Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Menakar Kecurangan Pemilu

31 Mei 2019   10:15 Diperbarui: 31 Mei 2019   10:41 278 3
Dalil-dalil kecurangan pemilu yang dilayangkan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno akhirnya mendarat di landasan konstitusional. Di hari terakhir pendaftaran perkara, melalui tim hukumnya, permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya, upaya konstitusional telah ditempuh dengan mengajukan laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu ke Badan Pengawas Pemilu RI (Bawaslu). Terdapat empat laporan yang diajukan. Dua laporan diajukan oleh Sufmi Dasco Ahmad dengan nomor perkara 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 dan 08/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 yang diputus 14 Mei 2019. Kedua laporan ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas persoalan pengelolaan SITUNG dan legalitas lembaga quick count.

Satu perkara diajukan oleh Djoko Santoso dan Hanafi Rais yang teregistrasi dengan nomor 01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, sedangkan perkara lainnya diajukan oleh Dian Islamiati dengan nomor 02/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019. Keduanya mempersoalkan dugaan kecurangan dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo - Maruf Amin yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kedua laporan telah diputus pada 20 Mei 2019.

Dapat Diukur

Sebelum putusan MK dikeluarkan, pada dasarnya potensi ada atau tidaknya kecurangan yang bersifat TSM yang didalilkan kubu Prabowo-Sandi sudah dapat diukur dengan merujuk pada keempat putusan Bawaslu tersebut dengan menilai kualitas dan kuantitas dalil dan alat bukti yang disampaikan.

Pada laporan tentang pengelolaan SITUNG, disebutkan bahwa data-data yang dimasukkan oleh KPU sengaja dimanipulasi untuk mengurangi suara yang diperoleh Prabowo-Sandi dan mendongkrak suara Jokowi-Maruf. Namun dalam proses ajudikasi, ditemukan fakta bahwa kesalahan input data dalam SITUNG adalah murni human error dan tidak ditemukan adanya indikasi kecurangan.

Kekeliruan input data tidak hanya terjadi pada perolehan suara pasangan calon nomor urut 02, melainkan juga pada 01. Data-data yang disajikan oleh tim hukum Prabowo-Sandi pun telah ditindaklanjuti oleh KPU dengan perbaikan data dan verifikasi ulang, bahkan sebelum laporan diajukan ke Bawaslu.

Maka dari itu, Bawaslu menghukumkan KPU untuk memperbaiki tata cara dan prosedur input data SITUNG. Bawaslu pun mengimbau agar KPU tetap memperhatikan dan mengedepankan ketelitian dan akurasi dalam mengunggah data di SITUNG.

Pada laporan selanjutnya, tim Prabowo-Sandi mempertanyakan kredibilitas lembaga penyelenggara quick count yang dianggap berpihak kepada Jokowi-Maruf, sehingga mempublikasikan hasil quick count yang sudah pasti mengunggulkan Jokowi-Maruf. Tim Prabowo-Sandi mempertanyakan KPU yang tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik karena tidak melakukan supervisi dan pemberian sanksi terhadap lembaga quick count yang tidak independen.

Tetapi, tidak terbukti adanya lembaga quick count yang memihak salah satu kandidat. Apalagi, jika bukti yang disampaikan hanya penghitungan tidak valid di satu provinsi saja, yaitu Provinsi Bengkulu. Kekeliruan di satu provinsi saja tidak dapat serta merta merepresentasikan adanya kekeliruan secara nasional.

Kendatipun begitu, dalam persidangan ditemukan fakta bahwa KPU telah melanggar tata cara dan prosedur pendaftaran dan pelaporan lembaga quick count karena tidak melakukan sosialisasi pendaftaran dan pengawasan lembaga quick count dalam mengumpulkan laporan sumber dana dan metodologi penelitian, sebagaimana diamanahkan peraturan perundang-undangan.

Beruntungnya, beberapa lembaga quick count yang sudah berpengalaman memberikan hasil survei penyelenggaraan pemilu berinisiatif menyampaikan laporan sumber dana dan metodologi yang dipakai dalam menjalankan quick count tanpa harus menunggu aba-aba dari KPU.

Atas dasar tersebut, Bawaslu menyatakan, KPU melanggar tata cara dan prosedur pendaftaran dan pelaporan lembaga quick count serta memerintahkan kepada KPU untuk mengumumkan lembaga quick count yang belum memasukkan laporan ke KPU supaya dapat segera ditindaklanjuti oleh KPU. Namun demikian, dugaan kecurangan yang dilakukan oleh KPU masih nihil dan belum terbukti.

Dua perkara lainnya yang diajukan oleh Djoko Santoso dan Hanafi Rais serta Dian Islamiati memiliki karakteristik yang sama. Keduanya menuduh kandidat Jokowi-Maruf telah melakukan kecurangan yang bersifat TSM, sebab diduga melakukan politik uang dan melibatkan aparat pemerintah untuk memenangkan Jokowi-Maruf. Keduanya pun sama-sama dinyatakan tidak dapat diterima di tahap sidang pendahuluan karena alat bukti yang disampaikan tidak memenuhi syarat kualitatif dan kuantitatif.

 Mengacu pada penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pembuktian TSM disandarkan pada tiga hal: (1) terstruktur, yaitu dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilu secara kolektif; (2) sistematis, yaitu direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; dan (3) masif, yaitu dampak pelanggaran sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu, bukan hanya parsial.

Secara kuantitatif, berdasarkan Pasal 25 ayat (8) huruf c Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu (Perbawaslu No. 8 Tahun 2018), minimal terdapat dua alat bukti di paling sedikit 50% dari jumlah daerah provinsi, yaitu 17 provinsi.

 Sayangnya, alat bukti yang dilampirkan pada dua perkara tersebut berupa print out berita elektronik yang masih memerlukan penjelasan dari alat bukti pendukung berupa surat, video, atau dokumen lainnya. Adapun pelapor juga melampirkan laporan penanganan pelanggaran di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Namun demikian, dua provinsi saja masih tetap tidak bisa menggambarkan kondisi yang bersifat masif menurut UU Pemilu dan Perbawaslu No. 8 Tahun 2018.

 Dengan mempelajari keempat laporan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil kecurangan TSM, yang selama ini digembar-gemborkan secara TSM juga, sulit untuk dibenarkan akibat lemahnya pembuktian.

Dokumen, video, keterangan saksi, dan sebagainya harus dapat dihadirkan di ruang ajudikasi, begitu pula implikasi yang signifikan dalam perolehan suara yang mengakibatkan berkurangnya suara dari salah satu pihak. Pihak yang mendalilkan harus menunjukkan secara gamblang perbandingan perolehan suara akibat manipulasi dan perolehan suara berdasarkan pemilu yang jujur dan adil.

Namun demikian, tim Prabowo-Sandi gagal melakukan hal itu. Kesalahan dan kekeliruan manajemen pemilu oleh KPU dan screenshot berita online tentu tidak kuat untuk membuktikan adanya tuduhan serius berupa pelanggaran pemilu yang TSM. Bisa jadi kecurangan pemilu memang terjadi, tetapi sifatnya kasuistik, insidental, perseorangan, dan sporadis.

Mengatur Strategi

Apabila tim Prabowo-Sandi ingin memenangkan gugatan PHPU di MK, maka perlu mengatur ulang strategi. Kunci utamanya terdapat pada pembuktian yang harus memenuhi kualifikasi kuantitatif dan kualitatif serta signifikansi dengan perolehan suara. Namun demikian, apabila mencermati permohonan tim hukum Prabowo-Sandi ke MK, dalil dan alat bukti yang disampaikan cukup sama dengan substansi laporan ke Bawaslu.

Kecurangan TSM adalah suatu tuduhan serius. Membangun narasi-narasi negatif di masyarakat tidak akan membantu apapun apabila alat bukti yang dihadirkan di meja persidangan hanya imajinasi. Jika jalan semacam ini lagi yang ditempuh, bisa jadi, hasilnya tidak akan berbeda jauh dengan sidang gugatan Perselihan Hasil Pemiluhan Umum (PHPU) yang diketuk MK lima tahun silam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun