Baiklah, saya tidak mau berpanjang-ria membahasa sebab musabab kenapa saya harus resign di usia karir yang masih sangat balita, namun yang ingin saya bagi melalui tulisan ini adalah sebuah refleksi mengenai hidup.
Pasar basah.. Beberapa dari Anda bisa jadi malas membayangkannya. Bau busuk, pedagang yang rusuh, dagangan yang tumpah ruah, lorong dan gang gelap, dan sederetan stigma lain yang menari lincah dalam benak Anda. Percaya atau tidak, nyaris hampir setiap hari waktu kerja saya habiskan disana. Dari mentari menampakkan sinarnya secara malu-malu hingga dia berdiri gagah mengangkangi angkasa, saya berada disana. Bukan pekerjaan yang menyenangkan, namun menyadarkan betapa berharganya hidup yang kita punya dibandingkan hidup yang harus mereka geluti.
Interaksi saya dengan pedagang di pasar tidak sebatas menjalankan kewajiban audit pasar, namun telah melampaui batas-batas hubungan interpersonal. Saya mengetahui asal-usul mereka, keluarga, hingga keluh kesah mereka dalam menapaki tangga kehidupan yang terjal berliku. Kadang saya melupakan tugas untuk mengecek barang atau memasang point-of-sales material karena larut dalam cerita yang mereka buat.
Hidup mereka memang nelangsa. Setidaknya itu konklusi yang bisa saya dapatkan dari hasil "ekspedisi" ke pasar-pasar di daerah Cirebon, Ciledug, Losari, Kuningan, Indramayu, Majalengka, dan Jatibarang. Tetapi siapa sangka mereka masih mampu menciptakan sebuah kidung yang ceria? Kidung ceria yang terkadang tidak mampu dibuat oleh orang-orang yang berpunya. Yaitu kita.