Apabila diamati, penderita Gangguan Identitas Gender (GIG) cenderung mengalami kesulitan dalam interaksi sosial ke sesama jenis. Ketidaksukaan untuk menjalin hubungan sosial ini dipengaruhi pelbagai faktor, diantaranya faktor kultural yang terjadi di masa lalunya. Sama halnya dengan konsep behaviorisme yang menganggap bahwa lingkunganlah yang mengkonstruksi perilaku individu. Dalam konteks ini, bila dianalisis melalui pendekatan behavioris dapat diketahui apabila si anak mempunyai pergaulan yang sangat dekat dengan lawan jenis, dibandingkan dengan sejenis. Maka hal demikian bisa menjadi indikasi atas terjadinya gangguan identitas gender ketika dewasa kelak.