Masih berminat membuat sebuah karya fiksi – khususnya cerbung? Semoga tulisan saya kali ini bisa menjadi masukan bagi Kompasianer yang tertarik menjajal kemampuannya membuat sebuah cerita bersambung.
Harus diakui, membuat sebuah cerbung membutuhkan kehati-hatian ekstra untuk menjaga kesinambungan cerita dan penokohan di setiap episodenya. Kronologis peristiwa juga harus dijaga. Semakin panjang sebuah cerbung dan semakin banyak tokoh yang terlibat, semakin ekstra pula tenaga yang dibutuhkan untuk menjaga cerita agar tidak melenceng ke mana-mana.
Karena itu selain proses kreatif yang pernah saya tuliskan di sini, kali ini saya merasa perlu untuk menambahkan adanya sesuatu yang saya sebut sebagai “Timeline” (mungkin Fiksianer tahu istilah yang benar).
Secara garis besar, timeline ini adalah gambaran kasar jalan cerita yang ingin kita buat. Kompasianer bisa mulai dengan menggambar satu garis lurus (vertikal atau horizontal, tak masalah), ujung yang satu kita tentukan sebagai awal cerita, sementara ujung satunya lagi kita tentukan sebagai akhir cerita.
Langkah berikutnya adalah kita tentukan dulu akhir cerita seperti apa yang kita inginkan. Menentukan akhir cerita sangat berguna agar kita tahu ke arah mana cerita harus dibawa, juga bagaimana cara kita membawanya, apakah mulus-mulus saja laksana jalan tol atau naik-turun berliku-liku penuh duri tajam dan lumpur.
Contoh :
Kita punya sebuah cerita dasar tentang :
“Seorang gadis bersuara indah yang pergi ke ibukota setelah mendengar kabar bahwa seorang pangeran akan mencari isteri yang bisa menyanyi”
Akhir cerita yang kita tentukan adalah :
“Karena suaranya yang indah, pangeran pun jatuh cinta pada si gadis. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.”
Sekarang jika kita bermaksud membawa cerita secara mulus jadinya kurang-lebih akan seperti ini :
“Berangkatlah sang gadis ke ibukota dengan menyewa kereta kuda. Sesampainya di ibukota, gadis tersebut akhirnya tampil di depan sang pangeran. Karena suaranya yang indah, pangeran pun jatuh cinta pada si gadis. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.”
Mulus ‘kan?
Sekarang bagaimana jika kita bermaksud membawa cerita di jalan yang naik-turun dan berliku-liku? Dengan satu tambahan 'bumbu masalah', bisa jadi hasilnya akan seperti ini :
“Berangkatlah sang gadis ke ibukota. Namun malang, di tengah jalan dia dirampok dan semua uangnya diambil. Tentu saja dia kebingungan karena tidak memiliki cukup uang untuk bisa menyewa kereta kuda. Bersyukurlah dia tak kurang akal, dengan memanfaatkan suara indahnya, ia bernyanyi di tengah kota - mengumpulkan keping demi keping uang.
Setelah uangnya cukup terkumpul, gadis itu menyewa kereta kuda tercepat agar bisa segera sampai ke tujuannya. Sesampainya di ibukota, gadis tersebut akhirnya tampil di depan sang pangeran. Karena suaranya yang indah, pangeran pun jatuh cinta pada si gadis. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.”
Bayangkan! Dengan menambahkan satu ‘bumbu masalah’ saja cerita sudah cukup berkembang. Bagaimana jika ‘bumbu masalah’nya ditambah menjadi dua, tiga, bahkan lebih? Cerita tentunya bisa berkembang semakin jauh.
Hanya saja kita sebagai penulis harus tetap menjaga agar masalahnya tidak berkembang menjadi terlalu rumit sehingga penulisnya sendiri kesulitan menyelesaikan masalah yang sudah dibuatnya. Akibatnya jalan pintaslah yang diambil (ini yang banyak terjadi di sinetron kita, masalah dibuat berkembang terlalu jauh sampai-sampai penulisnya kesulitan mengembalikan cerita ke jalur yang benar).
Kembali ke masalah timeline tadi.
Jika kita memutuskan untuk menambahkan konflik ke dalam sebuah cerita, kita bisa mulai dengan menambahkan satu titik di dalam garis yang sudah dibuat tadi, kemudian tulislah poin yang akan terjadi pada tokoh utama – misalnya si gadis menemukan seorang anak yang terpisah dari orangtuanya dan ternyata orangtua si anak adalah pemilik jasa ekspedisi sehingga si gadis diperbolehkan menggunakan salah satu kereta kudanya secara gratis untuk ke ibukota, dsb.
Tidak perlu runut menentukan poin-poin dalam timeline, kita bisa mulai dari titik mana saja. Ketika kita merasa sudah cukup puas dengan banyaknya titik (poin) dalam timeline (cerita), maka secara tidak langsung kita sudah punya sebuah kerangka cerita!
Jujur saja, saya sendiri sekarang menggunakan timeline – tapi dalam bentuk tulisan di Notepad – saat menulis cerbung ketiga saya “Kisah Dua Hati” karena cerbung ini memiliki lebih banyak tokoh dan konflik yang saling berkaitan sehingga timeline tersebut sangat berguna sebagai pengingat buat saya.
Semoga tulisan saya bermanfaat, selamat menulis dan selamat berhari Minggu! Mohon maaf dan koreksinya jika tulisan saya menyalahi kaidah dalam dunia kepenulisan...