Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Jerat Mimpi

7 Oktober 2010   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:39 81 1
-pinjam dari google-

Dua sahabat itu masih duduk di ruang makan. Sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata Asri masih tampak sembab setelah menangis. Rini melirik sekilas, beranjak mengambil segelas air putih. Di sodorkan ke hadapan Asri.

“Terimakasih”, Asri meneguk sedikit.

“Jadi apa rencanamu sekarang As?”

“Aku belum tahu Rin. Rasanya masih teramat sakit. Aku belum bisa berpikir apa-apa saat ini”

“As, kurasa engkau sudah tahu apa yang seharusnya kau lakukan. Ikuti saja kata nuranimu”

Asri menghela napas. Memandang sahabatnya sekilas. Menunduk.

“Rin, sorry jika selama ini aku tak menghiraukan nasehatmu. Aku sangat mencintainya, Rin. Sangat. Aku bahkan mau menukar apapun untuk terus bersamanya. Aku berikan seluruh hatiku padanya. Seluruhnya. Tak tersisa. Ku pikir, dengan begitu, diapun akan memberikan hatinya padaku. Ternyata….”

“Sudahlah As. Setidaknya sekarang kau tahu bahwa pilihanmu kurang tepat. Apa yang selama ini kau pertahankan, tak pantas untuk di perjuangkan lagi. Yang terpenting sekarang, tata kembali hidupmu. Tata hatimu agar tak lagi terluka karena sebuah kesalahan”, ada kelu dalam ucapan Rini.

Sebenarnya Rini menasehati dirinya sendiri. Dirinya yang pernah terjungkal karena cinta. Cinta yang keblinger. Cinta yang tumbuh tidak pada tempatnya.

Bertahun-tahun yang lalu, dalam satu kesempatan, Rini mengenal Bayu. Awalnya hanya berteman biasa. Dari seringnya bertemu, saling curhat, hingga menimbulkan simpati.

Dari sinilah semua berawal. Dari rasa simpati. Menjadi lebih sering bertemu. Lebih sering berkomunikasi. Bahkan telah menjadi sebuah kebutuhan dan ketergantungan. Jika sehari saja tak berkomunikasi, ada sesuatu yang dirasa hilang.

Pada akhirnya, arus rasa menyeretnya dalam pusaran cinta. Meski Bayu telah bertunangan, namun dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan Rini daripada dengan tunangannya. Rini menyadari hal ini. Dan fatalnya, bukannya memagari hatinya agar tak terjebak dalam rasa cinta, malah membiarkan rasa itu tumbuh subur di lahan yang salah. Lalu ketika hari pernikahan Bayu sudah dekat, Rini kalang kabut uring-uringan karena merasa kehilangan. Dan luka hatinya karena ‘merasa’ di khianati. Di khianati? Tidak. Rinilah yang mengkhianati persahabatan. Dan rasa cintanya kepada Bayu harus di bayar dengan sangat mahal.

“Rin, apa kamu masih suka mengingat Bayu?”, suara Asri mengagetkan.

Rini gelagapan. Tak siap dengan pertanyaan Asri. Dengan tersenyum yang dipaksakan, Rini menghela napas.

“Kadang memang masih ingat As. Tapi sejauh ini aku berusaha untuk tidak mengingatnya. Hanya kalau bayangan itu melintas, aku tidak mati-matian mengusirnya. Karena jika aku memaksakan diri untuk mengusir ingatan tentang dia, justru ingatan itu semakin lekat. Aku membiarkannya ada, untuk sesaat. Pada saat yang sama, aku hanya berusaha berpijak di bumi, menerima kenyataan, bahwa semua itu salahku. Dan inilah harga yang harus ku tebus untuk sebuah kesalahan. Ku sadari itu sepenuhnya”

Asri tertunduk lesu. Tak tahu lagi apa yang harus di katakan pada sahabatnya itu.

“Rin, kurasa aku perlu menenangkan diri dulu. Aku akan pergi untuk sementara. Aku akan ambil cuti dan merenungkan semua ini di sana.

“Ku harap ini bukan karena emosi sesaat, As. Ku harap ini benar-benar akan membuatmu bangkit”

“Ya Rin. Aku akan belajar melepaskan semua ini. Biar semua hilang, bagai sebuah mimpi”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun