Oleh: Drs. Rusman, M.Pd
Metode apa yang paling tepat untuk diterapkan dalam suatu proses pembelajaran ? Hal itu jelas harus dikuasai oleh guru. Lebih jelasnya adalah bahwa dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) guru harus mampu menguasai berbagai metode yang paling tepat sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan.
Penguasaan terhadap metode, alat / media dan teknik pembelajaran ini harus diterapkan dan tercermin dalam program pembelajaran. Jadi pada intinya proses pembelajaran harus bervariatif, metode yang digunakan tidak monoton, sehingga potensi yang ada pada masing-masing anak dapat dikembangkan secara optimal.
Berbagai tuntutan di atas akan dapat terlaksana dengan baik apabila guru yang bersangkutan memiliki kemampuan professional, artinya baik dalam motivasi untuk mengajar maupun kemampuan secara teknis instruksional, guru tersebut benar-benar dapat diandalkan. Salah satu bentuk profesionalitas seorang guru adalah jika yang bersangkutan mampu menerapkan metode mengajar yang baik, salah satunya adalah metode diskusi dalam pembelajaran.
Secara lebih terperinci langkah-langkah yang harus ditempuh guru dalam mempersiapkan penerapan metode tersebut, antara lain:
Nampak dalam proses diskusi bukan hanya factor kecerdasan anak yang dapat mempengaruhi anak dalam berbicara. Tidak kalah pentingnya adalah faktor mental anak (keberanian) anak dalam mengemukakan pendapatnya. Tepatnya adalah faktor kejiwaan si anak. Kejiwaan ini banyak mempengaruhi anak untuk berani bergaul, berani mengemukakan pendapat, berani menyanggah pendapat orang lain, dan juga berani mengakui kebenaran pendapat orang lain jika memang benar.
Proses diskusi memang tidak lepas dari kebiasaan bergaul dengan sesama orang lain, anak yang biasa bergaul akan memiliki kepercayaan diri, karena itu guru hendaknya membentuk suasana sedemikian rupa agar anak tidak canggung-canggung bergaul dengan sesamanya.
Persoalan kejiwaan anak memang merupakan persoalan yang prinsip, sebab masa kanak-kanak di dalam konteks psikologis merupakan masa yang penuh kepekaan. Keberhasilan mereka dalam mengatasi masalah psikologis akan membawa dampak besar di masa remaja dan masa dewasanya kelak.
Kita sering melihat kenyataan bahwa seorang anak dapat menjadi baik atau buruk di masa depannya salah satunya adalah karena pengaruh kuat dari kondisi psikologisnya ketika mereka masih kecil. Dunia anak dengan berbagai tingkah polahnya memang menyimpan banyak keunikan.
Perlunya Hubungan yang harmonis antara Guru dan Siswa
Anak-anak memang unik, lucu, dan tentu saja menarik untuk disimak. Berbagai fenomena dapat kita amati dari pergaulan antar teman di sekolah (peer group). Tidak terlepas dari persoalan kejiwaan itu adalah masalah sosial, atau konkritnya adalah hubungan/pergaulan antar anak baik di lingkungannya.
Hubungan harmonis antar teman atau sebaliknya hubungan yang tidak harmonis antar teman, dapat pula membawa dampak psikososial di masa remaja dan dewasanya kelak. Jadi antara persoalan psikologis dan persoalan soaial dalam arti pergaulan antar teman di masa anak-anak ini saling terkait. Di samping itu faktor kejiwaan yang mungkin merupakan pembawaan (heriditas) dapat pula berpengaruh besar terhadap kelancaran hubungan sosial anak.
Pada sisi lain harmonis tidaknya hubungan antar teman bisa pula menimbulkan persoalan psikologis pada diri anak. Persoalan psikososial yang dialami anak pada gilirannya juga akan menjadi persoalan pendidikan pula. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi apakah seorang anak diterima atau disingkirkan dari pergaulan antar teman, salah satu di antaranya adalah faktor uang jajan sekolah.
Ada dua sisi yang saling silih berganti ibarat dua sisi mata uang yang saling bergantian. Dua sisi kondisi yang dimaksud sebagai akibat banyak sedikitnya uang jajan, misalnya suatu saat seorang anak tersingkir dari pergaulan teman-temannya. Tetapi di saat lain dapat saja dia menjadi tokoh di antara mereka. Dua sisi kondisi yang demikian selalu silih berganti dialami oleh seorang anak.
Oleh karena itu pengaruh kejelian orang tua dalam mengamati seharusnya anak diberi uang jajan berapa, hal itu merupakan sesuatu yang bijaksana. Namun juga dibutuhkan hubungan yang baik dengan para guru di sekolah, agar pelaksanaan pendidikan dapat berjalan secara lebih baik.
Dengan komitmen terhadap tugasnya, guru-guru senantiasa selalu berusaha mengasah diri untuk mengembangkan kemampuan professional secara optimal, baik dalam penguasaan : kurikulum, materi pelajaran, penggunaan metode pembelajaran, pemilihan dan penggunaan alat / media belajar secara tepat dan penerapan alat evaluasi secara tepat pula.
Kegiatan belajar sesuai dengan bentuk belajar ketrampilan, menekankan pada proses latihan. Tahapan latihan ini dimulai dengan pencapaian hasil belajar kognitif, baik berupa konsep dan prinsip. Selanjutnya, dilakukan latihan menyesuaikan gerakan dengan aturan-aturan tertentu, dan melalui latihan lebih lanjut, diberi kebebasan untuk mengembangkan kemampuan sampai mencapai kemampuan atau ketrampilan yang berbentuk pola-pola respon.
Praktek pengajaran dengan pendekatan keaktifan Guru-Siswa menuntut upaya guru dalam merancang berbagai bentuk kegiatan belajar yang memungkinkan terjadinya proses belajar aktif pada diri siswa. Rancangan itu merupakan acuan dan panduan, baik bagi guru itu sendiri, maupun bagi siswa. Kadar keaktifan dalam pengajaran dengan pendekatan keaktifan Guru-Siswa tercermin dalam kegiatan baik dilakukan guru, maupun siswa.
Harus ada kriteria
Tolok ukur derajat keaktifanan suatu proses pengajaran dapat dipandu dengan mengamati ciri sebagai berikut :
a.Para siswa terlibat aktif dalam merencanakan kegiatan yang akan dilakukan serta dalam menentukan tolok ukur keberhasilan belajar.
b.Segi intelektual-emosional siswa ikut aktif dalam berbagai kegiatan yang ditandai kesertaannya dalam keanekaragaman kegiatan, baik secara jasmaniah maupun secaramental.
c.Guru berupaya memberikan kemudahan belajar dan mengkoordinasi kegiatan siswa, namun sedapat-mungkin tidak ada kesan besarnya dominasi guru dalam proses nelajar mengajar.
d.Adanya keanekaragaman penggunaan metode mengajar serta penggunaan media dan alat pelajaran.
Apabila kita perhatikan criteria keaktifan siswa di atas nampak bahwa sebenarnya baik metode diskusi maupun demonstrasi memiliki kemiripan. Demikian pula dengan metode eksperimen. Ketiganya sangat menuntut keaktifan siswa, hanya bedanya materi apa yang cocok untukdiangkat berbeda.
Pelaksanaan demonstrasi sering kali diikuti dengan eksperimen yaitu percobaan tentang sesuatu. Dalam hal ini, setiap siswamelakukan percobaan dan bekerja sendiri-sendiri. Pelaksanaan eksperimen lebih memperjelas hasil belajar. Karena setiap siswa mengalami atau melakukan kegiatan percobaan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, proses belajar semacam ini sesuai dengan konsep belajar sambil melakukan (learning by doing).
Perbedaan utama antara demonstrasi dan eksperimen, terletak pada pelaksanaan. Demonstrasi hanya mempertunjukkan sesuatu proses di depan kelas, sedangkan eksperimen memberi kesempatan kepada siswa melakukan percobaan sendiri tentang proses yang dimaksud.
Jadi metode ini mempunyai kadar keaktifan cukup tinggi dibandingkan dengan demonsrasi. Demonstrasi itu sendiri bila dirangkaikan dengan eksperimen dapat mempertinggi efektifitas pengajaran yang dilaksanakan.
Sebenarnya metode apa yang paling cocok dalam suatu proses pembelajaran, bukanlah menjadi persoalan. Sebab penerapan metode juga harus disesuaikan dengan kondisi siswa.
Meskipun sebagian besar guru tidak melihat hubungan antara metode dengan basis sosial. Mereka melupakan hubungan cara berpikir dengan basis sosial. Metode sebagai hasil dari cara berpikir dan cara berpikir merupakan hasil jawaban manusia atas berbagai tantangan yang dihadapi dalam alam sekitar.
Dengan adanya pendapat itu, nampaklah bagaimana pentingnya hubungan antara cara berpikir yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk diciptakannya metode, dengan kondisi sosial yang ada dalam suatu lingkungan masyarakat. Dan dalam proses pendekatan ini peranan dunia pendidikan sangat dibutuhkan.
Di samping itu penerapan multi metode dan media dalam proses pembelajaran menuntut variatifnya pula penerapan penilaian. Artinya bahwa penilaian tidak hanya sekedar mengukur hasil yang diperoleh, melainkan juga bagaimana mengukur keikutsertaan siswa dalam proses pembeajaran itu. Termasuk misalnya latihan penerapan sopan santun, perilaku, diskusi, penerapan pendekatan fragmentis, dan semacamnya.
Dari uraian dan contoh di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1)Setiap proses belajar yang dilaksanakan dengan penuh perhatian terhadap pelajaran maka hasilnya akan lebih baik.
2)Upaya guru menumbuhkan dan meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain :
a)Mengaitkan pelajaran dengan pengalaman, kebutuhan, cita-cita, bakat, atau minat siswa.
b)Menciptakan situasi pembelajaran yang tidak monoton. Umpamanya: penggunaan metode mengajar yang bervariasi, penggunaan media, tempat belajar tidak terpaku hanya di dalam kelas saja.
Guru perlu pula mengemukakan, upaya-upaya apa yang harus dia lakukan untuk :
1)Menarik perhatian siswa dengan cara mengaitkan pelajaran tersebut dengan diri siswa (umpamanya dengan pengalaman mereka)
2)Menarik perhatian siswa dengan cara menciptakan situasi pembelajaran yang bervariasi (umpamanya dalam penggunaan metode mengajar)
Seperti telah dibahas di depan, bahwa belajar itu sendiri adalah aktivitas, yaitu aktivitas mental dan emosional. Bila ada siswa yang duduk di Kelas pada saat pelajaran berlangsung, akan tetapi mental emosionalnya tidak terlibat aktif di dalam situasi pembelajaran itu, pada hakikatnya siswa tersebut tidak ikut belajar.
Oleh karena itu guru jangan sekali-kali membiarkan ada siswa yang tidak ikut aktif belajar. Lebih jauh dari sekedar mengaktifkan siswa belajar, guru harus berusaha meningkatkan kadar aktivitas belajar tersebut.****