Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Baju Lebaran si Dudung

2 September 2010   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 200 0
Pagi-pagi sekali Dudung sudah terjaga. Gema takbir dan suara beduk dipukul bertalu-talu membuatnya bangun dari tidur. Lebaran! pikirnya girang. Dia melompat turun dari dipan, menyambar handuk disandaran kursi dan setengah berlari menuju kamar mandi. Begitu bersemangat sampai membuatnya bertubrukan dengan bapak di belokan dapur.

“Jangan lari-lari, Dung!”, Tegur ibu ditengah kesibukan memasak nasi dan menghangatkan opor tahu.

Bocah kelas 3 SD itu cuma menyeringai lucu lalu bergegas mandi dan wudhu. Akhirnya lebaran datang juga, pikir Dudung gembira, tiba saatnya memakai baju baru yang dibelikan ibu seminggu yang lalu. Tapi mendadak pula Dudung teringat sesuatu dan hal itu membuatnya merasa cemas.

“Kaos biru dan celana panjang hitam itu,kan, masih bagus,!” Dahi ibunya sedikit mengerut ketika untuk kesekian kalinya hari itu Dudung merengek minta dibelikan baju.

“Tapi itu,kan, sudah sering dipakai!” Dudung bersikeras, “Arul sama Nino sudah punya dua, Gandi sama Bobi juga mau beli besok,”

Ibunya tertawa sambil menepuk pipi Dudung, “Orangtua mereka banyak duit, kalau bapak-ibu Dudung pan bokek!”

Dudung memang sudah sering diberitahu kalau ibu yang biasa dagang keliling
gang bangkrut ditipu orang dan bengkel reparasi radio bapak juga semakin sepi pelanggan. Tapi puasanya tahun ini kan sudah sehari penuh, boleh dong minta sedikit hadiah? Maka Dudung mengeluarkan senjata pamungkas, menangis keras-keras sampai ibunya kewalahan membujuk.

“Iya deh, Dung,” Ibu merangkul Dudung, “Kita beli baju tapi nanti ibu harus nabung dulu barang satu-dua minggu.”

“Bener, bu?” Tangis Dudung langsung berhenti.

“Asal puasanya khatam, insya Allah deh ada rezekinya.” Ibu mengusap kepala Dudung yang manggut dengan mantap seolah menunjukkan tekadnya untuk berpuasa sampai tamat.

Begitulah hari-hari berikutnya cuma Dudung yang mendapat lauk telur untuk buka puasa atau makan sahur, sementara bapak-ibu cukup tempe bergiliran dengan tahu atau sekeping kerupuk. Dudung juga tidak protes saat kolak pisang favoritnya ditiadakan. Yah, demi baju baru!

Seminggu sebelum lebaran, ibu memanggil Dudung, “Kita cari baju, yuk?”

“Sekarang?” Mata Dudung berbinar-binar.

“Tapi janji, ya, puasanya nggak boleh bocor,”

“Beres!”

Jadilah pagi itu Dudung dan ibunya pergi ke daerah pertokoan dengan berjalan kaki untuk menghemat ongkos. Pulangnya baru mereka akan naik mobil angkot.

Ternyata membeli baju itu tidak gampang. Sudah lima toserba mereka masuki sembari berjejalan dengan pengunjung lain tapi Dudung belum juga mendapatkan pakaian lebarannya. Baju-baju bagus memang melimpah tapi harganya jauh melebihi uang yang telah susah payah dikumpulkan ibu Dudung selama setengah bulan itu. Sementara anak itu mulai kelelahan dan tenggorokan keringnya mulai tergiur aneka minuman dingin yang dijajakan dimana-mana.

“Bu, minum dong!” Rengeknya.

Ibu cuma tersenyum dan menuntun Dudung ke tempat teduh lalu duduk melepas letih di undak-undak toko seperti yang dilakukan orang lainnya. Udara yang panas hari itu memang luar biasa menguji kesabaran tenggorokan yang kerontang.

“Sabar ya, Dung.” Dia mengelus kepala Dudung, “Kita coba cari di pasar, yuk?”

Lorong pasar yang becek ditambah bau sampah sayuran sisa serta dengung lalat hijau yang merubung tempat-tempat bekas berjualan daging ikan membuat Dudung semakin lemas. Akhirnya mereka tiba di sisi pasar tempat deretan penjual barang loakan memajang dagangannya. Ibu menggandeng tangan Dudung kearah sekerumunan orang yang terlihat sibuk memilih diantara tumpukan-tumpukan baju yang teronggok begitu saja di lantai pasar.

“Itu kan baju bekas?” Suara Dudung menahan kecewa.

“Kalau kita pintar memilih, bisa dapat baju bagus dengan harga murah, Dung.” Ibu menerangkan dengan sabar.

“Tapi kalau ketauan teman kan malu, bu.” Dudung ngeri membayangkan ejekan Arul, Bobi, dan yang lainnya kalau mereka tahu baju lebarannya dari tukang loak.

“Ya, jangan bilang-bilang!” Ibu mencubit pipi Dudung,”Tenang aja, Dung, nanti ibu akalin biar bajunya kinclong.”

Dudung menatap wajah ibu yang meski penuh senyum tapi terlihat letih itu. Apalagi dia sendiri juga ingin buru-buru mendekap bantal di pulau kapuk. Bocah lelaki itu memutuskan untuk menurut Dia berdiri di tempat yang teduh sambil memandangi punggung ibunya yang berdesakan dengan pembeli lain. Akhirnya mereka berhasil membawa pulang dua stel baju untuk Dudung.
Tapi Dudung masih muram. Bagaimana tidak, saat ibu mengukurkan baju-baju
Itu ke tubuh Dudung tercium bau apek menyengat. Belum lagi kusut dan kumalnya. Mana tahan!

“Pokoknya percaya deh sama ibu,” Ibunya menenangkan,”Ada senjata rahasia”.

Dudung memperhatikan bungkusan sabun cuci dan pewangi baju di tangan ibu. Dia tidak begitu mengerti tapi selama ini ibunya jarang berbohong. Dudung menetapkan hati untuk percaya bahwa sim salabim dan baju apek akan berubah jadi keren berkat sentuhan tangan ibu.
Panggilan ibu membuyarkan lamunan Dudung yang masih berhanduk ria. Setelah mengusapkan minyak kayu putih, ibu menyuruh Dudung mengenakan kaos dalam lalu ke luar kamar. Kembali lagi ke depan Dudung dengan kedua tangan tersembunyi di belakang punggung.

“Pilih yang mana?” ibu merentangkan kedua tangannya yang memegang gantungan baju.

Dudung terbelalak melihat celana panjang hitam dan kemeja kotak-kotak merah ditangan kanan ibu serta sontok dan kaos biru di kiri. Keduanya sama-sama bagus. Aroma harum tercium saat Dudung mendekat.

“Duung! Dudung!” Terdengar teriakan anak-anak begitu berisiknya di depan rumah Dudung.
Akhirnya ibu yang memilihkan celana panjang hitam dan kemeja merah untuk shalat Ied. Setelah mencium tangan ibu, Dudung menyambar sajadah, dan berlari ke halaman. Celoteh gembira Arul, Nino, Bobi, dan Gandi menyambut Dudung yang begitu ceria. Beriringan mereka memburu lapang RW untuk shalat Ied.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun