Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Wawancara George Junus Aditjondro

3 Januari 2010   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39 898 0
Saya rasa intelektual Indonesia sering tidak berani menyentuh hal-hal yang tabu seperti menyentuh Timor Timur, militer, kepresidenan. Kalaupun ada buku tentang korupsi, itu semua masih bersifat umum. Saya rasa sangat berbeda dan saya ingin membuktikan bahwa orang Indonesia juga bisa menulis buku dan buku ini harus dilihat berdampingan dengan buku korupsi kepresidenan. Wawancara BUKU Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Century membuat geger. Diluncurkan kali pertama di Yogyakarta, 23 Desember 2009, buku itu menimbulkan polemik hingga berakhir dengan drama “pemukulan” oleh George Junus Aditjondro kepada Ramadhan Pohan, di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta Selatan, sepekan kemudian. Ramadhan adalah Pemimpin Redaksi Harian Jurnal Nasional dan George menuduh koran itu dimodali oleh Boedi Sampoerna, salah satu nasabah Bank Century. Dalam beberapa kali pertemuan di acara televisi, lewat buku itu, George dituding Ramadahan sedang berhalusinasi, sebaliknya George menuduh Ramadhan terus memprovokasinya. Namun soalnya tentu bukan tentang saling tuding antara kedua orang itu. Soalnya adalah buku George, salah satu buku yang kini paling banyak diburu orang. Beberapa jam setelah acara peluncuran buku di Doekoen Coffee dan insiden “pemukulan” itu, George menerima Agus Triyono, Ezra Sihite, Rangga Prakoso dan Rusdi Mathari dari Koran Jakarta untuk menjelaskan beberapa hal seputar bukunya dan perseteruannya dengan Ramadhan. Wawancara diselingi dengan dering telepon George yang menerima banyak permintaan wawancara dari media elektronik. Sore, Rabu pekan lalu, George memang tampak kelelahan, tapi dia menjawab semua pertanyaan. Berikut petikannya: Anda menyesal setelah “memukul” Ramadhan Pohan? Tidak apa- apa dan tidak masalah. Sekali-sekali perlu juga dikasih pelajaran. Begini, kalau saya maki Anda berkali-kali, saya fitnah Anda berkali- kali, maka pertama, Anda bisa diam saja, kedua Anda bilang “Eh diam,” ketiga plak… (memperagakan pukulan back hand). Gini-gini kan aku bekas pemain badminton (tertawa). Dulu pernah juga main yudo. Kenapa Anda terprovokasi? Saya kira saya punya emosional, selain sisi rasional dan itu manusiawi. Ini sudah yang ketiga kalinya, dia (Ramadhan Pohan-Red) mengatakan saya berhalusinasi. Saya pernah lari ke Australia, lari dari rezim Soeharto dengan harapan bisa meneruskan oposisi. Ketika itu menimbulkan kontroversi. Buyung (Adnan Buyung Nasution-Red) termasuk tidak setuju, dan mengatakan George bukan kesatria. Saya memang bukan kesatria tapi Brahmana. Anda menyebut, ini upaya Ramadhan yang ketiga?Ini sudah ketiga kalinya dia bercerita yang sama. Makanya yang berhalusinasi itu siapa? Merasa dijebak? Sesudah saya renungkan.. Dia kemudian pergi ke polisi. Baru saya sadar dijebak. Ramadhan melaporkan “pemukulan” dirinya kepada polisi?Nanti kita akan hadapi. Ada saksi di sini (Doekon Coffee- Red) yang tidak mengatakan saya memukul. Tangan saya tidak menyentuh bahkan buku saya pun mungkin juga tidak menyentuh dia. Saya memang ingin menghentikan halusinasi dia. Karena yang berhalusinasi bahwa keluarganya di kampung menganggap dia bagian dari Century adalah dia (Ramadhan Pohan-Red). Padahal tidak ada tulisan tentang dana Bank Century yang mengalir ke koran Jurnal Nasional. Tapi Ramadhan balik, bahwa saya menuduh dia? Itu bisa dibuktikan dalam buku itu. Kita bicara tentang buku. Ramadhan mengaku pernah membantu Anda? Itu setahun yang lalu. Saya dipakai dia untuk berjualan terus. Padahal waktu itu tidak banyak yang dia bikin. Anda menganggap tak ada masalah dengan insiden tadi? Saya kira dia pintar main drama. Artinya sesudah itu langsung dia berputar dan langsung berkata aduh. Nanti akan dikatakan, George memukul anggota DPR. Tadi ketika acara peluncuran buku Anda, ada demonstran yang menuntut kewarganegaraan Anda? My biological background, Ibu saya Belanda dan Bapak saya Jawa. Saya besar di Makassar . Di rumah pakai tiga bahasa Indonesia, Belanda dan Makassar. Bapak saya Jawa, Islam abangan. Ibu saya Belanda, Protestan abangan. Saya bukan menjadi burung gereja tapi burung rajawali. Saya belajar teologi pembebasan. Inspirasi Katolik, analisis Marxis. Mungkin karena pernah besar di dua budaya, Jawa dan Makassar, membuat saya senang antropologi tapi saya juga senang komunikasi lintas budaya. Anda warga Belanda atau Indonesia?Itu legalistis. Jiwa orang tergantung dari selembar surat. Itu konservatif. Melihat orang dari paspor dan paspor tidak menentukan patriotisme. Berapa banyak pengemplang BLBI, punya beberapa paspor? Berapa banyak pelanggar HAM yang punya paspor Indonesia ? Kalau mau jadi peneliti, cobalah menjadi orang yang bisa lintas disiplin, lintas bangsa. KTP punya kan?Pertanyaan Anda kayak polisi Apa yang sebetulnya ingin Anda sampaikan lewat buku ini? Sudah terjawab dari awal launching buku tadi. Spesialis sosiologi korupsi, bidang yang terlalu luas. Bidang yang orang agak segar. Ada orang yang suka menantang bahaya. Adrenalin saya menantang penguasa. Menantang kemapanan. Saya menulis tentang budaya Papua karena orang Jawa menghina Papua. Buto digambarkan hitam, keriting, dan dua mata besar. Sedangkan kesatria, berperilaku halus, santun dan bermata satu. Saya kan juga belajar budaya Jawa. Anda mendapatkan banyak ancaman setelah menerbitkan buku ini? Yang saya dapat bukan ancaman tapi fitnah. Dan saya ingat kata-kata Gus Dur, seseorang yang makin banyak di fitnah di bumi makin besar pahalanya di surga. Sudah ada telepon dari orang-orang SBY? Kalau nomor yang tidak saya kenal maka akan saya matikan. Nomor-nomor baru yang muncul akan saya duga-duga, teman atau bukan. Judul buku Anda menggunakan frasa gurita, lalu siapa yang menjadi kepala guritanya? Silakan tebak sendiri. Kepalanya siapa yang memakai mahkota, banyak kantong matanya. Itu hasil diskusi dengan seniman. Jadi siapa yang Anda maksud sebagai Gurita Cikeas? Tidak. Istilah “Gurita Cikeas” adalah sinergi dari semua komponen dan semua komponen pasti punya the god father-nya. Tidak jelas apakah dalam “Gurita Cikeas” ini dia punya the god father atau the god mother. Menko Polkam Djoko Suyanto, balik bertanya, ke mana saja Anda, kok baru sekarang menulis soal yayasan di bawah SBY? Berarti dia belum baca tulisan sasay tahun 2006 yang memetakan bisnis elite dari Soeharto hingga SBY. Pihak Antara sudah melakukan somasi pada Anda terkait buku ini? Somasi Antara sudah saya terima kemarin dan disaksikan oleh wartawan. Lawyer yang ditunjuk Antara untuk mengantarkan somasi itu, sebelumnya telah menelepon saya dan ingin bertemu dengan saya empat mata atau enam mata karena saya berkacamata. Saya merasa aneh karena waktu itu dia mengatakan “Kita bertemu empat mata saja jangan ada wartawan dan saya akan foto dan foto itu akan sekadar saya gunakan untuk laporan ke atasan saya, ke pemberi order dalam hal ini Antara.” Saya curiga dan tidak mau, karena jangan- jangan foto itu nanti akan dipelintir “George sudah meminta maaf ke Antara melalui penasihat hukumnya.” Dia lalu hanya memberikan dokumen kepada saya dan langsung pamit. Tadi malam saya baru baca isi somasi itu. Isinya, saya akan mengoreksi dan minta maaf dan ucapan maaf itu akan dimuat di sekian banyak media dan harus dilakukan dalam waktu 2x 24 jam. Jelas sampai saat ini saya tidak akan minta maaf. Ini adalah penelitian. Saya punya penelitian, hasilnya demikian dan pimpinan Antara berpendapat lain. Jadi Anda akan melakukan revisi? Dalam edisi revisi, pandangan yang lain juga akan saya masukkan. Juga pandangan yang lain tentang kedudukan Rully Iswahyudi. Sebab dalam buku itu dengan mengutip situs resmi Partai Demokrat, sampai dengan 20 Juli 2009, Direktur Pemasaran Antara masih merupakan staf khusus Bapilu Partai Demokrat. Ini pelanggaran undang-undang. Memang banyak partai lain juga melakukan dan semuanya sudah mengundurkan diri termasuk Demokrat tapi mereka mengundurkan diri kan setelah mendapatkan teguran dari Bawaslu. Sebelum ditegur oleh Bawaslu dan kemudian ditarik oleh Hatta Radjasa, bagaimana jaminan kita bahwa kedudukannya di BUMN tidak dipakai untuk mengalirkan uang ke partai? Ini perlu diaudit dan saya tidak lagi percaya pada auditing dari Bapilu. Sekarang, perlu ada auditor rakyat untuk mengaudit hal seperti demikian. Jadi dengan demikian ralat saya adalah saya akan masukkan dua versi. Menurut versi situs Partai Demokrat Rully masih menjadi anggota dan menurut pimpinan Antara, dia sudah mengundurkan diri. Anda sadar, buku Anda akan menimbulkan gejolak? Sebetulnya dalam semua penelitian, semua gejala sosial punya banyak dimensi dan punya banyak versi. Seorang peneliti yang baik, akan berusaha memasukkan semua versi dan itu merupakan sebagian kecil dari revisi. Bagian yang lebih banyak lagi adalah mengenai Demokrat dan banyak sekali yang belum masuk. Itu sebabnya saya sudah memperhitungkan bahwa dari 183 halaman mungkin akan menjadi 250 halaman. Dan itu akan dikerjakan sementara mencetak cetakan kedua untuk melayani teman- teman di luar Jawa yang sama sekali tidak punya kesempatan meng-copy, membajak, atau download di internet. Sekarang buku saya sudah banyak dibajak. Itu hal biasa, karena dulu tulisan saya tentang Soeharto dan B.J. Habibie juga dibajak. Hanya karya yang bermutu yang dibajak orang. Karya yang tidak bermutu tidak (tertawa). Apa motivasi Anda melakukan riset dan menerbitkan buku ini? Motivasi saya ada motivasi politik, ada motivasi intelektual. Jualan saya adalah korupsi. Sosiologi korupsi bukan koruptor. Karena sosiologi korupsi begitu luas, dalam dunia ilmu pengetahuan ada yang namanya spesialisasinya. Ini adalah buku saya yang ketiga tentang korupsi kepresidenan. Buku saya yang pertama judulnya juga menggelitik dan mungkin ada yang tersinggung karena judulnya adalah Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari. Soeharto dan  Habibie adalah dua puncak KKN Orde Baru. Hampir saya tambahkan dengan edisi revisi dengan menambahkan Ginandjar Kartasasmita. Bahkan judulnya sudah ada, Soeharto Kencing Berdiri, Habibie Kencing Berlari dan Ginandjar Terkencing- Kencing. Reproduksi oligarki berkaki tiga, sudah masuk juga era SBY-JK. Jadi buku ini adalah kelanjutan intelektual saya. Saya rasa intelektual Indonesia sering tidak berani menyentuh hal-hal yang tabu seperti menyentuh Timor Timur, militer, kepresidenan. Kalaupun ada buku tentang korupsi, itu semua masih bersifat umum. Saya rasa sangat berbeda dan saya ingin membuktikan bahwa orang Indonesia juga bisa menulis buku dan buku ini harus dilihat berdampingan dengan buku korupsi kepresidenan. Banyak yang mempertanyakan keilmiahan buku Anda ini? Bagi saya, segala macam itu sering dibelenggu orang sekolahan. Terus terang, buku saya tidak berpretensi untuk seilmiah mungkin. Buku saya merupakan ilmiah populer, dalam arti menggunakan data, bahasa supaya kita bisa melihat apa yang sedang terjadi. Saya kira untuk melawan kekuasaan kita perlu berhias. Di stasiun TV dikatakan ada cover both side, which side? Artinya saya mendahulukan meng-cover the exploited side. Kalau itu dikatakan tidak ilmiah, kita bisa berdebat tentang paradigma. Tidak ada paradigma tunggal. Soalnya, Anda dianggap banyak menggunakan data sekunder?Itu berarti mereka tidak mengerti metodologi penelitian. Saya sudah bilang, apa salahnya data sekunder? Untuk apa orang membuat situs (internet)? Untuk apa kita membuat itu? Anda pernah melakukan studi kepustakaan kan? Internet adalah perpustakaan virtual. Jadi tidak perlu semua data, semua majalah, jurnal, harus ada di rumah tapi bisa diakses dari internet. Tidak ada masalah. Butuh waktu berapa lama melakukan penelitian untuk buku ini? Sejak dia (SBY-Red) menjadi calon presiden. Saya ini kan presidential watch. Siapa pun yang mencalonkan diri menjadi presiden, saya akan kumpulkan datanya. Jadi fair, dan tidak hanya berhenti di Soeharto. Karena dengan menumbangkan Soeharto, tak berarti penyakit Orde Baru bisa dihilangkan. Mengapa Anda sering memosisikan diri sebagai oposisi? Karena saya rasa terlalu banyak hal yang dianggap tabu. Berbicara tentang negara, kita dilarang berbicara tentang federalisme. Bicara soal ekonomi tidak boleh bicara sosialisme yang identik dengan komunisme. Jadi saya ingin menelanjangi hal-hal yang selama ini ditutupi. Itu yang mendorong saya menjadi. Oposisi itu anti kemapanan. Anti terhadap hal yang ditabukan. Misalnya, Indonesia sudah bebas bicara federalisme, saya tidak perlu lagi berbicara tentang itu. Misalnya, yang nonmuslim sudah tidak alergi terhadap orang yang bicara negara agama. Saya ini pendobrak kemapanan. Melawan mainstream. Di pihak lain saya memiliki fungsi sebagai penghubung di antara unsur, kultur, komunitas dan bangsa yang berbeda. Pernah ada titik lelah, kemudian ingin berhenti atau malah tidak pernah sama sekali?Kalau saya lelah di politik, bisa melampiaskan kesenangan ke lintas disiplin di bidang lain. Karena saya orang Gemini maka saya suka seni. Latar pendidikan saya IPA. Kuliah empat tahun elektro dan kemudian mengambil ilmu sosial. Doktor, tanpa S1, tanpa diploma ijazah SR (Sekolah Rakyat-Red). Saya akan lelah kalau hidup monoton. Saya akan bingung bila semua berjalan lancar. Kami dengar buku Anda sebetulnya akan diterbitkan saat musim kampanye Pemilu Presiden lalu? Ada rencana meng-update buku Korupsi Kepresidenan. Di situ SBY-JK sebagai epilog. Judul tulisan Menyongsong SBY Dua (Apakah Mungkin) Lebih Bersih dari yang Sekarang? Itu akan terbit di majalah Sospol Universitas Kristen Indonesia. Lalu kenapa baru diterbitkan sekarang? Apa ada yang memesan?Memang, berapa uang mereka bisa pesan saya? Masa harga saya bisa dipesan lima puluh bungkus? Timing itu juga menunjukkan sesuatu yang membengkak kan ? Apa salahnya dengan timing? Anda membantah tentang kemungkinan adanya pasangan capres yang kalah di belakang Anda. Bagaimana dengan kemungkinan, SBY berada di belakang penulisan buku ini? SBY tidak ada di belakang saya (sambil menoleh ke belakang). Kalau itu terjadi maka sempurna sudah halusinasi kita. Ada kecurigaan gonjang-ganjing buku Anda, bagian dari promosi buku?Apa saja bisa dibilang orang Anda santai banget. Kayak enggak ada takut.Ini agak longgar waktunya. Dulu saya putuskan untuk hijrah karena punya tanggung jawab sebagai ayah. Kalau dulu saya ditangkap pada era Soeharto, diperiksa dan diadili, kasihan anak saya. Jadi sekarang, siap ditangkap dong?Ya. Kenapa Anda mengenakan selendang Ulos? Saya suka pakai tenun. Jaket kain Sulawesi Barat tapi paling banyak mengoleksi Ulos Wawancara ini dimuat di Koran Jakarta edisi Minggu 3 Januari 2010 Halaman 3 dan bisa juga dibaca di Rusdi GoBlog.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun