Kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) khususnya terhadap wanita, belakangan ini sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan. Walaupun sudah ada Undang-undang No.23 yang merekomendasikan pelindungan terhadap perempuan, dengan menjadikan UU No. 19 tahun 1993 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai acuannya, namun jumlah kasusnya terus meningkat. Lebih menyedihkan lagi, banyak kasus KDRT yang berakhir dengan kematian sang istri. Contoh kasus klik disini.
Di kota Tangerang tingkat KDRT meningkat sebesar 20% dari tahun sebelumnya. Untuk lebih jelas silakan klik disini. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kasus-kasus KDRT banyak dialami oleh kaum hawa? Berita terbaru tentang kasus KDRT datang dari seorang paranormal ternama yang bernama Ki Joko Bodo yang saat ini berurusan dengan polisi. Apa peran kita untuk bisa mengurangi KDRT dalam masyarakat?? Tentunya banyak yang bisa kita lakukan. Selain diawali dari rumah tangga sendiri juga dengan penyuluhan-penyuluhan. Kami, team Rumah SHINE, juga akan mengadakan tentang penyuluhan tentang kekerasan dengan mengadakan seminar Edukasi yang bertemakan: PENCEGAHAN DAN PEMULIHAN DARI KEKERASAN. Untuk info lebih lengkap silakan buka disini.
Berikut ini ada sebuah kesaksian tentang seorang ibu yang mengalami kekerasan dan kemudian bisa pulih dari trauma akibat kekerasan.
Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga Jawa dengan ibu yang sangat otoriter dan pilih kasih. Sejak kecil saya dituntut untuk patuh. Seperti anak-anak yang lainnya, ada kalanya saya ingin marah saat diperlakukan tidak adil. Namun orang tua saya selalu melarang saya untuk marah. Ibu selalu mematikan emosi saya dengan berkata "Orang Kristen tidak boleh marah. Kalau marah, nanti dosa!".
Seperti umumnya anak-anak yang lain, saya sering berebut mainan atau bertengkar dengan kakak ataupun teman. Tanpa mau melihat kronologi pertengkaran itu, ibu selalu menuduh saya sebagai biang konflik. Bahkan ketika saya berjuang membela hak saya saat diganggu kakak ataupun teman, ibu selalu menyalahkan dan memukul saya. Sejak saat itu saya tidak berani menghadapi konflik. Dalam benak saya, konflik itu tidak baik. Dan demi mendapatkan predikat "anak baik", sayapun berusaha "nrimo" ketika hak saya diambil orang. Saya pun mengembangkan kepribadian "being abuse" yang merasa bangga ketika menjadi korban.
Tahun 1991 saya memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang sangat ganteng dan romantis. Suami saya dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis dan sarat dengan KDRT.
Dua tahun pertama pernikahan kami tampak tenang-tenang saja. Sebagai anak yang dibesarkan dengan kekerasan, suami saya tumbuh menjadi abuser (pelaku kekerasan) yang sering bersikap kasar terhadap saya. Walaupun tidak nyaman dengan perilaku buruk suami, saya sebagai pribadi "being abuse" hanya diam dan "menikmati" hidup sebagai korban. Walaupun sesungguhnya hati saya penuh amarah, namun saya merasa tak berdaya dengan figur-figur begis yang ada dalam hidup saya, yaitu suami yang setali tiga uang dengan ibu saya.
Memasuki tahu ke 3, saya sibuk mengurus anak pertama kami dan suami merasa terabaikan dan mulai memukul, menendang atau menampar setiap saya tidak menyenangkan hatinya. Walaupun kecewa dan marah dengan perlakukan suami, saya tetap bungkam. Saya merasa itulah nasib yang harus saya terima.Walaupun hati hancur luluh lantak, saya merasa tidak berhak mengutarakan apa yang saya rasakan. Saya merasa masa kecil yang kelam telah diperpanjang seolah tiada akhir.
Setiap suami marah dan mengancam hendak membunuh, akal sehat saya langsung hilang. Saya merasa keberadaan saya memang tidak penting. Saya juga merasa tidak berhak atas tubuh dan nyawa saya sendiri. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memohon ampun kepada suami. Saya rela melakukan apa saja, yang penting suami mau memberi saya kesempatan untuk hidup.
Tahun 1996 suami mulai berselingkuh. Sayapun marah dengan cara berdiam diri dan menghindari hubungan seks. Beberapa kali suami berniat menceraikan saya supaya bisa menikahi wanita selingkuhannya. Tahun 2000 saya melahirkan anak kedua. Suami tidak berubah. Tanpa gairah dan keintiman, saya pun mempertahankan pernikahan hanya bermodal komitmen. Sebaliknya suami hanya memiliki gairah tanpa komitmen dan keintiman. Akhirnya Desember 2001, ketika saya mengandung anak ketiga, suami memutuskan meninggalkan keluarga untuk menikahi wanita yang telah melahirkan anaknya. Saya pun mengalami trauma berkepanjangan dan depresi.
Kurang lebih 1,5 tahun saya menjalani konseling dan menjalani terapi pengampunan di bawah pengawasan konselor professional. Walaupun saya telah pulih, pada saat-saat tertentu saya kembali mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), terutama ketika berjumpa "Tiran-Tiran" yang menyentuh kembali luka hati yang telah ada sejak kecil. Luka itu akan tetap ada. Yang bisa saya lakukan adalah menyadari luka itu dan mengurangi sensitivitasnya.
Semoga bermanfaat