Siang itu kami ke Rumah Sakit karena mba Vina (salah satu manager Kasus) mengatakan bahwa kemungkinan mba Citra masih dirawat di sana (setelah beberapa hari yang lalu memang mengeluh sakit sehingga perlu dirawat inap). Virus HIV sudah mulai melemahkan tubuhnya.
Melihat mba Citra siang itu, saya teringat pada Safina, dampingan kami yang juga pada akhirnya meninggal tahun lalu. Kondisinya memang tidak sampai seperti Safina, tapi mba Citra jadi sangat kurus dan lemah. Kami pun tidak bisa berbuat banyak, hanya membantu agar bisa menghubungkan mereka dengan pihak yang kabarnya membantu untuk pembiayaan mba Citra di rumah sakit.
Kami cuma berharap, mba Citra bisa sehat kembali sehingga bisa berkumpul lagi dengan suami dan kedua anaknya. Siang itu kami berpesan, agar mba Citra tidak buru-buru pulang ke rumah. Biar dulu di RS sampai benar-benar merasa baikan, baru kembali ke rumah. Mba Citra masih sulit untuk menelan makanan jadi butuh infus untuk membantu asupan makanan ke dalam tubuhnya.
Sebelum pulang, mas Rudi sempat meminta, agar kami berdoa bersama dulu. Kami berdoa di tempat itu. Terus terang, doa saya hari itu bukan meminta yang terbaik untuk mba Citra dan keluarga, tapi dengan jelas memohon sama Tuhan supaya mba Citra sehat kembali dan berkumpul dengan suami dan 2 anaknya lagi. Setelah itu, kami pamit. Di perjalanan, saya masih merenung, berusaha mengingat-ingat banyak hal tentang mba Citra. Mba Citra salah satu dampingan yang kami dampingi dari awal program ini, dari tahun 2009. Begitu banyak acara yang dihadiri bersama, begitu banyak kesempatan berinteraksi dengan dia, begitu banyak home visit yang dilakukan. Teringat saat mba Citra sehat, mulai hamil, dan kemudian melahirkan. Mendengar bahwa mereka bahagia dengan kelahiran anak keduanya, melihat Dewi begitu sayang kepada adik laki-lakinya, membuat saya tersenyum, tapi lalu kembali sedih.
Itu terakhir kali saya bertemu dengan mba citra, selasa 7 Juni yang lalu. Dan pagi ini mba Vina mengabari saya dengan berita duka itu. Berat. Sedih. Tak terbayangkan bagaimana Dewi dan adiknya. Tapi mungkin, yah, pasti sih, ini yang terbaik yang Tuhan beri untuk mereka. Ada perasaan lega karena masih ada waktu untuk bertemu dengan mba Citra minggu lalu itu.
Entahlah, seperti apa rasanya? Tiap kali menghadapi situasi seperti ini, mungkin yang paling benar adalah pasrah dan merelakan mereka dengan percaya bahwa ini yang terbaik yang Tuhan rencanakan. Tapi apakah itu yang akan selalu dipakai untuk membesarkan hati? Sampai detik ini, masih berat untuk saya bisa menerima dengan mudah alasan itu. Walau ya mau tidak mau, harus demikian.
Ini adalah tahun kedua saya di Lentera Anak Pelangi. Sejak 2009, saya sudah menerima 14 atau 15 berita duku dari lingkungan kerja saya sendiri. Dan apakah saya harus membiasakan diri dengan ini? Saya harap tidak. Siapa yang mau kehilangan? Siapa yang pernah benar-benar siap? Saya rasa, hanya sedikit orang yang mampu.
Tuhan, berkati dan beri kekuatan bagi mereka yang satu-persatu Kau panggil anggota keluarganya. Berikan penghiburan Tuhan. Dan bantu kami yang berusaha ini, agar kami tidak pernah merasa pasrah dan tidak mengusahakan apapun. Bantu kami, yakinkan kami bahwa apa yang kami lakukan tidak sia-sia.
Yakinkan kami, bahwa apa yang kami lakukan, punya arti. Bantu kami di Lentera Anak Pelangi ini untuk memberi pengharapan kepada anak-anak yang terdampak HIV bahwa mereka masih bisa menjalani hidup dengan "layak" melalui dukungan doa dan moril teman-teman.
Selamat jalan mba Citra. Beristirahatlah dengan tenang.Ditulis oleh Natasya Sitorus.