Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Words about People Asumption

17 April 2013   06:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 110 0


Kita terkadang menganggap asumsi orang itu segalanya. Dan, pendapat itu teramini. Bukan oleh perkataan orang banyak, melainkan dari perbuatan dan sikap orang. Misalnya begini, dalam suatu waktu, kita bisa saja mendengar perkataan seseorang yang berargumen bahwasanya dirinya siap untuk dikritik dan dihujat atas suatu hal yang ia paparkan. Setelah timbul hujatan, cercaan, makian, kritikan, dan lain sebagainya, bisa saja orang itu melemah seketika, drop mentalnya. Salahkah itu? Buatku nggak. Hal-hal sedemikian rupa itu manusiawi.


Nggak ada manusia—di belahan dunia manapun yang nggak mau mempertahankan pendapatnya seratus persen. Maksudku gini, ketika siapapun orangnya mengemukakan pendapat, dan ditolak, sisi ‘manusia’nya akan mempertahankan pendapat itu. Memang, sering juga kita lihat banyak orang yang mau menerima pendapat orang lain. Tapi, aku yakin, hal itu nggak seratus persen. Itu manusiawi. Maka banyak timbul kelompok debat, diskusi, dan semacamnya. Toh kelompok-kelompok semacam itu gunanya adalah menyamakan persepsi, pola pikir. Dampak baiknya, pendapat pun perlahan akan selaras.


Tinggal kita hubungkan, mana yang akan kita pilih, asumsi orang, atau asumsi kita sendiri. Bijaknya, kita pikir matang-matang mana pendapat yang terbaik. Aku dapat nasihat ini dari ayah dan temanku. Nggak salah aku berbagi, meskipun aku juga masih belajar memahami diriku sendiri.


***


Bicara masalah asumsi orang, beberapa waktu lalu, aku sempat diterpa sebuah masalah yang membuatku benar-benar down, dan terus-menerus berpikir tentang pendapat orang tentang perilakuku. Memang, nggak selamanya pendapat mereka benar, tapi sejalan dengan apa yang aku paparkan di awal, pendapat orang itu terkadang ‘membunuh’. Bahkan, salah seorang aktor kondang di negeri ini saja hampir menutup akun Twitternya karena kritikan pedas dari salah satu followernya.


Aku juga merasakan hal yang sama ketika itu. Ketika aku menganggap bahwa sebuah perilaku baik itu menjadi bumerang bagiku sendiri. Yah, memang apa yang kita lakukan terkadang nggak selaras dengan yang dimau oleh orang lain atas perilaku itu, entah maksud ataupun tujuannya. Nah, ketika maksud yang kita paparkan itu nggak sesuai dengan apa yang ditangkap oleh orang lain, disitulah titik baliknya.


Aku nggak pernah bermaksud menuhankan pendapat orang lain, tapi memang kala itu badanku menjadi serasa tak bertulang. Menjadi lemah sekali. Lalu ada salah seorang teman, yang dengan twit-nya secara sempurna menyadarkanku. Aku lupa twit aslinya seperti apa, jelasnya, intinya begini, ‘Menganggap asumsi diri kita benar, itu sah. Tapi, terlalu menganggap kebenaran asumsi orang lain, itu bego.’. Dari situ, aku merasa tertampar. Kata ‘bego’ dalam twit itu memiliki kekuatan ekstra besar.


Entah mengapa, setelah ‘nasihat’ yang ia berikan itu, semangat mulai muncul lagi. Dan, akhirnya, aku jadi mendapatkan sebuah pelajaran. Adalah bahwasanya apa yang orang bilang, itu belum tentu benar. Begitu juga dengan apa yang kita bilang, belum tentu itu juga merupakan pendapat terbaik. So, semua hal di dunia ini relatif. Seperti perkataan bahwasanya orang disebut pintar, karena ada orang yang menyebutnya pintar. Ada benarnya, ada salahnya. Tinggal lewat ‘kacamata’ mana kita menilainya.


Nah, sekarang, jalankan saja apa yang kita yakini benar, dan jadikan pendapat orang sebagai cambuk untuk melaju lebih kencang lagi. Meski terkadang, untuk lompat tiga langkah ke depan, kita harus mundur satu langkah, dua, bahkan lebih. Tergantung butuhnya kita.


Oke, sekian dulu. Dengan tulisan ini, aku hanya ingin berbagi dengan kalian. Semoga bermanfaat. Selamat berpendapat!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun