Dua Capres yang sedang bertarung memiliki 2 gaya kepemimpinan yang berbeda, yang pertama bergaya Personalized dan yang kedua Socialized. Capres yang pertama menitikberatkan tujuan dan keyakinan pribadinya kepada pengikutnya dan dia akan mendukung pengikutnya tersebut untuk membawanya kepada tujuan dan visi yang diyakininya tersebut (Personalized). Sedangkan Capres yang kedua menyelaraskan nilai-nilai yang dipegangnya dengan nilai-nilai yang dianut oleh pengikutnya (Socialized).
Kedua style tersebut memiliki implikasi yang berbeda dalam cara memimpin, karakter personalized cenderung membentuk kepemimpinan nasional yang bergerak antara otoriter (Ketat) dan laissez faire (Autopilot), sedangkan kepemimpinan yang bersifat Socialized bergerak disekitar model Demokratis (update dan update).
Kepemimpinan dengan karakter personalized bersifat one man show, cenderung mudah patah dan tidak berkelanjutan karena ketiadaan pengganti yang memiliki karakter sekuat dirinya, contoh - contoh kepemimpinan model personalized di negara ini adalah Sukarno dan Suharto, dan dicoba untuk digabungkan oleh Prabowo Subiyanto, menggabungkan lambang-lambang Orde Baru (Otoriter) dan Orde Lama (Laissez faire), dua hal yang bertententangan di satu sisi menunjukkan dia akan menerapkan tata aturan yang ketat, disisi lainnya dia akan membiarkan kreatifitas politis berkembang... sampai hari ini saya belum bisa membayangkan bentuknya.
Kepemimpinan dengan karakter Socialized bersifat kolektif, ini yang sudah ditunjukkan oleh Joko Widodo di Solo dan Jakarta ... dimana seorang pemimpin memberikan peran kepada para koleganya dalam pemerintahan sehingga tidak bersifat one man show, kalau di solo dikenal Jokowi - Rudy, kalau di Jakarta dikenal Jokowi - Ahok. Kepimpinan ini dilakukan secara partisipatif dan manusiawi, contoh dalam hal penggusuran pendudukan tanah pemerintah daerah secara ilegal, Jokowi - Ahok memilih menyediakan pengganti dan memindahkan dibandingkan dengan mengusir.
Kelebihan dan Kekurangan Pola Kepemimpinan Personalized
Pola kepemimpinan model Personalized akan sangat cocok untuk mempimpin negara yang rakyatnya memiliki karakter yang sama dan cita-cita yang sama misalnya Jepang dengan Kaisarnya, Jogja dengan Sultannya, sehingga tidak diperlukan proses penyeragaman secara represif, seperti halnya saat upaya Orde Baru berusaha membuat rakyatnya seragam dengan ideologi Pancasila, bahkan upaya ini akhirnya bersifat manipulatif, termasuk dengan upaya pemberian label OT pada orang-orang yang dianggap tidak Pancasilais, Disisi lainnya pola kepemimpinan ini membentuk karakter pemerintahan yang terkesan kuat karena mengandalkan instrumen represif untuk menyeragamkan pemikiran.
Pola kepemimpinan ini membutuhkan kepahlawanan melalui simbol-simbol untuk memunculkan rasa kagum pada rakyatnya, salah satu bentuknya adalah dengan perluasan wilayah kekuasaan misalnya Napoleon, Hitler, Sukarno dengan Trikora dan Dwikora, serta Suharto dengan Timor Timur-nya, dan ini dianggap sebagai sebuah kehebatan serta kekaguman, tapi bagi wilayah jajahan ini adalah bencana kemanusiaan.
Pola kepemimpinan model ini cenderung membuat negara ditakuti baik oleh negara lain, tetapi juga oleh rakyatnya sendiri.
Kelebihan dan Kekurangan Pola Kepemimpinan Socialized
Pola kepemimpinan socialized membutuhkan team work yang kuat dan saling melengkapi, dan bukan transaksional. Pak Beye pada periode pertama kepemimpinannya menunjukkan kelebihan dari pola kepemimpinan socialized ini, team work yang kuat dengan pola manajerial yang disiplin dan semua sektor saling melengkapi buahnya adalah krisis ekonomi global bisa dilalui, namun pada periode kedua kepemimpinannya muncul kecenderungan sistem manajerial yang dibangun pada periode sebelumnya berantakan, masing-masing pemimpin sektor bergerak dengan persepsinya sendiri-sendiri walaupun masih dalam koridor undang-undang, namun membuat sistem pemerintahan tidak efektif, dampaknya hutang melambung karena subsidi dan impor membengkak.
Pola kepemimpinan socialized Pak Beye yang pertama ini diadopsi oleh Joko Widodo dalam pemerintahan kota maupun propinsi, terbukti cukup berhasil dengan mengefektifkan birokrasi, karena ada power sharing dan saling back up diantara para pelaku dalam pemerintahan.
Kesesuaian Pola Kepemimpinan di Negara Republik Indonesia yang Demokratis
Sekarang ada dua pilihan yang ada di depan mata anda, dua kepemimpinan yang memiliki 2 ciri khas yang mungkin bertolak belakang, karena saya tidak pernah melihat bagaimana salah satu capres ini memimpin jadi masih saya katakan mungkin.
Apa yang anda inginkan, kalau anda ingin Indonesia ditakuti (Macan Asia), tentu cocoknya adalah Prabowo Subianto.. tentu ini akan memberikan berbagai konsekuensi, kurang berpengalamannya Prabowo Subianto dalam memimpin sipil dan sudah tidak ada lagi back up dari mertuanya akan menyulitkan untuk mengkoordinasi dan menggerakan mesin pemerintahannya sesuai dengan kehendaknya... sehingga Prabowo akan sendiri, kapabilitas Hasim Djojo, Fadli Zon, ataupun Suhardi akan sulit menandingi kapabilitas Fadel Muhammad, Akbar Tanjung, Anis Mata, Hatta Radjasa, Ustad Hilmy, Ahmad Yani, Amin Rais maupun Mahfud MD, belum lagi serbuan dari tim Cikeas....
Seandainya Prabowo dapat benar-benar mengkoordinasi semua tokoh yang lihai dan licin itu menjadi satu maka dia akan menjadi seorang Presiden yang hebat... tetapi kalau dirinya turut menjadi lihai dan licin alias asal jadi presiden.. untuk memperkuat positioning, ujung-ujungnya tentara yang bermain....dan demokratisasi menjadi terancam, suara anda dan suara saya hanya akan menjadi hiasan... dan demokrasi hanya akan menjadi simbol seperti halnya di Republik Demokratik Korea ataupun Republik Demokratik Kongo...
Kalau Jokowi yang anda pilih, maka paling tidak resiko demokrasi dicuri dan dimanipulasi semakin kecil, kalau melihat pola kepemimpinannya yang bersifat kolektif untuk membuat Indonesia langsung hebat agaknya sulit, .. tetapi membutuhkan proses, paling tidak birokrasi menjadi transparan dan sulit untuk melakukan praktek manipulatif dan korupsi...seusai dengan cita-citanya... Reformasi Birokrasi... dan ini membawa dampak pada perubahan pola berpikir dan mental para birokrat menjadi lebih baik, birokrat yang melayani, bukan birokrat yang memerintah...
... Negara ini membutuhkan keberlanjutan pembangunan, revolusi yang dibutuhkan bukan revolusi fisik tetapi lebih kepada revolusi mental.....
Pak Beye telah meletakan landasan ekonomi makro yang kuat dan persepsi dunia yang positif... Saatnya kita menentukan..
Apakah anda mengisi ekonomi makro dan persepsi positif ini dengan kekuatan birokrasi bersih dan ekonomi mikro (Pilih Nomor 2) menuju Indonesia Hebat...
Atau anda akan seperti yang akan dilakukan oleh Prabowo membuat Indonesia menjadi Macan Asia...entah bagaimana caranya ? (Pilih Nomor 1)...
Lik Basiyo : "Cumak Manuk sing Isok Miber Dukur.....kecuali manuke Mbah Kaji" (Cuma burung yang bisa terbang.. kecuali burungnya mbah kaji)
Wonokairun : "Opo'o?" (Kenapa ?)
Lik Basiyo : "Soale manuk arab... gegeden...." (Soalnya burung arab, kebesaren...)
Wonokairun : "Lek wong sing ra nduwe manuk ....?" (Kalau orang yang nggak punya burung?)
Lik Basiyo : "Aku ra ruh...... aku moh Black Campaign.... lagian ra lucu lek enek manuk mlebu facebook..lek surat nikah sik pantes" (Saya ndak tahu.. saya nggak mau black campaign, lagian nggak lucu kalau burung masuk facebook, kalau surat nikah sih masih pantas)
Terima Kasih,
Salam Kompasiana