mendapat tempat pula di kalangan elit seperti presiden Theodore Roosevelt yang berujar,"Masyarakat tak sudi membiarkan manusia lemah bereproduksi." Bahkan bapak pemuliaan tanaman, Luther Burbank, dengan garang menyatakan,"Jangan biarkan kriminal dan mausia lemah berkembang biak!". Sastrawan terkemuka George Bernard Shaw juga terang-terangan mendukung eugenika sebagai ilmu yang dapat menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

Maka jangan heran bila kemudian praktek-praktek rasisme berkedok penelitian ilmiah pun berlangsung marak dengan dukungan penuh rezim penguasa, semacam kopas dengan sedikit improvisasi dari gaya Hitler serta kucuran dana nyaris tanpa batas dari donatur sekelas Yayasan Carnegie dan Yayasan Rockefeller. Uang dan kekuasaan memang komoditas yang menggiurkan, termasuk bagi para peneliti. Lantas seberapa tinggi keabsahan hasil penelitian yang jelas-jelas ditunggangi motif yang sangat bertentangan dengan kaidah dasar sains yang bermuara pada mencari jawaban atas sebuah permasalahan sekaligus memberikan solusinya secara tepat dan obyektif itu?

Pada skala kecil, banyak para peneliti di perusahaan farmasi yang sengaja menyembunyikan dari publik data efek negatif dari uji coba obat-obatan produksi perusahaan agar produk itu bisa lolos dilempar ke pasaran. Di level yang lebih tinggi, para ilmuwan pakar persenjataan kimia dan pakar-pakar bidang lainnya bersikap serupa demi menjaga nama baik rezim penguasa. Banyak hal mengerikan terjadi akibat persekongkolan 'ilmiah' ini, khususnya seputar Teori Eugenika ini.

Crichton (2004) mencatat bahwa laboratorium canggih yang dibangun khusus oleh pemerintah AS di Cold Springs Harbor dan penelitian intensif yang digalakkan di berbagai universitas menunjukkan bahwa Teori Eugenika sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah. Apalagi definisi 'gen lemah' ternyata sangat kabur karena itu bisa saja berarti 'miskin, buta huruf, atau epilepsi'. Dukungan luas terhadap teori tersebut sebenarnya lebih didasari pada ketidak-sukaan orang kulit putih terhadap derasnya arus imigran ke negara mereka dan ketidak-nyamanan akibat masuknya orang-orang yang tidak disukai ke dalam teritori mereka. Ironisnya pendirian lembaga-lembaga penelitian Eugenika di Amerika dan Jerman berlangsung mulus nyaris tanpa hambatan berarti.

Jadi selain tentara dan senjata yang tercatat menjadi mesin pembantai massal di Nanking ( 1937), Kiev (1941), Sabra-Shatila (1982), Rwanda (1994), Srebrenica (2007), dan deretan genosida lainnya; ternyata rezim pemerintah yang bertekad melestarikan kekuasaan dengan isu eugenika juga bisa memperalat para peneliti yang menempatkan kucuran dana bagi penelitian 'tercinta' mereka jauh di atas kemanusiaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun