Sejak kapan seorang di sebut sebagai seniman? Tentu saja setiap orang (dan setiap seniman) boleh turut menjawab sesuai dengan kadar horizon pengalamannya atas realitas diri dan realitas kehidupan. Demikian karenanya tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan jawaban baku atas pertanyaan itu. Toh memang tidak akan bisa—inspirasi—yang menjiwai kesenian hendak di institusikan dalam kebakuan. Namun tuisan ini ingin menjadi sebagai wahana berefleksi, evaluasi dan kontemplasi menuju tindakan praksis.
“Seni bukanlah penolakan total bukan pula penerimaan total terhadap sesuatu seperti apa adanya.” Demikianlah sekilas paham kesenian Alber Camus. Yang pertama dimaksud Camus sebagai rujukan pada pengertian “Nihilisme”, sedangkan yang kedua pada pengertian atas “realisme” kalau tidak boleh menyebut konsep “mimesis” Aristoteles yang acap kali diintrpretasi sebagai semata-mata “meniru yang di alam riil” tanpa menyertakan pengertian reintrepretasi dan konfrontasi seperti pernah dibicarakan Umar Kayam atau YB. Mangunwijaya.”Usaha meniru adalah usaha reintrepretasi, semakin kompleks akan semakin baik dalam usahanya memahami.”