Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mempertanyakan Kembali Budaya Malu Bangsa Indonesia

4 Juli 2010   23:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:06 199 0
Dalam era globalisasi yang telah menghapus dinding-dinding batas suatu negara ini, maka yang paling jelas adalah upaya globalisasi ini tidak berarti uniformitas menurut tafsiran pencetusnya istilah tersebut, yakni Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi mereka, maka istilah moralitas, kebajikan, sistem nilai dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah dan budaya malu tidak ada dalam kamus Barat.

Hal itu berbeda dengan pemahaman Bangsa Timur seperti Jepang, China, Korea dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia, yang selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar budayanya. Dari budaya malu inilah lahir moral yang baik, interaksi yang serasi, etika yang mulia dan tutur kata yang sopan sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah komunitas yang harmonis.

Satu bulan yang lalu, kita telah dikejutkan berita yang bisa menjadi pelajaran bagi seluruh bangsa di dunia ini tentang makna budaya malu. Belum lama ini Toyota menarik kembali, lebih dari 4 juta mobil produk mereka karena kesalahan sedikit teknis produksi. Tidak tanggung-tanggung, biaya yang harus mereka telan pun jumlah tak terkirakan lagi hingga milliaran dolar. Mungkin, itulah bentuk perwujudan budaya malu dan disiplin bertanggung jawab bagi mereka. Jiwa kesatria dan menjunjung sebuah kehormatan.

Masih ada kisah menarik lainnya. Satu tahun yang lalu, ada lagi kisah yang menarik dari Korea Selatan. Perdana Menteri, menteri luar negeri, menteri pertanian, dan menteri perdagangnya mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Lee Myung-bak. Hal itu dilakukan menyusul protes rakyat terhadap rencana pemerintah mengimpor daging sapi dari Amerika Serikat. Mereka mundur karena merasa gagal dalam negosiasi dengan pihak AS dan hal itu telah menimbulkan krisis politik.

Sebenarnya masih banyak kisah-kisah teladan budaya malu yang telah dipraktekkan oleh negara-negara Asia. Lalu, bagaimana dengan budaya malu di Indonesia sendiri? Tidaklah terlalu sulit menjawab pertanyaan tersebut ketika kita mau melihat realita dan problematika yang terjadi di negeri kita sekarang ini.

Sulit sekali mengatakan bahwa budaya malu negeri ini masih ada atau tidak. Tapi yang pasti, indikasi-indikasinya telah mengarahkan bahwa budaya malu negeri ini semakin kropos. Apa pasalnya? Telah kita ketahui bersama melalui media yang ada, tampaknya hampir semua pihak yang berada di sektor kehidupan Indonesia telah kehilangan identitasnya sebagai seorang yang memiliki budaya malu.

Di tengah seantero maraknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme saat ini, telah banyak upaya perbaikan pendidikan dan sistem yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan pelakunya merasa malu dan kemudian jera. Tidak terhitung lagi pelaku yang diselidik, disidik, bahkan dituntut di meja hijau, lalu berakhir pada hukuman. Menjadikan mereka malu, tobat, dan kapokkah hukuman jera yang dikenakan pada dirinya itu?

Tak sedikit tersangka, terdakwa, terpidana, yang masih sempat mengumbar senyuman saat menjalani proses peradilan seolah tidak terjadi kesalahan apa-apa. Kita hanya bisa mengelus dada karena mereka tidak sama sekali merasa malu atau setidaknya risih. Kendati mengakui bahwa mereka bersalah, ekspresi rasa berdosa tak tersirat sedikit pun di wajahnya.

Upaya membuat malu dan kapok si pelaku tidak berakhir sampai di peradilan saja. Media massa pun turut membantu untuk membeberkan tindak kejahatan si pelaku. Bahkan kini media massa tidak terbatas menyebut inisial nama saja, alih-alih sering mengungkapkan identitas asli si pelaku. Namun anehnya, masih saja banyak yang belum jera dan malu atas semua upaya peradilan sosial itu. Jangankan mengundurkan diri, mereka tetap saja berpura-pura tidak bersalah walaupun buktinya sungguh telak.

Maka tidak salah kalau Mochtar Lubis mengatakan didalam bukunya yang berjudulManusia Indonesia bahwa bangsa ini memiliki jiwa hipokrit serta segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Mungkin saja, hal inilah yang menjadi akar permasalahan atas terkikisnya budaya malu bangsa Indonesia. Kalau mau memangkas masalah ini, maka kita memang harus memangkasnya hingga ke akar-akarnya.

Pantaslah bagi kita semua untuk bertanya kembali kepada bangsa ini seraya merefleksi diri, masihkah ada “budaya malu” yang ada di celah hati bangsa kita? Terlepas dari segi kuantitasnya, kita patut bersyukur karena negeri ini masih ada orang-orang yang memiliki budaya malu dalam kehidupannya. Orang-orang ini masih tersebar baik dalam bidang politik, bisnis, maupun sosial.

Sebuah pengakuan seorang mantan kader partai PDI-P Agus Condro terhadap kasus penyuapannya dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, sepertinya layak menjadi titik terang bukti bahwa Indonesia masih memiliki rakyat yang berbudaya malu. Ada lagi kisah lainnya, sebuah pengakuan kader partai PKS Zulhamli Alhamdi yang tertangkap basah berada di panti pijat yang membuat beliau langsung memutuskan untuk mundur dari bursa pencalonan anggota legislatif, tampaknya juga pantas menjadi kisah teladan bagi bangsa ini. Mereka adalah dua dari sedikit contoh kisah para politikus Indonesia yang masih memiliki budaya malu dan berjiwa kesatria karena mau mengakui kesalahannya.

Marilah kita putus rantai manusia tidak berbudaya malu yang masih tersebar di bumi pertiwi ini. Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih oleh bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.

Pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya. Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.

Jangan sampai kita malu pada bangsa kita sendiri, seperti persis dengan apa yang telah disampaikan Taufiq Ismail didalam puisinya yang berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia : Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata, dan kubenamkan topi baret di kepala , malu aku jadi orang Indonesia.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun