Dahulu, untuk merdeka dari belenggu, dalam kekuatan bersatu mereka berpadu. Tak perduli suku, tak pandang bulu, orang-orang ini bertujuan satu. Merdekalah negeri ini dengan cucur keringat dan darah pendahulu.
Dikumandangkan janji dan sumpah merdeka. Bahwa mulai saat itu tiada tempat di negeri itu untuk kesengsaraan. Tapi tidak semudah itu. Kaya nya negeri ini masih menggiurkan, masih diintai dan diburu. Itu pun tidak mudah, karena rakyatnya punya tuhan yang esa. Mereka adil dan beradap sebagai manusia. Bersatu juga kekuatan mereka. Dipimpin oleh himkat dan bijkasananya dalam relung musyawarah dan terwakilnya jiwa-jiwa rakyatnya. Maka adil lah bagi siapapun rakyatnya.
Lalu bagai petir disiang bolong. Upaya penuh siasat dengki dan iri hati mulai menantang dan berani. Berkali sudah negeri ini berganti puncak tertinggi. Memang mereka manusia biasa juga. Lebih dan kurang mereka adalah manusianya mereka. Sampai pada sebuah masa, seorang sudah benar tak peduli soal lebih dan kurangnya menjamin hidup ratusan juta nurani. Sudah tanpa malu menjual keping demi keping negeri untuk mereka yang entah siapa.
Masa itu, sudah diramal akan tiba saat digerbang menaiki thakta orang ini sudah tebal muka. Tak ada cakapnya, tiada mampunya, hanya tebal mukanya. Masih terkoyak hati saat mengingat orang disampingnya itu dahulu pernah keras sekali melakukan prediski. Akan hancur, akan hancur, bisa hancur, bisa hancur. Lalu mengapa dia mau menjadi nomor duanya? Ramal itu semamkin jelas, maka kehancuran dicicil perlahan dan kini semakin deras.
Ia hanya mata dan tangan bagi koloni yang sudah sesak ditanah mereka. Tanpa hati tanpa pikir. Namun dengan tipu daya tak sedikit umat jadi terpana. Janjinya tak layak di pertanyakan lagi. Hingga kini itu hanya sekedar bujuk rayu saat ia ingin mencuri tempat. Bahkan tanpa tipu daya pun ia dan yang menyumpah hancurnnya dulu, tak akan berada disitu.
Tahun-tahun terlewati dalam sesak. Memang dia ahlinya mengKOTAK-KOTAK. Entah benar apa tidak dia alami bagian dari tanah syurgawi. Rasanya jika benar ia tak akan setega ini. Titahnya tidak pandai, ceramahnya tidak mulia. Hanya awang-awang semua pada gelak tawa pengikutnyanya bangga. Menurun akal pikir mereka karena memuja. Kini tahun-tahun sudah semakin genting baginya, bagi para kaum bermata tajam pada kesenangan perut mereka itu, bagi bala tentaranya yang penuh dusta.
Tawanya sudah mulai panik. Sesekali tuhan maha kuasa membuka topengnya dengan jenaka. Apa yang bisa dia jual lagi? Tidak ada. Mana janjinya dahulu? Tidak berarti tanpa poles-poles maya. Semua gelombang sudah dia cengkram, hanya drama nya yang dapat rakyat tatap dan dengar. Bila bagai memukul kendi pada kapal yang akan di lautkan adalah kehebatan, maka tak perlu dia, tak perlu jadi dia. Batu-batu ia susun, lalu ia kabarkan bahwa ia berdaya. Walau siapa saja hingga pemujanya tahu, ia menyusun batu-batu itu dengan kekuatan yang bukan bangsanya, bahkan suatu saat kekuatan itu akan meruntuh batu-batu dan menimbun rakyatnya. Kekuatan yang dia pungut-pungut dari banyak penjuru karena hanya itu yang dia mampu.
Tiada lagi, memang tak ada. Tak ada jalan lain untuk tetap pada kuasa. Dia dengan bangga memanggil anak bangsa tanah itu sendiri untuk menghantam saudaranya. Orang-orang lapar ini lalu dia kerahkan untuk jadi benteng kelemahhannya. Pundi-pundi dia siapkan untuk orang-orang ini berani BERKELAHI.
Darah sampai tertumpah dari anak negeri itu yang hanya menyuarakan nurani bangsanya. Menuntut seorang untuk perkasa mengaku lemahnya dan berharap berlaku dengan pikir disisa waktunya. Tapi tidak, dia hanya tahu jalan itu. Jalan singkat membungkan nurani rakyat yang dia kuasai. Baru ini dunia lihat para calon cendikia harus berhadapan dengan pemuja tuan yang bertakhta lewat jalan yang memberi sah orang bersuara.
Waktu- waktu sebelumnya sudah acap dia bermain peran bagai korban. Dengan tanpa malu dan terbuka dia pakai alat negerinya untuk menutup mulut-mulut kebenaran. Hingga anak negerinya tak lagi bisa berjalan untuk berpaham diatas tanah nya sendiri. Dia siapkan benteng bernyawa, dia siapkan caci, fitnah dan mala petaka.
Semua hanya untuk satu, dia berupaya tak Cuma satu kali saja. Dia tak sekedar miskin pikir dan kata. Tapi dia jendela bagi maling-maling dibumi bangsa itu. Bila ia akan terus maka maling-maling itu sudah tak lagi harus susah, keran jendela akan menjadi pintu.
Tapi rakyat tidak tinggal diam. Semakin di injak semakin mereka bangkit. Bersiaplah kau tuan. Bersiaplah kalian.