Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

JURNALIS ITU EKSKLUSIF (dari nobar "Di Balik Frekuensi" di Kampung Ilmu Surabaya)

2 Mei 2013   12:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15 294 0

DALAM salah satu adegan film dokumenter Di Balik Frekuensi, karya Ucu Agustin, wartawan Irwan Julianto ketika diwawancara, ia mengatakan dengan canggung bahwa jurnalis adalah buruh kelas menengah.

Banyak jurnalis dalam film itu yang ditanya dengan pertanyaan serupa, karena jawaban atas pertanyaan itu memang masih berdiam saja dan belum mengemukan secara gamblang di benak para jurnalis.

Buruh ataukah profesikah dirinya?

Jawaban Irwan Julianto itu bentuk keengganan. Atau setidaknya semacam temuan untuk menghibur diri dari kegalauannya. Namun demikian, tentu semua wartawan tentu bersepaham jika mereka haus akan berita-berita eksklusif untuk medianya. Meski memaknai dan mengkategorikan berita eksklusif baginya bergantung pula pada prespektif, atau mungkin kepentingan tertentu masing-masing media. Pun barangkali juga berkait dengan apakah ekslusivitas berita televisi itu tidak berbeda dengan koran atau online?

Atas dasar prespektif tentang gairah memburu eksklusivitas berita itulah menurut saya dalam alam pikiran para jurnalis sudah terlebih dulu tertanam benih eksklusif dalam dirinya. Dengan kata lain, jurnalis itu eksklusif bagi para jurnalis yang lain—apalagi dengan orang lain, tak terkecuali semisal kaum buruh yang lain.

Keengganan menyebut dirinya buruh atau bukan buruh bisa bermula dari pola pikir dan konteks yang demikian. Film Di Balik Frekuensi yang diputar bertepatan dengan hari buruh 1 Mei di Kampung Ilmu, Surabaya (dan sejumlah tempat lainnya) saya kira tidak dimaksudkan untuk berhibuk ria mengupas buruh atau bukan buruh hanya karena diputar tepat pada hari buruh.

Hanya saja perbincangan yang menguat perihal buruh dan profesi dalam diskusi menjadi menarik bagi saya, justru karena saya coba menyelami gagasan yang dicoba tampilkan dalam film berdurasi 144 menit tersebut. Karena itu, saya musti menaruh perhatian pada sosok Luviana, jurnalis yang ditokohkan dalam film itu.

Luviana diberhentikan atau lebih tepatnya diminta mundur dari kantornya bekerja (Metro TV). Alasannya, versi Metro TV: Pekerja telah melakukan kesalahan berat dengan menuntut reformasi manajemen. Tindakan yang dilakukan dapat menjadi preseden buruk, dimana pimpinan/manajemen suatu perusahaan dapat digantikan dari sebuah mosi tidak percaya.

Bahwa karyawan telah melakukan tindakan kesalahan berat dengan melakukan tindakan yang mempengaruhi karyawan, sejawat dengan menghasut/memprovokasi dan menyebarkan berita yang tidak benar melalui pesan singkat berantai....umum

Luviana yang telah bekerja 10 tahun direncanakan diberi pesangon Rp 158 juta. Akan tetapi karena Luviana ‘berulah’ justru oleh Sudinaker Jakarta Barat, pihak Metro TV disarankan memberikan pesangon Rp 85 juta saja. Ini kenyataan yang sudah biasa, menurut info para wartawan yang diminta mundur dari tempat kerjanya seringkali diselipi pesan, “Teken saja, percayalah jika Anda mempermasalahkan permintaan pengunduran diri ini, Anda tidak akan terima sebanyak itu.”

Dari peristiwa biasa yang menimpa Luviana ini, kemudian menjadi ekslusif karena Luviana difilmkan. Menurut Tempo.Co untuk pembuatan film ini Ucu Agustin membutuhkan waktu kurang lebih setahun dengan menghabiskan 330 stok gambar. Ekslusivitas Luviana berlebih karena ia anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen)—organisasi yang tentu saja paling ditakuti industri media yang pada umumnya tidak mengizinkan para jurnalisnya menjadi anggota serikat pekerja/buruh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun