Dudhi Makmun Murod, akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo. Sejak kemarin, dia menjadi tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Bagaimana dengan Panda Nababan, Tjahjo Kumolo, Emir Moeis dan juga Miranda Goeltom? Catatan reporter
Koran Jakarta. oleh
Rusdi Mathari PANDA Nababan terlihat terheran-heran. Matanya seolah menelisik. Lalu dengan nada sengit, mantan wartawan itu menyarankan agar tidak bertanya-tanya lagi soal kasus suap yang diduga melibatkan dirinya. “Sudahlah,
ngapain ditanya-tanya lagi? Ini lagi
hot-hot-nya kasus Bibit-Chandra,” kata Panda tak menggubris. Selasa siang pekan lalu, di sela-sela rapat dengar Komisi II DPR-RI dengan jajaran Kejaksaan Agung, reporter koran ini memang bertanya kepadanya perihal kesaksiannya ketika diperiksa penyidik KPK dalam kasus dugaan suap pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, lima tahun silam. Selain nama Panda, kasus itu juga menyeret sejumlah nama koleganya di PDI-Perjuangan, Partai Golkar dan PPP. Agus Condro Prayitno – orang yang kali pertama melaporkan kasus dugaan suap ini— bahkan menyebut Panda sebagai saksi kunci kasus dugaan suap itu. “Dalam pertemuan antara anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P dengan Miranda di Hotel Dharmawangsa, yang memimpin pertemuan adalah Panda,” kata Agus. Dia berada di Batang, Jawa Tengah dan ditemui
Henry Pelupessy, koresponden
Koran Jakarta,pekan lalu. Panda memang bukan anggota Komisi IX melainkan anggota Komisi III, hingga saat ini. Namun menurut Agus, entah mengapa pertemuan di hotel itu dipimpin langsung oleh Panda. Ada 10 orang anggota Komisi IX Fraksi PDI-P yang hadir di sana. Antara lain Emir Moeis, Dudhie Makmun Murod, Wiliam Tutuarima, Rusman Lumban Toruan, Max Muin, dan Angela Patiasina. Emir adalah Ketua Komisi IX DPR periode 1999-2004. Agus tak memerinci kapan persisnya pertemuan itu terjadi, kecuali ancar-ancar sekitar tiga atau empat hari sebelum hari pemilihan Deputi Senior Gubernur BI dilangsungkan, 8 Juni 2004. Agus bercerita, dalam pertemuan di Dharmawangsa, seluruh anggota Komisi IX dari PDI-P diminta untuk memenangkan Miranda. Sebelum pertemuan di hotel itu, anggota Komisi IX PDI-P juga sudah dikumpulkan di ruang Poksi anggota Komisi IX dari PDI-P di Lantai 8 Gedung Nusantara I. Bersama Tjahjo Kumolo dan Emir, Panda juga memimpin pertemuan itu. Awalnya pertemuan itu biasa dan hanya berisi pengarahan agar anggota Komisi IX dari PDI-P memenangkan Miranda. Alasannya seperti diungkapkan oleh Tjahjo, Miranda memiliki kinerja yang bagus, cerdas, berpengalaman dan sebagainya. Yang tidak biasa, kemudian ada lontaran dari salah satu pimpinan rapat, yang menyebutkan, Miranda bersedia memberikan kompensasi 300 juta rupiah per orang. “Tapi seingat saya, Tjahjo malah minta 500 juta rupiah,” kata Agus. Untuk meyakinkan peserta pertemuan, pimpinan rapat lalu menyebutkan, mereka semua akan dipertemukan langsung dengan Miranda. Lalu terjadilah pertemuan dengan Miranda di Hotel Dharmawangsa itu. Tjahjo yang dimintai konfirmasi tak bersedia menjawab langsung kejadian itu. Kata dia, proses pembuktian sudah ada di KPK. “Saya kurang tepat mengomentari,” kata Tjahjo.
Balas Budi Usai dilangsungkan
fit and proper test 8 Juni 2004, Miranda akhirnya terpilih menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Dia menggantikan Anwar Nasution, yang masa jabatannya akan berakhir sebulan kemudian. Hari itu dari 54 anggota Komisi IX DPR, 41 orang di antaranya memberikan suaranya kepada Miranda. Suara selebihnya terbagi dua, untuk S. Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono. Sehari setelah hari pemilihan itu, kata Agus, semua anggota Komisi IX PDI-P diminta agar datang ke ruangan Emir. Di sana, semua anggota termasuk Agus dibagi amplop berisi cek (
traveler’s cheque)yang dikeluarkan Bank International Indonesia. Agus sendiri mengaku menerima 10 lembar cek, masing-masing bernilai Rp 50 juta. Lembaran cek dimasukkan ke dalam amplop putih dengan kode “TJ”. Mereka yang tidak hadir hari itu, amplopnya kemudian dititipkan kepada Dhudhie Murod. “Waktunya kira-kira jam 12-an siang. Setelah kejadian itu, saya tidak tahu,” kata Agus. Empat tahun peristiwa itu tidak terendus, lalu Agus memberikan pengakuan dan mengadukan kasus itu kepada KPK pertengahan Agustus 2008. Pengakuan itulah yang lantas menyengat orang-orang PDI-P. Hasilnya Agus dipecat dari keanggotaan PDI-P, tapi pengaduannya saat itu tak segera ditangani oleh KPK. Alasan Antasari Azhar, yang saat itu menjabat Ketua KPK, kasus dugaan suap itu sedang ditelusuri dan tak bisa langsung ditindaklanjuti. Antasari dan KPK baru mulai sedikit bereaksi ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK mulai membuka data, adanya pembelian dan pencairan sekitar 400 cek yang diduga terkait dengan laporan Agus. Ratusan cek itu masing-masing bernilai Rp 50 juta dengan jumlah total Rp 20 miliar. Pencairannya dilakukan sejumlah orang, termasuk oleh Agus Condro dan beberapa anggota DPR yang lain. Agus mengaku, dirinya memang mencairkan cek itu di BII Cabang Pekalongan dan memasukkannya ke rekening banknya. Mengapa Antasari tak segera merespons pengakuan Agus? Menurut Sekjen Transparency International Indonesia, Teten Masduki, bisa jadi itu ada hubungannya dengan saat Antasari terpilih menjadi Ketua KPK, 5 Desember 2007. “Tak heran kalau itu ada anggota DPR yang mengancam akan membongkar pemberian uang yang dilakukan Antasari saat pemilihan Ketua KPK, jika Antasari membuka kasus dugaan suap Miranda,” kata Teten. Kecurigaan yang sama juga diungkapkan oleh Agus. Kata dia, Antasari adalah faktor yang menghambat penuntasan kasus yang dia laporkan. Semacam balas budi, karena saat dipilih oleh Komisi III DPR sebagai Ketua KPK, Antasari juga diduga banyak menebar banyak uang. Antasari akan tetapi membantah semua kecurigaan tersebut. Kata dia, semua kasus yang menggunakan pasal penyuapan harus tertangkap tangan, dan ada bukti rekamannya. Dua unsur itu, menurutnya, tidak ada dalam pengaduan Agus. “Itu
kan ungkapan seseorang. KPK tetap peduli dan profesional. Kita lihat nanti perkembangannya,” kata Antasari, sekitar sebulan setelah pengaduan Agus kepada KPK.
Radio Rusak Realitasnya, kasus dugaan suap Miranda, memang terkatung-katung di KPK lebih dari setengah tahun. Baru ketika Antasari mendekam di sel tahanan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, KPK kemudian membuka kembali kasus tersebut. Itu Mei 2009. Bulan berikutnya komisi itu lalu menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap itu. Mereka adalah Hamka Yamdu (Fraksi Partai Golkar), Dudhie Murod (PDI-P), Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri) dan Endin AJ Soefihara (Fraksi PPP) dengan barang bukti dana senilai Rp 24 miliar. Usai diperiksa KPK, Rabu 28 Oktober lalu, Dudhie membantah keterlibatan dua koleganya di PDI-P, Emir dan Tjahjo. Kata dia, tidak benar Tjahjo dan Emir memberi perintah kepadanya mengambil tas berisi cek. Bantahan Dudhie itu bertolak belakang dengan keterangan Amir Karyatin. Pengacara Dudhie itu sebaliknya mengungkapkan Dudhie diperintahkan oleh Tjahjo dan Emir untuk mengambil barang berisi cek. Keterangan Amir itu klop dengan pengakuan Agus, yang menyebutkan dalam pertemuan di ruangan Emir, Dudhie diminta Emir membawa sebagian amplop berisi cek yang belum diambil anggota Komisi IX PDI-P. Pada hari yang sama, KPK juga memeriksa Miranda dan Nunun Nurbaiti. Nama yang disebut terakhir adalah istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Adang saat ini menjabat sebagai anggota DPR-RI di Komisi III dari Fraksi-PKS. Seperti Miranda, Nunun diperiksa saksi, karena diduga terlibat dalam pemberian cek kepada beberapa anggota DPR. Itu pemeriksaan yang kedua bagi Nunun, setelah Oktober 2008 dia juga sempat diperiksa oleh KPK. Pemeriksaan yang sama juga dilakukan terhadap Panda, dua hari kemudian. Pekan lalu
Koran Jakarta mencoba menemui Nunun di rumahnya di Jalan Cipete Raya No. 39 C, tapi dia dikabarkan sakit. “Ibu sedang sakit, kalau mau ketemu hubungi saja Ibu Marni, sekretarisnya,” kata petugas keamanan di rumah itu. Lalu Ibu Marni yang disebut tadi, juga tak bersedia memberikan keterangan. Sepekan setelah pemeriksaan pertama itu, Miranda kembali menjalani pemeriksaan untuk kali kedua. Ketika pekan lalu ada kabar Miranda akan ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap itu, yang bersangkutan mengaku tak punya waktu untuk wawancara. “Besok saya ke Kuala Lumpur. Nanti kita atur minggu depan ya?” kata Miranda lewat sambungan telepon. Ada pun Panda menolak semua pengakuan Agus. Ketika kasus dugaan suap itu, baru dilaporkan Agus kepada KPK, Panda yang kini menjabat Sekretaris Fraksi PDI-P menyebut pengakuan Agus sebagai rekayasa. Apalagi saat pemilihan Miranda sebagai Deputi Senior Gubernur, dirinya bukan anggota Komisi IX BI. Dia juga menegaskan tidak punya berkepentingan terhadap pemilihan Miranda dan membantah menerima uang dari Miranda Namun Agus bergeming dengan seluruh pengakuannya. Dia sebaliknya menganggap Panda sebagai radio rusak. Dalam pertemuan di Hotel Dharmawangsa itu, kata Agus, “Panda bahkan banyak bicara dengan Miranda, dan saling
cipika-cipiki.” Itu sebutan untuk adegan cium pipi kiri kanan.
Tulisan ini dimuat di “Sorot”, Koran Jakarta
, 15 November 2009, berdasarkan laporan Agus Triyono, Kristian Ginting, dan Rizky Amelia. Silakan klik Rusdi GoBlog.
KEMBALI KE ARTIKEL