Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mengejar Impian...

5 September 2010   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 482 0
AWALNYA, aku tidak pernah berfikir untuk menuangkan perjalanan hidupku ke dalam sebuah catatan sejarah pribadi. Kalau boleh jujur, aku tidak memiliki kemampuan lebih dalam “ mengemas” untaian kata, kalimat, kekayaan bahasa menjadi sajian kecil buat orang lain. Namun, logika yang aku pakai adalah  subyektifitas dan pengalaman, sehingga goresan ini hanya cerita, kelak menjadi cerita buat anak cucu yang tentu memiliki zaman dan peradaban sendiri, serta cerita berbeda. Berawal pencurian inspirasi, suatu malam ( 18 Juli 2010), ketika secara tidak sengaja membaca catatan perjalanan roman kehidupan dan cinta seorang sahabatku….(maaf ya sobat)
SEMBARI menunggu pengumuman hasil seleksi program pascasarjana di Salah satu perguruan tinggi negeri yang masuk dalam rangking terbaik di Indonesia dan Asia, persis di Yogyakarta, long time memory ini diputar dan menjangkau kembali beberapa tahun lalu….
“Kalau lulus, maka aku akan berpuasa selama satu minggu”,  nadzarku. Saat itu, ratusan ribu anak di negeri ini dilanda kebingungan, was-was, ketakutan, dan terasa waktu begitu lambat berputar, seakan melawan teori gravitasi tanpa ada perputaran waktu. Bukan hanya pasukan abu-abu, tetapi orang tua dan gurupun juga dihadapkan pada persoalan tersebut. Tepatnya tahun 2003, ketika pendidikan di negeri memasuki satu gebrakan sistem yakni adanya standar kelulusan untuk pertama kalinya. Menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN), tekanan psikologis semakin mendera, sehingga kekuatan spritualpun menjadi alternatif dan ampuh memberi jalan pada ketakutan ini. Takut dan malu jika nanti hasil ujian tertera bahwa saudara dinyatakan Tidak Lulus. Oh my God, apa yang terjadi jika itu benar-benar aku alami, padahal bisa dikatakan aku siswa berprestasi se-jagad kampung. Benar adanya, sejak masuk Sekolah Dasar hingga menamatkan sekolah MT’s As’adiyah di desa Santan, rangking satu dan dua selalu bertengger padaku, kecuali pada saat kelas II SD sempat kewalahan dan mengalami pertarungan yakni menjadi siswa naik kelas tiga dengan predikat "percobaan". Saat itu, aku dan orang tua hijrah ke Bontang sehingga terpaksa merasakan sekolah di Kota Bontang selama satu tahun, yang akhirnya kembali ke habitat awal.
Setiap tengah malam mata ini terbangun dari kesunyian, hanya ada suara angin yang terkadang terhembus memasuki bangunan sederhana berukuran 6 kali 15 meter, ya rumah kami memang kurang afik, sehingga udara dengan bebas masuk tanpa terpantul mencari ruang. Sekali-kali percikan air terdengar tak kala tubuh di basuh dengan dinginnya air malam itu, sebagi pertanda satu pengsucian tuk menghambakan diri pada ke Kekuasaan Nya. Di akhir shalat malam tersebut, dengan segala kerendahan hati, aku berdo’a;

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun