Kejam dan biadab. Setelah pembantaian di Kuta Reh dilakukan, para Marechaussee berdiri berjejeran sambil foto bersama dengan ratusan tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan. Pasukan ”peliharaan” Koningin Wilhelmina (Ratu Belanda saat itu) tersenyum dan bangga dengan ”aksi” mereka. Hanya seorang bocah yang luput dari aksi pembantaian (lihat foto). Itu mungkin karena pertimbangan usia. Tapi, pantaskah si bocah melihat orang tuanya dibunuh tepat di depan matanya? Sungguh aksi keji dan tidak berperikemanusiaan. Luar biasa biadab!
Apa yang dilakukan oleh Marechaussee Belanda di tanoh Alas, dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida (genocide). Dalam Konvensi Genosida, Statuta Roma, Statuta ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda)dan ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)memuat definisi yang sama atas genosida dengan menyatakan bahwa genosida berarti setiap dari perbuatan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras atau keagamaan, dengan cara:
1.Membunuh anggota kelompok tersebut;
2.Menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;
3.Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian.
4.Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; dan
5.Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
AWAL PEMBANTAIAN
”Setiap bangsa memiliki kekejamannya sendiri-sendiri,” (Goenawan Mohamad, Tempo, 1981)
Apa yang ditulis oleh sastrawan kawakan Indonesia, Goenawan Mohamad, pada catatan pinggir majalah Tempo tahun 1981, menjadi refleksi penting bagi kita. Seberapa biadabkah kekejaman suatu bangsa atau seberapa sadiskah kekejaman suatu bangsa? Apakah kita hanya memandang kekejaman tersebut sebagai suatu cerita belaka? Lantas, kita melupakannya begitu saja?
Pasca keberhasilan Belanda menjadikan Sulthan terakhir Aceh, Muhammad Daud Syah (1874 - 1903), sebagai tawanan hingga ia mangkat pada 6 Februari 1939 di Batavia (sekarang Jakarta), maka sejak saat itu, perlahan tapi pasti, satu per satu simbol perlawanan rakyat Aceh mulai tergerus. Perlawanan terakhir rakyat Aceh yang masih membuat Belanda kalang kabut dan harus bekerja ekstra keras untuk mengatasinya adalah pertempuran di region Tangse (Pidie) yang dipimpin oleh Teungku Chik Mayet di Tiro (salah seorang anak lelaki Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman). Perlawanan ini berakhir pada 5 September 1910, setelah pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) Belanda berhasil mengendus jejak Ulama Tiro ini dan mengakhiri hidupnya dengan tembakan.
Pembantaian di Kuta Reh bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Joannes Benecditus Van Heutsz (1851-1924), yang hendak menguasai seluruh wilayah Aceh. Ia memerintahkan Letjen Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (1863-1930) atau lebih dikenal Van Daalen untuk menggempur wilayah dataran tinggi Gayo dan Alas pada 1904. Kawasan ini relatif aman dan tidak terpengaruh oleh perang, hingga akhirnya Pasukan KNIL Belanda tiba.
Kedatangan kaphe Belanda ternyata tidak serta merta diterima oleh masyarakat kawasan ini. Pertempuran pun akhirnya meletus. Dengan alat persenjataan konvensional, sudah pasti, kolonial Belanda dapat dengan mudah mematahkan perlawanan. Kekuatan yang tak berimbang ini, kemudian dimanfaatkan untuk meneror penduduk pribumi agar berhenti melakukan pemberontakan dengan cara ”instan”. Salah satunya adalah pembantaian massal yang dilakukan pasukan Marechaussee Belanda di tanoh Alas (Kuta Reh), Aceh Tenggara.