Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Partai Aceh; Oligarki Ala Mafia

1 Februari 2014   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 184 0

DALAM persiapan mendulang suara terbanyak untuk menghadapi pemilu 2014, setiap partai tentu saja bekerja sebaik mungkin agar dipilih oleh rakyat. Begitu juga dengan partai lokal di Aceh yang ikut menjadi “pemain” dalam pesta demokrasi rakyat. Partai lokal yang dimaksud adalah Partai Damai Aceh [No. urut 11], Partai Nasional Aceh [No. urut 12], dan Partai Aceh [No. 13].

Diantara ketiga partai lokal, yang paling menonjol adalah Partai Aceh. Karena mayoritas anggota Parlemen Provinsi Aceh didominasi oleh kader partai ini, dan tahun 2014 merupakan untuk kedua kalinya partai yang diketuai oleh Muzakir Manaf tersebut ikut pemilu legislatif yang serentak diselenggarakan secara Nasional, setelah lima tahun [2009-2014] menguasai kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh [DPRA]. Menarik untuk menyimak sepak terjang Partai Aceh menjelang dilaksanakannya pemilu legislatif pada 09 April 2014, sebab, pelanggaran pemilu serta beberapa intimidasi dan teror beraroma politis yang terjadi belum lama ini, ikut melibatkan kader dan simpatisan partai tersebut.

Kekuasaan memang sangat menggiurkan bagi mereka yang “haus” dan “tamak”. Tidak peduli apa pun cara yang digunakan untuk meraih dan menggenggamnya. Teror, intimidasi, pembohongan, fitnah dan pembodohan masyarakat, telah “dihalalkan” untuk mencapai tujuan. Ini mungkin “kembaran” atau hasil “jiplakan” dari Agitprop Partai Komunis Bolshevik era Uni Soviet. Agitasi sudah menjadi suatu kewajiban, ia adalah menyerang lawan dengan segala cara dengan tujuan untuk merendahkan, memojokkan dan menjatuhkan. Bagi organisasi – organisasi mafia, mekanisme di atas sudah “biasa” dilakukan. Oligarki mafia semacam itu masih eksis hingga hari ini. Seperti, Kartel narkotika di Meksiko dan Yakuza di Jepang. Apa jadinya bila sebuah partai ikut mengadopsi cara – cara barbar itu? Untuk ruang lingkup Provinsi Aceh, hal – hal demikian sudah beberapa kali terjadi. Bahkan, ada yang sampai merenggut nyawa dari korban yang telah “dibidik”. Demi memuluskan kemenangan partai.

***

Kekuasaan oligarki adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif ataupun eksekutif bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.

Dalam memandang politik sebagai perjuangan tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik dinasti ketika kekuasaan politik terpusat pada hubungan kekerabatan dengan elite politik utama dan mereka yang dapat restu darinya. Lebih dari itu, penguasaan arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis – melalui parpol – ini telah membuat setiap langkah parpol kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang secara eksklusif hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Patut dipikirkan jalan membendung kekuasaan oligarki politik melalui pendisiplinan parpol dan segenap pelembagaan politik demokrasi dengan menampilkan kekuatan sosial akar rumput sebagai subyek politik konkret dalam demokrasi representatif (Kompas, 06/09/2012).

***

Mengacu pada judul artikel, “Partai Aceh; Oligarki Ala Mafia”, berkaitan dengan kondisi Provinsi Aceh selama dipimpin oleh Zaini Abdullah – Muzakir Manaf, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh untuk periode 2012- 2017. Karena keduanya merupakan tokoh – tokoh yang memiliki peranan penting di Partai Aceh. Begitu pun dengan kondisi wilayah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh para kader Partai Aceh, yang tidak banyak membawa perubahan masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan. Jangan ditanya soal legislatifnya, baik yang berada di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang cenderung memprioritaskan kepentingan “kelompok” ketimbang aspirasi rakyat. Oligarki yang dilakoni Partai Aceh telah demikian parah. Sehingga, banyak masyarakat Aceh tidak lagi heran melihat pejabat – pejabat tinggi yang duduk di Pemerintahan, baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota “dihiasi” oleh wajah – wajah anggota keluarga dan kerabat dari pemimpin yang “terpaksa” telah mereka pilih. Nepotisme yang menjadi salah satu cabang dari oligarki ini, menyebabkan kinerja Pemerintahan menjadi amburadul, lamban, dan “asal – asalan”, yang semuanya itu muncul dari pengambil kebijakan yang tidak berkompeten.

Untuk mengukuhkan oligarki semacam itu, pola operasi mafia pun ikut diadopsi. Beberapa rentetan peristiwa penembakan, pembunuhan, penganiayaan, arogansi, hingga pembohongan kepada masyarakat, antara lain:

1.Pembunuhan Cek Gu

2.Penyerobotan tanah milik masyarakat

3.Penganiayaan lawan kader partai yang berbeda

4.Mengingkari janji 1 juta/bulan/KK, dll

***

Oligarki ala mafia yang saat ini sedang berlangsung di Aceh, hanya dapat diakhiri oleh rakyat Aceh itu sendiri. Merekalah yang memiliki hak untuk memilih. Namun, bagaimana nasib rakyat yang sudah menjatuhkan pilihan pada orang – orang yang ternyata sekumpulan pembual dan mengingkari janjinya? Ingat! Satu kali coblos untuk lima tahun. pilihan rakyat Aceh lah yang menentukan kondisi Aceh.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum [baik masyarakat maupun individu], kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka,” (Ar Raad : 11).

Ruslan Jusuf

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun