Kisah berdasar dari apa yang saya dengar, betapa banyaknya rekan-rekan aktivis yang bercerai kerena kegagalan dalam pileg 2009 disertai dengan hutang yang membengkak, sementara anak dan istri tetap butuh amunisi dan gizi agar tetap bertahan.
Kisah ini juga tidak mencerminkan dari semua aktivis 98, tapi hanya sebagian kecil , karena visi dan misi hidup setinggi langit, tapi lupa, kaki masih berada dibumi.
Tahun 1998, tidak hanya Pak Harto dan rejimnya tumbang, tapi banyak kawan-kawan aktivis yang gagal kuliahnya, karena keasikan aksi dan rapat, terus membahas soal Negara dan pernak-perniknya, dari sistem demokrasi, keadilan, system ekonomi, tapi lupa memikirkan nasib sendiri, sehingga kampuspun mengeluarkan surat talak (DO), karena terlalu sering bolos.
Bahkan, ketika aksi sepi, karena semuanya sudah berjalan, para aktivis muda, masih terus menghabiskan malamnya sampai menjelang pagi hari dengan diskusi-diskusi yang berkepanjangan, dari teori Plato, Ariestoteles, Ibnu Khaldun, sampai system ekonomi Marx, Liberal, Sosial Demokrat sampai system ekonomi liberal dan banyak lagi yang dibahas tanpa ujung dan batas.
Ingat donk, pemilu tahun 1999, sebagian besar aktivis 99, mulai banyak berkenalan dengan politik praktis, tapi masih idealis, sehingga begitu banyak yang terlibat dalam LSM-LSM, ikut mengawasi dan memastikan berjalannya pemilu dengan jujur dan adil, apalagi banyaknya dana dari donor internasional yang mengelontorkan dana, menambah semarak peran para aktivis muda, yang mulai mengenal uang tapi berpijak pada idealisme mereka.
KEyakinan para anak muda ini sangat bagus, tapi mereka lupa, mareka hanya aktor lapangan, bukan aktor kekuasaan atau aktor politik yang punya uang, tidak heran ketergantungan akan "abang" sangat tinggi, istilah yang sering disebut aktivis HMI bagi para alumni seniornya, baik itu jaringan maupun dana buat aktivitas sehari-hari.
Banyak juga aktivis yang tengelam dan tidak jelas arahnya, ada yang sibuk membuat koperasi, LSM dengan idealism tinggi tapi lupa bahwa dana itu sumber sangat penting dalam gerakan dan tindakan, apalagi bila mengadvokasi masyarakat dalam jangka panjang, banyak waktu dan biaya yang harus dikorbankan dan ini selalu telat diantisipasi oleh para aktivis.
Aktivis juga manusia, mengenal cinta, ingin berkeluarga, mempunyai anak, sama seperti yang lain, tapi kadang lupa, bahwa uang harus dicari, tidak hanya bergantung dari proyek-proyek dari pemerintah, dari partai atau dari LSM international atau LSM lokal yang sudah mapan, yang kadang tak kunjung datang, walaupun ada , tak bisa memenuhi kebutuhan setiap saat.
Setelah pernikahan, mulai banyak kebutuhan yang terus menanti, dari biaya dapur, biaya kasih sayang (baju dan lipstick buat isteri) dan pastinya banyak lagi biaya laiinya.
Pekerjaan tak kunjung datang, proposal kegiatan dari seminar atau program pendampingan dari pemerintah sudah semakin sulit, semuanya berjalan terasa pahit, walau nada dan romatisme akan gerakan selalu bergairah didalam dada.
Biasanya tekanan dari keluarga mertua, juga dari keluarga sendiri mulai terasa, walau masih berupa sindiran, tapi itu belum mampu menundukan keangkuhan jiwa sang aktivis.
Tidak beran ketika musim pemilu datang banyak aktivis mencalonkan diri modal nekat, yah namanya rakyat, pilihan suka-suka mereka, bisa berdasar uang, kekeluargaan, satu aliran, berdasar agama, juga karena pengaruh opini nasional.
Kebanyakan anak-anak muda ini tumbang, beban berat menanti mereka, ditengah tekanan kebutuhan keluarga yang tidak kenal kompromi.
Tidak heran banyak kabar yang saya dengar, banyak kawan yang harus berpisah, ketika cinta dan idealisme saja tidak cukup untuk sebuah keluarga.
Ada sebuah kritik yang saya dengar dan saya baca, Negara ini terlalu banyak memproduksi politikus, tapi kurang memproduksi pengusaha-pengusaha muda.
Mengabdi kepada bangsa tidak harus selalu dikekuasaan, tapi jadi pengusaha juga bisa mulia. Kita boleh benci kepada pengusaha kaya karena kelakuannya atau cara dia mempertahankan usahanya, yang kadang melanggar kepatutan, tapi kita lupa ada banyak jiwa yang bergantung dari usaha mereka.
Hidup adalah pilihan, saat muda menjadi aktivis, setelah itu jadi politisi atau pengusaha atau menjadi PNS, pegawai swasta, itu semua letak pengabdian kepada bangsa dan nusa, tidak selalu aktivis harus jadi politisi, karena tidak lantas menjadi politisi menjadi mulia, begitu juga sebaliknya.