Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Agama dan Ekonomi dalam Irama

1 Januari 2019   21:20 Diperbarui: 1 Januari 2019   21:37 222 0
Sejak masa kampanye dimulai, berbagai isu dan tawaran program kerja antara kubu Jokowi- Ma`ruf (01) dan Prabowo-Sandi (02) kian menjadi hangat di antara ruang-ruang publik yang kita miliki. Hingga di penghujung tahun 2018 dan pada pembuka 2019, isu agama dan ekonomi semakin runcing dan seolah menjadi titik kulminasi untuk menjadi modal utama dalam meraup suara terbanyak pada April 2019 nanti.

Setidaknya, kedua isu tersebut (Agama & Ekonomi) telah menjadi identitas pada masing-masing tim kampanye dari kedua kubu. Terlebih di kubu 02, saya melihat hampir tidak ada isu lain yang lebih populer selain masalah ekonomi yang terus-menerus menjadi bahan kampaye.

Mulai dari harga-harga kebutuhan yang selalu disebut-sebut meningkat, meskipun jarang menyebut sumber data yang valid, isu kurs dolar yang juga disebut meningkat, tanpa dipahami lebih jauh tentang sebab-sebab terjadinya fluktuasi nilai tukar dan dampak positif-negatifnya, hingga masalah isu tenaga kerja asing yang tidak pernah dilihat dalam konteks investasi global dan syarat-syaratnya.
Secara fair juga harus dilihat, bahwa barisan tim kampanye 01 juga tidak pernah kehabisan amunisi untuk menjawab berbagai serangan dari tim 02.

Yaah, inilah realitas dan wajah politik Indonesia hari ini. Sayangnya, dengan harapan untuk meraih kemenangan dalam Pilpres, masing-masing kubu seolah menempatkan isu agama dan ekonomi dalam dua kutub yang saling berhadap-hadapan. Apakah benar demikian ?? Berikut ulasan singkat dari saya..

Tuhan Berfirman dalam Quran surah Al-Baqarah ayat 30 yang artinya "dan ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku hendak Menjadikan seorang Khalifah di muka bumi".  Dalam banyak literature, kata "Khalifah" ditafsirkan sebagai pemimpin, pembawa kemakmuran, pengelola, dan wakil Tuhan di Bumi.

Dalam essay ini, saya akan fokus pada dua tafsiran dari kata khalifah itu yakni pembawa kemakmuran dan Pengelola Bumi. Ditinjau dar perspektif sejarah, Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada bulan ramadahan ribuan tahun silam (1440 H), telah memberikan petunjuk kepada manusia tentang tugas dan fungsi mereka selama tinggal di dunia.

Sementara itu ilmu ekonomi, sebagaimana dipahami oleh para ekonom, ekonomi baru berdiri sebagai satu disiplin kajian yang mandiri sebagai cabang dari ilmu sosial pada tahun 1776 setelah Adam Smith mempublikakan "Wealth Of Nations".
Pokok-pokok pikiran Smith  yang tertuang dalam buku tersebut tentang Manusia sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles " Homo Economicus" bahwa manusia adalah mahluk sosial yang dalam keseharian didorong oleh motivasi untuk memenuhi kebutuhan kebutuhanya sendiri, secara terpisah dari manusia yang lain.

Dan jika semua orang bertindak demikian, menurut Adam Smith, suatu ketika akan terbentuk satu tatanan masyarakat yang secara alamiah dapat memenuhi semua kebutahan material dalam komunitas tersebut. Oleh Smith dalam Wealth Of  nations, " Bukan kebaikan tukang daging, pembuat Bir, dan pembuat roti untuk menyiapkan makan malam bagi kita, tapi itu semua mereka lakukan semata-mata untuk apresiasi terhadap diri mereka sendiri".

Secara sederhana, dalam pemikiran Smith tersebut, kita bisa menangkap makna bahwa dorongan dan kemandirian individual manusia akan membawa mereka ke dalam sebuah komunitas yang secara sosial, saling melengkapi untuk bisa hidup berdampingan.

Akumulasi dari total tindakan individu dalam satu komunitas masyarakat yang membentuk kesejahteraan bersama, dimana nantinya akan membentuk kemakmuran suatu bangsa di belahan dunia manapun.  Apa yang dikemukakan oleh Smith tersebut, secara subtansial relevan dengan makna kata Khalifah yakni "Pembawa Kemakmuran dan Pengelola Bumi", tentunya dengan batat-batas pemahaman yang berbeda dari setiap orang atas makna harfiah tersebut.

Kebutuhan manusia untuk bertahan hidup adalah motivasi terbesar bagaimana manusia saling berkompetisi menciptakan kemakmuran, berdasarkan kemampuannya masing-masing. Kebutuhan mengharuskan kerja, dan kerja meniscayakan kemakmuran.

Ini yang saya maksudkan tentang relevansi pemikiran Smith tentang Makna kata Khalifah dalam Al`Quran tersebut diatas. Sekarang mari kita bicara tentang kebutuhan dan keinginan manusia, dalam perspektif posivistik ala Smith dan Normatif al Al-Quran.  

Kita seringkali gagal membedakan antara kebutuhan disatu sisi dan keinginan pada sisi yang lain. Kebutuhan manusia dan keinginan manusia, sedemikian rupa menjadi sangan abstrak jika kita menempatkannya pada titk yang sama yakni pemuasan hasrat. Namun akan menjadi kongkrit, jika kita meletakkanya pada posisi pemenuhan primer untuk menopang hidup manusia, yang secara garis besar terdiri dari tiga basis utama yaitu Sandang (pakaian), Pangan (makanan) dan papan (rumah). Pada konteks tersebut, menjadi sangan jelas yang mana "kebutuhan" dan "keinginan".

Dalam agama kita mengenal apa yang disebut perintah dan Larangan, dimana masing-masing berimplikasi pada dua hal yakni pahala dan dosa, surga dan neraka.  Perintah agama dalam bentuk syariat dalam wilayah ekonomi, memberikan batasan-batasan yang tegas agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya. Berbagi kepada sesama dalam bentuk zakat dan sedekah.

Dalam terminologi yang lebih universal, ini disebut filantropi. Sementara secara posivistik, ilmu ekonomi yang kita "konsumsi" selama ini tidak memberikan banyak perhatian untuk perkara tersebut. Kabar baiknya, kajian-kajian tentang ekonomi syariah mulai berkembang, dan mendapat perhatian yang serius dari banyak pemikir besar dunia.

Lebih jauh lagi, bangunan teori ekonomi kita saat ini tidak memberikan ruang bagi unsur ukhrawi dalam menyusun fondasi filosofisnya. Segala Puji bagi Tuhan yang telah memberikan hidup bagi manusia dengan berbagai perangkat nalar yang kita miliki.

Korelasi dan interdependensi antara hidup untuk menciptakan kemakmuran di dunia  dan bagaimana kehidupan pasca dunia dalam hal ekonomi telah ada dalam Al-Kitab. Apa yang kita usahakan selama di dunia, merupakan jalan bagi kita untuk memperoleh kehidupan yang "bahagia" di alam yang lain, sepanjang itu dilakukan pada koridor Syariat agama.

Sayangnya, sebagian dari masyarakat kita saat ini telah diracuni oleh pemikiran ala Smithi_an, sehingga praktis dalam menentukan kebijakan ekonomi, lebih banyak berkiblat pada model-model penalaran positifistik dan pragmatis yang akut.  

Jika kita gali lebih dalam. Akar-akar filosofis dari ajaran agama dan ekonomi sebetulnya bermuara pada arus yang sama, yakni dorongan untuk membentuk moral manusia yang lebih baik. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun