Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Di Ujung Takdir...

13 Agustus 2010   01:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:05 197 0
[caption id="attachment_224492" align="alignnone" width="320" caption="(illustrasi dari google)"][/caption]

Sendiri. Melewati pintu imigrasi bandara Soekarno Hatta. Terasa kesunyian di tengah hiruk pikuk ruang tunggu. Kesunyian yang terasa sejak keluar dari rumah dan berada di dalam taksi.

Mulai gamang. Mulai merasa kesendirian ini begitu menyesakkan.

Satu-satunya yang menemani hanyalah sms dari Abang.

Barangkali ini adalah perjalanan terberat yang ku lakukan, setelah perjalanan Umroh.

Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Tampak wajah2 sumringah, canda tawa bahagia bocah2 yang sedang bermain miniatur pesawat.

Di depanku, sepasang muda mudi nampak mesra, bergenggaman tangan. Barangkali sedang merangkai rencana masa depan.

Tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan muda dengan rambut sebatas pinggang berpotongan layer yang di biarkan tergerai, celana super pendek mempertontonkan paha, dan baju lengan sabrina berdada rendah menonjolkan separuh dadanya, sedang asyik membaca, tak menghiraukan sekelilingnya, seolah tenggelam dalam alur cerita novel yang di bacanya.

Di sebelahnya, seorang pria asing bermata biru, asyik menelepon dan sesekali bangkit dari tempat duduknya, dengan ekspresi datar.

Aku menghela napas, menikmati semua adegan anak manusia dengan berbagai macam drama kehidupan yang tengah di perankannya.

Dan seperti mereka, akupun sedang memainkan peranku.

Kesunyian, kesendirian, senyum, tawa bahagia sekaligus kepahitan yang harus ku telan, gemetaran menantikan adegan berikutnya yang tak pernah bisa di prediksi.

Karena sang sutradara tidak memberikan skenario sebelumnya.

Membiarkan pelakon menentukan sendiri alur permainannya, lengkap dengan resiko yang harus di lalui.

Benarkah..? Lalu kenapa aku merasa resiko ini (hampir) tak sanggup ku lalui..? Aahh… ku kira aku hanya sentimentil saja.

Aku yang tengah berperan sebagai seorang anak manusia yang sedang berada di jalan cinta. Cinta Sang Pemilik Keabadian. Cinta, karena Dia menyapaku agar selalu mengingatNya. Cinta karena dengan caraNya, Dia menjadikanku lebih sering menyebut namaNya.

Terdengar suara panggilan penumpang agar segera masuk ke pesawat. Aku semakin deg-degan. Keringat dingin perlahan menetes di leherku, merembes di telapak tanganku. Seolah tak mampu berdiri, aku masih terpaku di tempat dudukku, ketika antrian penumpang sudah mulai bergerak memasuki badan pesawat. Mataku nanar memperhatikan langkah-langkah kaki para penumpang yang di dominasi oleh orang-orang dengan wajah sumringah dan senyum mengembang.

Sedangkan aku..? Aku harus memaksakan diri menyeret kakiku untuk memasuki badan pesawat, pada penerbangan menuju sebuah rumah sakit di negeri Singa, dalam upaya memperpanjang hidup. Akankah takdir membawaku pulang kembali? Aku seperti berada di ujung jalan….

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun