Dijerumuskan oleh orang-orang di sekitarnya, Prabowo sering melakukan langkah blunder, sejak dari waktu Pra Pileg, Pileg, Pra Pilpres/Pasca Pileg, Pilpres dan Pasca Pilpres. Lawan dari Prabowo sebenarnya adalah dirinya sendiri dan kawan-kawannya, bukan Jokowi dan relawannya.
Sebagai contoh saat setengah mati Mahfud MD melobi pesantren-pesantren di Jawa Timur khususnya di daerah Mataraman (Eks Karisidenan Kediri dan Eks Karisidenan Madiun) yang notabene milik PDIP, dengan seenaknya Fahri Hamzah menghancurkannya dengan komentar "sinting", walaupun ditujukan untuk Jokowi, tapi kesannya "Santri yang Sinting ikutan Jokowi"....buyar sudah, akhirnya santri di Eks Karisidenan Kediri yang semula pendukung Prabowo berbalik mendukung Jokowi (Di TPS Ponpes Lirboyo Jokowi meraih kemenangan Mutlak) !!!
Pukulan Masuk lebih Berharga daripada Pukulan Kuat
Pada pertarungan ini dapat diibaratkan dengan pertandingan tinju, Prabowo dan timnya selalu melancarkan upper cut yang keras tetapi dapat diantisipasi dengan double cover yang kuat dari tim Jokowi sekaligus dengan melancarkan serangan balik Jab yang lembut, tetapi karena tidak terasa, Tim Prabowo menerima saja....
Ya, Prabowo dan tim-nya yang terlalu berambisi mendorong jatuh Jokowi, dan menagbaikan hal-hal kecil yang menjadi serangan dari tim Jokowi, pada akhirnya kelelahan dan jatuh sendiri karena kehabisan sumber daya dan materi fitnahnya. Terkurasnya tenaga Prabowo membuat pertandingan tidak dilanjutkan walaupun tinggal 3 ronde saja dari 33 ronde yang dijalani. Hasil perhitungan akhir dari juri menunjukkan Jokowi menang, walaupun tidak besar..tapi menang.....
Hal ini mendorong Prabowo, melaporkan pertandingan ini ke Komisi Tinju Indonesia (KTI) ..eh.. Mahkamah Konstitusi, berbagai saksi dihadirkan untuk menilai jalannya pertandingan, saksi dari kubu Prabowo selalu berkata kalau Juri tidak adil karena tidak menghitung upper cut dari Prabowo, tapi malah menghitung jab-jab lembut dari Jokowi... bahkan beberapa ahli dari Tim Prabowo minta karena tidak boleh ada kecurangan sama sekali kalau ada kecurangan Pemilu tidak legitimate dan harus diulang.... Ini bagaikan Itali sudah menang 1 - 0 saat Suares menggigit Cellini , tapi Oscar Tabarez minta pertandingan diulang karena ada kecurangan.... yang curang padahal pemainnya sendiri (seperti Bupati Dogyai yang main paksa)
Kembali ke pertandingan tinju, substansi skor-nya adalah jumlah pukulan yang masuk bukan pada kerasnya pukulan yang masuk, walaupun dominan dengan menggunakan pukulan keras tapi hanya menghantam double cover..tidak perduli sang pemenang sering melakukan Clinch.. tapi jumlah pukulan masuklah yang dihitung.
Demikian halnya hasil pemilu, substansi utamanya adalah jumlah suara, bukan caranya, DPT-nya atau apapun namanya. UUD 1945 pasal 6 (A) ayat 3 menyebutkan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".
Mahkamah konstitusi dalam pandangan UUD 1945 adalah kalkulator, menyatakan suara siapa lebih banyak dari siapa, karena ranah yang diberikan oleh konstitusi yang menjadi substansi dari pemilu adalah 50% + 1 suara, kalau mahkamah konstitusi mengambil kebijakan selain mencari siapa yang mendapatkan suara 50% lebih, berarti Mahkamah Konstitusi keluar dari ranah yang diberikan oleh UUD 1945 untuk masalah pemilihan presiden. Kalaupun ada yang tidak bisa dihitung atau diragukan perhitungan suaranya, paling-paling disuruh hitung ulang dan paling banter dilakukan PSU. Tapi kenyataannya dari yang diungkapkan pada persidangan terungkap 2 distrik yang bermasalaha sudah dianulir dan di Nias Selatan sudah di PSU.. masih kurang apa?
Haruskah MK Indonesia mencontoh MK Thailand? (Pesan untuk Bang Yusril)
Kondisi Thailand saat dilaksanakan Pemilu terakhir sebelum kudeta berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini, alasan MK menganulir hasil Pemilu di Thailand lebih karena tekanan militer akibat boikot dari pihak lawan Ying luk sang perdana meneteri, kondisi ini sangat berbeda dengan pelaksanaan Pilpres kemaren, tidak ada yang memboikot...kalau ada pihak yang memboikot itupun saat rekapitulasi, itupun saat tinggal menetapkan 3 propinsi, itupun ketika sudah tahu akan kalah.
Perbedaan ini tidak pernah diungkapkan oleh seorang Yusril, salah satu arsitek UU yang paling berperan dalam demokratisasi Indonesia, masalahnya bukan pada berani atau tidak berani, kalau di Thailand keberanian MK menjadi pemecah kebuntuan atau paling tidak menjadi alasan bagi pihak militer untuk bertindak memecah kebuntuan dengan kudeta, sedangkan di Indonesia, rakyat dan pemerintah sedang baik-baik saja, bahkan keputusan MK yang diluar kaidahnya sesuai dengan UUD 1945 (sebagai kalkulator) akan memberikan kebuntuan baru, jangan dikira ketika pendukung Jokowi tidak berdemonstrasi setiap hari di MK maka mereka tidak ada.
Jelas jika MK melakukan tindakan yang tidak nalar misalnya dengan mengeneralisasi kasus di Dogyai menjadi permasalahan se Papua, atau permasalahan di Nias Selatan menjadi masalah seluruh Sumatera Utara, adalah hal yang tidak ada nalarnya, apalagi jika hal itu dianggap sebagai masalah seluruh Indonesia....tentu akan menjadi pertimbangan terhadap munculnya aksi yang akan menjadi pengingat bagi seluruh Indonesia ataupun Dunia bahwa mereka itu ada.
Memperjuangkan segala sesuatu tidak harus dengan terlihat dan menakutkan, tetapi dengan diam, lembut dan menawan akan lebih indah yang selalu diingat kemegahannya, Sukarno, Gandi dan Mandela telah mencontohkannya.
Bang Yusril, Prabowo itu jatuh sendiri, nggak ada yang njegal/nackle apalagi yang sengaja membuat perangkap... dan subtsansi Pemilu itu kuantitatif 50% +1... tidak ada substansi kualitatif dari Pemilu... kecuali ada aturan yang lebih mendasar dari UUD 1945.
Semoga Allah SWT, menolong kita semua....Amin
Salam Kompasiana