"Ga penting cash atau engga, yang jelas, kau tidak kuperbolehkna meminjam, honda Jazz-ku masih rawat inap di ketok mejik gara-gara kau menabrakkannya di tiang listrik, sukur aku tidak minta ganti!" jawabku enteng. sebenanrnya aku hari malas ke kampus, pastilah teman-temanku tau bahwa Papaku, orang besar di kepolisian Indonesia menaiki satu tangga jabatan baru, Komisaris Jendral Polisi. mobil ini adalah cicilan kemewahan awal kehidupan baru yang akan kami mulai lagi.
"Analie dimana?" tembakku langsung kepada Randi yang masih terpana dengan mobil ini. sepertinya dia tidak mendengar pertanyaanku.
"Ran, Analie dimana? kau ada lihat dia?" tanyaku sekali lagi, dengan intonasi yang lebih tinggi.
"Ah? eh? apa? Analie? tidak.. eh iya, aku lihat dia tadi didalam perpus.. perempuanmu itu suka sekali mengendap disana.. beda sekali dengan kau.." jawab Randi diakhiri dengan cengiran lebar. aku bergegas meninggalkannya, menuyusl Analie ke perpustakaan.
"Eh Jod!! Jodi!!! kau mau kemana hei? aaah menyesal sekali aku bilang dimana Analie!! kita butuh test ddrive mobil barumu dulu Jod! hei!!!"
aku hanya melambaikan tangan tanpa berniat menoleh kebelakang, membiarkan Randy berteiak kencang memanggil-manggil.
seperti biasa, perpusatakaan selalu sepi. ah, itu dia Analie, gadisku.
"Hai Baby.. dihari yang cerah dan lebih cocok untuk jalan-jalan ini kau lebih memilih tempat menyeramkan ini?" kalimat pembuka, yang tentu saja membuat Analie yang tengah membaca buku hukum perusahaan usaha mendongak sebal, matanya menyipit galak, terlontar dari mulutku.
"Oh ya.. ya.. pastilah kau akan memilih sibuk dengan tumpukan benda ini ketimbang jalan denganku kan? ah ya? bukannya hari ini juga kau ada diskusi penting dengan profesor ekonomi kita?"
"Kau mengenal profesor ekonomi kita? kabar mengejutkan Jod.. kau tau bahwa salah satu dosenmu adalah profesor.." balas Analie riang, menjawil pipiku.
aku gantian cemberut menatapnya, sebegitu tidak pedulikah aku dengan urusan kampus hingga mengetahui dosen bergelar profesor ekonomi saja aku tidak tahu?
"Becanda Babyyyy, tapi kau memang benar atas dua hal yang kau sebut tadi yang intinya, aku memang sedang tidak punya waktu untuk jalan-jalan hari ini.."
"Jadwalmu sudaah seperti menteri perekonomian saja Analie.. aku saja yang calon hakim agung tidak sesibuk kau" aku memainkan ponsel Analie, gadisku itu kembali berkutat dengan buku tebal tentang hukum persaingan usaha di Indoensia yang intinya tetap sama, melarang setiap kegiatan dan perjanjian yang dapat merugikan konsumen serta menjatuhkan pelaku usaha lain.
aku memandangi wajah Analie yang serius membaca bukunya, wajah inilah yang membuatku luluh untuk pertama kali terhadap seoraang perempuan. kenapa bukan ibu? karena ibuku sudah meninggal sepuluh tahun silam, saat umurku sebelas tahun. analie yang cantik dengan pipi tirus dan rambut pendek, pintar dan tegas membuatku terpana, hingga sekarang tiga tahun lamanya.
kami bertemu di jaman putih abu-abu, Analie adalah anak seoarang penyidik komisi pemberantasan korupsi yang terkenal dengan kejujuran dan kesederhanaan, tidak pernah tampil di layar kaca tapi memegang kendali penuh interogasi terhadap tahanan KPK. Â aku sering berdiskusi dengan ayahnya. kebetulan aku adalah mahasiswa hukum, jadi memang harus banyak berdiskusi dengan pejabat almamater hukum. kami masuk universitas yang sama, hanya saja Analie memilih jurusan administrasi bisnis.
baiklah, aku memutuskan berada disini menemani analie-ku membaca buku dengan memainkan androidnya, game yang paling banyak dibicarakan akhir-akhir ini, Flappy bird.
***
aku ingat sekali, sore itu, kedua kalinya aku bertandang ke rumah analie, terhadang oleh ayahnya yang sedang free dari tugas tengah santai menyantap koran sore dan bolu pisang serta teh hijau.
"Sore Om.." sapaku sopan.
"Sore, cari siapa?" laki-laki paruh baya itu menurunkan koran dan posisi kacamatanya, menatap menyelidik, seolah-olah aku adalah tahanan KPK yang hendak diinterogasi.
"Saya teman Analie, Analie-nya ada?"
dia mengangguk sekilas, arif membuka kacamatanya dan meliat koran, sepertinya hendak berdiskusi panjang tentang hubunganku dengan anaknya. yang jadi masalah justru aku yang seperti ulat nangka terjemur tanpa penghalan diatas matahari jam dua belas siang, kriyep-kriyep.
ayah analie hobi sekali bercerita tentang masa mudanya dulu, saat menjadi mahasiswa, bergabung dalam aktivis penggulingan presiden di tahun 1998, karna merasa seniorku dalam jurusan hukum, maka kami banyak berbiacar tentang itu, nanti aku cerita satu-per- satu kisahnya dalam usaha menegakkan hukum di negeri ini.
"Kalau boleh tahu, bagaimana keadaan keluarga Nak Jodi? rasa-rasanya Nak Jodi tidak pernah cerita tentang keluarga"
saat itu pertemuan kesekian aku berkunjung, setelah memberi kesan pada pertemuan pertama, ayah analie suka berbicara padaku yang ternyata sangat mengejutkan analie sekali bahwa hamir semua buku yang ada di lemari buku ayahnya telah aku pinjam dan tuntas, menyisakan banyak ilmu di kepala.
"Om tertarik? mungkin iya, Papa saya adalah seorang polisi, bintang dua. salah satu dari anak buah kepolisian yang bekerja sama dengan komisi bapak dalam penangkapan tersangka korupsi.
"Mama saya sudah lama meninggal, tapi Papa lebih memilih menikah lagi, om tahu? mungkin percakapan saya dengan ibu tiri saya bisa dihitung dengan jari, komunikasi kami buruk sekali, entah kenapa, belasan tahun, saya masih belum terima dia sebagai pengganti Mama atau Papa saya yang terllau cepat memberikan pengganti buat saya? entahlah om, saya tidak begitu peduli.. oh ya, Papa saya juga sepertinya senagkatan dengan Om, dia juga kuliah di jurusan hukum, sebelum memutuskan mundur dan ikut tes kepolisian.. barangkali Om kenal? Adhyaksa Om, nama Papa saya Adhyaksa."
papa Analie terperangah, "Adhyaksa? Papamu punya kumis? jangan bilang bahwa dia adalah ketua jurusan untuk hukum angkatan '80 Jodi, kami lebih dari kenal, kami berteman lebih dari akrab, sekelas dan sekamar bahkan terkadang satu selimut dengan ayahmu membuatku tidak merasakan sedikitpun kesusahan di masa muda kami seperti kesusahan biasa, dengan kalimat sakti ayahmu 'semuanya akan baik-baik saja' manjur sampai sekarang, lihatlah Jodi, aku dan ayahmu  bukan hanya baik-baik saja, kami berhasil menaklukan kesusahan masa lalu dan berdiri kokoh diatasnya sekarang"
"Kau tahu Jodi, jaman kami seusia kau dan Analie dulu, aku dan ayahmu, patungan untuk menyewa sebuah kamar sepetak. pagi kuliah malam bekerja, sambil membaca diktat, sambil menganalisis kasus yang diberikan dosen, untunglah kejahatan jaman dahulu tidak serumit jaman sekarang. kami benar-benar susah sekali, makan sepiring berdua, selimut berdua, kasur berdua, untunglah urusan sikat gigi kami memilih masing-masing saja.. hahaha... saat itu papamu bilang, hanya soal waktu saja kehidupan kami akan terbalik. asalkan tetap mau besungguh-sungguh, konsisten lurus dan berserah diri pada Tuhan. Â sampai akhirnya papamu memilih jalan lain, keluar dari jalur akademik dan masuk jalur militer. rindu sekali om dengan Papamu, bisakah kau menyampaikan salam padanya?"